“Mengepaskan”
Baju Jokowi
Jannus TH Siahaan ; Pengamat Masalah-Masalah Sosial Kemasyarakatan
|
KORAN
SINDO, 26 April 2014
Semua
lawan dan kawan politiknya, mengakui bahwa penerawangan politik Megawati
Soekarnoputri seringkali tepat. Dia bergeming dengan intuisinya. Namun,
ketika dia minta para pendukungnya bersabar, respons yang muncul adalah
gerakan Projo alias Pro- Jokowi.
Dalam
kaca mata kalangan ideolog PDIP, pendirian pranata di luar struktur partai,
seperti Projo, bisa dimaknai sebagai sebuah pemberontakan. Terlebih Megawati
dikenal kurang suka dibantah, apalagi secara terbuka. Kalau tak setuju, dia
lebih banyak diam. Namun semua tahu, Megawati sosok yang pantang menyerah.
Ketika banyak kader internal yang ideologis berharap Megawati tidak
serta-merta memenuhi desakan kekuatan tertentu agar segera mengumumkan capres
dari kandang banteng, respons yang muncul justru desakan sistematis para
penggiat survei agar Megawati memastikan pencalonan Jokowi sebagai presiden.
Argumentasi
yang mereka berikan, bila sesegera mungkin diumumkan pencalonan Jokowi, suara
PDIP akan terdongkrak pada pemilu legislatif. Dengan begitu, partai ini
diyakini akan lebih mudah menangguk suara pemilih, dan suara besar akan
membuatnya lolos ambang batas untuk mengajukan sendiri capres (memenuhi
presidential threshold). Hanya dengan membawa Jokowi partai ini bisa
melenggang menggapai kursi kekuasaan. Hanya dengan Jokowi, pemilihan presiden
akan berlangsung dalam satu putaran. Ibarat pancing, Jokowi adalah jaminan
mutu.
Kelasnya
sudah semacam jala atau jaring sehingga semua jenis biota laut dan berbagai
jenis ikan mudah tersangkut. Meski yang diincar ikan sotong, tetapi jaring
akan memberi banyak. Ya sotong, ya udang, kakap, tongkol, bahkan ikan
terkecil seperti teri sekalipun. Sotongnya untuk Jokowi, ikan jenis lainnya
untuk pengagengpartai dan pembela Jokowi. Namun, hasil hitung cepat beberapa
lembaga survei pada pemilu legislatif membuka mata semua orang.
Pemilu
kemarin menjadi alat ukur untuk mengepaskan jenis baju yang tepat dan cocok
bagi Jokowi, dan bagi semua para peminat kursi kekuasaan. Karena itu, ada
benarnya ketika Direktur Eksekutif LSI, Denny JA, menyebut pengaruh Jokowi
terhadap perolehan suara PDIP kalah jauh dibanding pengaruh Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) terhadap Partai Demokrat. Dengan kenyataan ini, di mana
pasnya Jokowi berada ? Denny benar. Lihatlah bagaimana fenomenalnya pengaruh
Megawati mendongkrak suara PDIP pada Pemilu 1999.
Saat
itu, PDIP menangguk suara terbesar, yakni 35.689.073. Berturut-turut nomor
dua hingga lima adalah Partai Golongan Karya (Golkar) dengan 23.741.758,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11,329,905 suara, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) sukses menuai 13,336,982 pemilih. Dan Partai Amanat Nasional
(PAN) berhasil mengumpulkan 7.528.956. Kini, mari cermati pengaruh SBY
terhadap perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Partai Demokrat
menangguk 21.703.137 atau 20,85% suara nasional. Berturut-turut kemudian
Partai Golkar dengan 15.037.757 atau 14,45%, PDIP memperoleh 14.600.091 atau
14,03 suara nasional, PKS dengan 8.206.955, PAN 6.254.580.
Dengan
jumlah itu saja, SBY masih harus berkoalisi untuk memastikan dirinya tetap
bertahan di kursi kepresidenan pada periode kedua. Para kader ideologis PDIP
hanya bisa senyum simpul karena mereka tak mungkin terang-terangan berkata, ”Gue kate juga ape.” Mereka yang
mendesak Megawati segera mengumumkan pencapresan Jokowi sebelum pemilu
legislatif juga mulai ambil langkah mundur. Paling tidak berhitung untuk ikut
”cawe-cawe” mendikte intuisi
politik sang pemberi mandat, Megawati. Sangat boleh jadi, karena pemberian
mandat hanya salah satu cara mengepaskan baju untuk Jokowi, Megawati akan
memintanya kembali.
Dia
pasti membatin, Jokowi belum ada apa-apanya dibanding pengaruhnya sendiri
dulu pada 1999. Lebih dari itu, ke depan posisi Megawati di internal PDIP
akan semakin kuat, tak terbantahkah, karena kini kian diakui bahwa intuisi
politiknya memang lebih banyak benar daripada melesetnya. Kini, Megawati
tengah menimbang siapa yang paling pas mengenakan baju mandat itu. Satu yang
pasti, baju mandat itu kurang pas untuk Jokowi. Dalam konteks pemberian
mandat ini, Jokowi oleh Megawati diposisikan sebagai ”petugas partai”. Kenapa
Megawati tak menyebut Jokowi kader terbaik partai sehingga layak memperoleh
mandat itu?
Masih
banyak kader biologis dan ideologis PDIP yang posisi mereka bukan petugas
partai. Mereka tumbuh dan besar karena tempaan kedisiplinan partai. Bolehlah
disebut beberapa nama seperti Pramono Anung, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo,
atau justru Megawati sendiri karena dialah sang pembuat mandat. Tentu
Megawati yang paling mahfum baju ini pasnya untuk siapa. Tapi PDIP akan
menanggung risiko politik besar, jika mandat itu hanya dipas-paskan belaka
tanpa alasan yang tepat. Kini, mari kembalikan Jokowi ke marwahnya.
Dia
masih harus mengampu kepemimpinan DKI Jakarta 3,5 tahun ke depan. Jangan
sampai pemilu kali ini menjadi antiklimaks baginya sehingga karier politik
bekas wali kota Surakarta itu hanya akan sampai di Jakarta. Dia masih butuh
mengasah visi dan pandangannya mengenai nilai-nilai kenegaraan, kebangsaan,
kemasyarakatan serta keindonesiaan di tengah gelombang globalisasi. Sekali lagi, jangan dipaksa Pak Jokowi
mengenakan baju yang tidak pas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar