Pilpres
dan Kawasan Regional
Satya Dewangga ; Peneliti Fordial dan Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD),
Jakarta
|
HALUAN,
26 April 2014
Ternyata apapun yang menjadi
perbincangan daan sorotan pembicaraan di masyarakat terkait rangkaian
Pemilu 2014 yang direkam serta disiarkan secara masif oleh media massa di
Indonesia, juga mendapatkan perhatian dan porsi pemberitaan bahkan kajian
ilmiah di beberapa negara.
Salah satu buktinya adalah
buletin khusus S. Rajaratnam School of
International Studies (RSIS),
Nanyang Technological University, Singapura misalnya melalui nomor
penerbitan 070 tertanggal 15 April 2014 memuat tulisan berjudul “Indonesia’s
Ambiguous Elections: Implications for the Region” ditulis oleh Yang Razali
Kassim yang juga peneliti senior di S.
Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University.
Signifikansi tulisan
tersebut adalah masyarakat Indonesia memikirkan (mull) tentang hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang tetap
menghasilkan ketidakjelasan peta politik menghadapi Pilpres, bahkan banyak
yang memikirkan apakah Jokowi mampu menjadi Presiden Indonesia.
Menurut Yang Razali Kassim,
pemilu legislatif keempat pasca kejatuhan rezim Soeharto dapat dilaksanakan
tanpa insiden dan hasilnya akan diketahui secara pasti pada Mei 2014 yang
sekaligus memunculkan landscape politik yang baru.
Hasil pemilu kegislatif
menghasilkan tiga parpol yang kuat yaitu PDIP (the Indonesian Party of Struggle), Partai Golkar dan Partai
Gerindra (the Greater Indonesia
Movement). Masing-masing telah membangun koalisi dan membuat perjanjian
dengan 9 parpol kecil lainnya dengan dua tujuan yaitu memenangkan pilpres
pada Juli 2014 dan pemerintahan mendatang didukung oleh mayoritas parlemen.
Menurutnya, hasil pemilu
legislatif berdasarkan quick count yang menunjukkan tidak satupun parpol
mendapatkan angka threshold 25% dan 20% kursi secara nasional, membuat
aliansi antar parpol dari berbagai aliran politik (political flux). Memang hasil pemilu legislatif menghasilkan
dampak negatif terhadap Harga Saham Gabungan Indonesia (the Indonesian Composite Index), termasuk rencana membangun
koalisi dapat menimbulkan ketidakpastian politik dan sentimen negatif investor.
Bahkan beberapa pengusaha Indonesia memperlihatkan perhatian serius terhadap
munculnya ketidakpastian (emerging
uncertainty) dan dampaknya terhadap aliran investasi asing.
“Terkait
dengan posisi vital Indonesia di Asia Tenggara, aliran-aliran politik atau
perkembangan politik mungkin akan berdampak luas terhadap regional, karena
transisi kepemimpinan yang diwarnai dengan deal-deal politik kemungkinan
berpengaruh terhadap rencana penerapan ASEAN Community 2015, serta mungkin
tidak mendukung integrasi regional (regional integration).
Implikasi
penuh pemilu legislatif di Indonesia terletak pada ketidakjelasan presiden
mendatang dan proses transisi kekuasaannya. Bahkan jika seandainya Jokowi
terpilih sebagai presiden, masih menimbulkan pertanyaan apakah mampu membawa
peranan signifikan Indonesia terkait ketidakjelasan penyelesaian masalah
Laut Cina Selatan, termasuk bagaimana posisi ASEAN dalam menghadapi
China,” ujarnya.
Meragukan Jokowi?
Melalui tulisan Yang
Razali Kassim sebenarnya dapat diperoleh gambaran bahwa negara-negara
lainnya melalui akademisinya ataupun kelompok kepentingan apapun
terus mencermati hasil pemilu legislatif dan memprediksikan apa yang
akan terjadi pada Pilpres 9 Juli 2014. Bahkan mereka mengkhawatirkan masih
berlanjutnya ketidakpastian politik (political
uncertainty) di Indonesia.
Setidaknya ada dampak yang
menjadi concern negara-negara asing terhadap pemilu di Indonesia. Pertama,
dampak negatif terganggunya ekonomi Indonesia dari proses pemilu terlihat
dari hasil pemilu legislatif yang berdampak terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG). Kedua, mempertanyakan kemampuan presiden Indonesia mendatang
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan luar negeri, terutama di kawasan
regional seperti ASEAN Community 2015 dan Laut Cina Selatan.
Apa yang menjadi kekhawatiran
akademisi asing atau negara lain terhadap kemampuan presiden Indonesia menyelesaikan
masalah regional tampaknya ada benarnya. Karena sejauh ini dalam pemberitaan
media massa nasional di Indonesia belum ada kandidat capres yang menyatakan
gagasan atau idenya dalam mengatasi isu-isu besar yang berdampak terhadap
Indonesia terutama seperti pemberlakuan ASEAN Community 2015.
Sepengetahuan penulis
dari pembicaraan dengan berbagai kalangan ataupun mengikuti pembicaraan
di berbagai media sosial seperti twitter,
youtube, what’sapp, linkdln, blogger dan lain-lain, pada umumnya masih
ada pro kontra dan tarik menarik yang kuat soal pencapresan Jokowi oleh PDI
Perjuangan. Seperti misalnya apakah “jam terbang” Jokowi sebagai politisi dan
birokrat sudah cukup untuk memimpin Indonesia yang sangat plural, karena
ternyata apapun alasan yang dikemukakan anggota Tim-11 Jokowi for President yaitu Teten Masduki soal pengaruh “Jokowi Effect” yang tidak terlalu
besar dalam pemilu legislatif yang lalu jelas membuka harapan dan pengertian
serta pertanyaan besar dari arus mainstrem
masyarakat Indonesia soal kemampuan atau kapabilitas Jokowi untuk menjadi
presiden. Karena sejauh ini Jokowi hanya “sukses” sebagai Walikota
Solo dan belum teruji sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Meminjam istilah almarhum
mantan Presiden Soeharto, pencapresan Jokowi oleh PDIP sama dengan mengajari
Jokowi dengan petuah Jawa “colong mlayu
alias meninggalkan gelanggang pengabdian”.
Persoalan ini harus mendapatkan
perhatian dari kubu Jokowi, agar euforia dukungan terhadap Jokowi yang masih
membesar saat ini, nantinya bukan euforia yang membawa “cek kosong” kepadanya,
dengan ternyata misalnya tidak mampu membawa bangsa berpenduduk lebih dari
270 juta ini menuju bangsa besar di kemudian hari.
Suara-suara ataupun analisis
dalam negeri dan asing yang meragukan kemampuan Jokowi untuk “mentackle” masalah-masalah luar
negeri, juga harus menjadi pencermatan dan masukan serta evaluasi yang
strategis, termasuk oleh jago-jago strategi di belakang Jokowi seperti Andi
Widjajanto misalnya, yang dikenal juga ahli menganalisis perkembangan luar
negeri tersebut.
“Think
thank” Jokowi harus mempertanyakan apakah figur jagoannya
akan mampu menghadapi tantangan yang semakin berat bangsa ini di era ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community yang akan
diberlakukan pada 2015, termasuk-termasuk “scenario
dan foresight” ke depan antara lain kemungkinan pecahnya perang akibat
Laut China Selatan (LCS) dan kegiatan proxy
war-proxy war lainnya yang tidak suka Indonesia menjadi “big brother” di ASEAN bahkan Asia
Pasifik.
Jika Jokowi dirasakan
mampu, ya silahkan dilanjutkan pencapresan. Jika dianalisis ternyata tidak
mampu, maka sebaiknya digagalkan, karena sebenarnya tidak elok mempermainkan
nasib bangsa hanya untuk kepentingan segelintir kelompok. Mari kita mulai
menerapkan ajaran Pancasila dalam pilpres sekarang ini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar