Para
Intelektual
Armada Riyanto ; Pengajar Filsafat
STFT Widya Sasana Malang;
Sedang Ber-semester Sabat di Depaul University, Chicago, Amerika
Serikat
|
KOMPAS,
29 April 2014
Pendidikan itu mencerdaskan
dengan keseluruhan proses yang memanusiawikan. Oleh karena itu, para tokoh
intelektualnya, para gurunya, memancarkan dan mengalirkan integritas.
Ada seorang guru yang mengalami
penderitaan berat, tetapi dia tak jera. Ia tidak tergiring menjadi penjual
integritas ke-guru-annya. Sebaliknya, ia makin cinta dan menghadirkan diri
sebagai agent of change di
dunianya.
Dia berasal dari Cekoslovakia,
negara yang kini terbelah dua, Ceko dan Slovakia. Oleh ayahnya dia dikirim ke
Indonesia dengan harapan mendapat masa depan lebih baik karena keluarganya
yang berdarah Yahudi semua meninggal di kamp konsentrasi Hitler. Hanya satu
saudaranya yang bisa melarikan diri.
Meski demikian, awal-awal
kehidupannya di Indonesia tak kalah berat. Tentara Jepang menggiringnya ke
interniran di Cimahi selama dua tahun, masuk kubangan penganiayaan dan
penderitaan walau bukan orang Belanda. Untunglah ia selamat.
Energinya yang tiada habis
memungkinkan jiwa mudanya berkelana hingga memperoleh beasiswa doktoral di
Cornell University. Disertasinya tentang ”Islam Indonesia di Saat Pendudukan
Jepang” menjadi emblem intelektualitas dan pasionitasnya akan sejarah modern
Indonesia.
Guru itu bernama Harry Jindrich
Benda. Sebagian sahabat memanggilnya Heinz Benda. Lahir tahun 1919 dan wafat
di usia terbilang muda, 52 tahun.
Dalam studi sejarah Indonesia
modern namanya tidak mungkin dihapus dari catatan kaki dan daftar kepustakaan
karena pemahaman intelektualnya yang luar biasa mengenai dinamika politik
Indonesia sesudah merdeka.
Dalam beberapa tulisan tentang
keterkaitan politik dan para intelektual, ia sangat konstan dalam kritik
mengenai ”pengkhianatan intelektual” oleh para cendekia. Ia tidak ingin
mereka terjebak dalam ”pelacuran intelektual” dan ”elitisme”.
Bisakah intelektualitas
”dikhianati”? Bisa, halnya nyata saat integritas pendidikan digiring kepada
pemihakan kekuasaan. Atau, saat kekuasaan politik mengangkangi skema
idealitas pendidikan. Pendidikan tercebur ke kubang kekuasaan saat terjadi
pengkhianatan intelektual. Intelektualitas tidak lagi mengabdi anak didik,
melainkan ideologi kekuasaan.
Kapan ”pelacuran” intelektual
terjadi? Ketika segala apa yang menjadi komponen ”integritas” dijual murah
untuk kenyamanan dan keenakan sementara. Komunitas intelektual yang secara
murah bermesraan dengan kekuasaan atau ideologi—dalam discernment ala Harry J
Benda—berimpitan dengan pelacuran intelektual.
Elitisme
Dalam Non-Western Intelegentsias
as Political Elites (Journal of Politics and History, nomor 6, 1960) Harry J
Benda berkata, keterkaitan intelektualitas dan ke-elite-an posisi dalam
masyarakat tidak bisa dimungkiri.
Dalam societas yang sedang
dilanda euforia demokrasi dan secara primitif masih mengawali langkah-langkah
pembenahan struktur ekonomis, sosial, dan budaya, prinsip Platonian ”raja
filosof” menemukan rumahnya.
”Raja” merupakan terminologi
cetusan kekuasaan dan kekuatan politis. ”Filosof” menunjuk pada kehadiran
para intelektual.
Prinsip ”raja filosof”, yang
dalam makna aslinya di Republic (Plato), menunjuk kepada necesitaskehadiran
pemimpin yang harus mengerti prinsip keadilan, kini dalam elitisme menjadi
emblem mesranya intelektual dengan penguasa.
Alih-alih para intelektual mampu
mengarahkan penguasa politik, yang hampir selalu terjadi adalah kebalikannya.
Para penguasa mempekerjakan dan mendominasi para intelektual.
Intelektualitasnya menjadi ”senjata ideologis” penguasa untuk menaklukkan
semua musuh politiknya.
Para teoritikus kritis
menyebutnya ”intelektualitas instrumentalis” (Max Horkheimer, Eclipse of
Reason, 1947). Pendidikan sebagai wahana kemanusiaan lantas bergeser menjadi
sekadar ”instrumen kekuasaan”.
Inilah yang dicemaskan oleh
Harry J Benda mengenai para eksponen pendidikan di Tanah Air. Elitisme
menindas integritas para pendidik.
Elitisme terjadi ketika
intelektual melirik kekuasaan dan menanggalkan tugasnya mengabdi kemanusiaan.
Saat intelektualitas berada di pinggiran kekuasaan, saat itu pula berhenti
segala idealisme mengenai pendidikan.
Para intelektual senyatanya
adalah manusia biasa. Mereka suka bercengkerama dalam kenyamanan dan senang
dalam sangkar indahnya kekuasaan. Namun, berbeda dengan rakyat biasa, para
intelektual memiliki kekuatan bahasa ilmiah.
Dalam buku kebijaksanaan kuno
terdapat ungkapan, ”Lebih baik dia
diikat lehernya dengan pemberat besi dan ditenggelamkan di laut daripada
menyesatkan budi dan batin anak-anak.” Ungkapan ini tidak lain hendak
menegaskan ”tugas suci” setiap proses pendidikan dan kewajiban indah para
tokohnya.
Akhir-akhir ini ada
gejala-gejala nyata perihal campur aduk pesona kekuasaan bersanding dengan
para elite pelaku pendidikan. Memang siapa pun senang ”jago”-nya menang dalam
persaingan politik.
Namun, belajar dari sosok Harry
J Benda, seharusnya kehadiran para intelektual menjadi lentera integritas
manusia atau obor di kegelapan politik. Setiap isyarat peluk-mesra yang
menandai tendensi pemihakan kekuasaan selalu menjadi tanda mundurnya kualitas
pendidikan.
Pendidikan mempromosikan prinsip
kesetiaan pada kebenaran. Dengan berdiri pada fondasi integritas, para pelaku
pendidikan semestinya tidak gentar mengkritik setiap penyalahgunaan bahasa
penguasa dan mengajar kesetiaan pada keadilan dan perdamaian tata politik
bangsa. Peran mereka dalam sejarah memiliki karakter transisional sebagai
agen perubahan (agent of change),
bukan perubahan yang menindas tetapi memanusiawikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar