Stop
Stigma!
Reza Indragiri Amriel ; Anggota
Asosiasi Psikologi Islami
|
JAWA
POS, 28 April 2014
Sah
sudah! Tepat dugaan saya! Kalau boleh mengutarakan rekomendasi paling
ekstrem, saya ingin sekali menyarankan bocah hebat -yang menjadi sasaran
kebiadaban petugas kebersihan di Jakarta
International School- dan keluarganya untuk sesegera mungkin angkat kaki
dari negeri ini.
Bukan
karena saya tidak menaruh hati, apalagi benci, kepada si bocah hebat
tersebut. Justru karena saya tidak yakin bahwa betapa pun ia telah sedemikian
perkasa menaklukkan rasa takutnya dengan berani mengutarakan tragedi yang ia
alami, cepat atau lambat akan lalu lalang ungkapan-ungkapan bermuatan stigma
ke arah si bocah hebat tersebut.
Simak
saja anggapan negatif bahwa ibunda si bocah hebat tersebut memiliki relasi
buruk dengan darah dagingnya sendiri. Itu karena si bocah hebat ternyata
memilih untuk bercerita ke Captain America, tokoh yang tidak nyata, ketimbang
ke figur yang melahirkannya. Jelas, itu anggapan ngawur. Lazimnya orang-orang
yang terpapar trauma, kecenderungan perilaku mereka adalah mengunci mulut
rapat-rapat dan mengisolasi diri. Demikian pula si bocah hebat. Butuh waktu
baginya untuk sedikit memulihkan kondisi psikisnya hingga yakin bahwa tetap
ada satu-dua orang yang sudi menyodorkan telinga dan hatinya untuk menyimak
penuturan si bocah hebat.
Nah,
strategi menghadirkan Captain America guna memancing anak bercerita merupakan
langkah tepat. Dunia anak identik dengan bermain, dengan imajinasi. Kedekatan
yang dirasakan si bocah hebat dengan tokoh Captain America pada satu sisi
tidak sepatutnya disimpulkan sebagai kegagalan ibu si bocah hebat pada sisi
lain dalam menjalankan peran orang tua secara efektif.
Contoh
di atas sesungguhnya bukti akan kebenaran pernyataan Albert Bandura. Tokoh
psikologi itu pada suatu masa berteori bahwa manakala hukum pidana kehilangan
tajinya untuk memunculkan efek jera, adalah sanksi sosial yang kemudian bisa
diharapkan akan lebih sakti melumpuhkan para bandit agar tidak mengulangi
perbuatan mereka. Stigmatisasi adalah salah satu bentuk sanksi sosial itu.
Persoalannya,
mengapa "sanksi sosial" sedemikian mungkar justru ditujukan kepada
si bocah hebat di JIS sana? Luka di tubuhnya kelak akan menutup kembali.
Tapi, tidak demikian cedera batin. Trauma itu bisa jadi akan mengendap
selamanya. Dan kini, ketika ia bersama orang-orang yang peduli padanya tengah
bersusah payah mencoba membangun ketangguhan psikis untuk menghadapi kenangan
traumtis itu, tiba-tiba muncul "manusia-manusia" yang seakan tidak
lagi mempunyai kemanusiaan mereka. Mereka, dalam ingatan saya yang mengacu
pada hadis Nabi, laksana makhluk yang menampakkan tanduknya di penghujung
petang menjelang magrib.
Mereka
yang melontarkan stigma kepada si bocah hebat sudah sepantasnya tahu bahwa
tidak sedikit korban kekerasan seksual yang setelah dewasa juga menjelma
sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Ada kemarahan, kebencian,
kesedihan, dan sebutan-sebutan lain yang identik dengan sakit hati yang
bermukim dalam diri dan menunggu waktu untuk bisa dilampiaskan kembali.
Memang, hanya sebagian yang bernasib sedemikian buruk. Sebagian lagi, kendati
telah melalui episode hidup yang begitu buruk, mampu tumbuh dewasa menjadi
individu penyintas yang hidup produktif. Salah satu faktor pembeda antara dua
kelompok individu tersebut adalah dukungan sosial. Anak-anak yang tetap
memperoleh dukungan sosial terbukti gilang-gemilang melewati fase berat dan
kelak menjadi petarung yang aktif menangkal jatuhnya anak-anak lain ke
penderitaan serupa.
Jika
penghakiman-penghakiman sosial berupa stigmatisasi terus berkeliaran, jelas
ini tidak akan bermanfaat bagi proses pemulihan si bocah hebat. Ia
terus-menerus diposisikan sebagai korban, sebutan untuk manusia yang berada
di bawah. Ia tak putus-putus dipandang sebagai sosok yang kehilangan
keberdayaannya. Ia, yang darahnya masih mengalir dan napasnya masih berembus,
dipaksa untuk mati dengan palu godam verbal yang dihantamkan berulang-ulang
ke kepalanya. Itu semua yang membuat saya, sekali lagi, ingin sekali
menyarankan agar si bocah hebat dan orang tuanya untuk segera berkemas dan
meninggalkan negeri yang banyak warganya merupakan titisan kaum jahiliyah
-kaum yang menyikapi aksi mengubur bayi hidup-hidup sebagai kebiasaan lumrah!
Pasti
ada rahasia yang dikirim Tuhan dengan menguji si bocah hebat itu. Ujian yang
apabila -dan saya yakin- berhasil ia atasi akan melontarkannya ke kedudukan
mulia. Sayangnya, selalu ada pihak yang tidak menghendaki terealisasinya
janji Zat yang Maha Kasih dan Maha Cinta itu. Pihak itu menghampiri dengan
menimpakan beban tambahan ke diri si bocah hebat. Ia, pihak itu, tanpa sadar barangkali
tengah memamerkan kelemahan sekaligus keburukan dirinya pribadi. Ia, yang
karena tidak berpengharapan menjadi penghuni firdaus, akhirnya memilih untuk
menyabotase orang lain agar masuk ke lembah kehinaan.
Untuk
itu, "Jika tidak mampu mengucapkan
kebaikan, setidaknya jangan berbicara!" Tidak ada pepatah lain yang
lebih relevan ditujukan kepada para 'hakim' yang mengayun-ayunkan palu
stigmanya ke arah si bocah hebat dan anak-anak lain yang juga berjuang untuk
menjadi penyintas.
Bait "Ben" yang dinyanyikan
mendiang Michael Jackson ini sesuai benar dengan suasana hati saya. Kini,
dengan seutuh jiwa, saya bisikkan lirik lagu itu ke si bocah hebat dan ribuan
bahkan mungkin jutaan anak lainnya yang juga harus terlebih dahulu menapaki
cerita kelam sebelum menjadi pemenang.
"Most people would turn you away I don't
listen to a word they say... If you ever look behind and don't like what you
find. There's something you should know, you've got a place to go"
Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar