Alam
: Museum atau “Mesum” Budaya?
Yunandho Yulio Rachmat ; Sekretaris Umum Unit Pencinta Budaya Minangkabau
(UPBM), Universitas Padjadjaran
|
HALUAN,
28 April 2014
Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak
ka niru, nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam
takambang jadi guru
Begitulah masyarakat Minangkabau
menggambarkan bagaimana kehidupan beradat budaya di negerinya. Alam
menjadi suatu aspek yang memberi peran besar kepada kehidupan masyarakat dari
berbagai aspek. Oleh karena itu banyak sekali petatah petitih dalam adat
Minangkabau yang menggunakan kearifan alam sebagai penggambaran bagaimana
seharusnya orang Minangkabau bersikap dan bertindak.
Kebiasaan-kebiasaan yang
terjadi di alam sekitar, menjadi guru yang sangat berharga bagi masyarakat
Minangkabau. Bagaimana kearifan alam menjadi suatu yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Alam sekitar dan masyarakat di
dalamnya, menjadi suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kedua elemen ini
mempunyai keterikatan dan saling mempengaruhi.
Namun jika dilihat dari
dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau saat ini, apakah kita sudah
menerapkan hal tersebut? Apakah falsafah-falsafah alam ini telah dipahami
dan diamalkan oleh kita sebagai masyarakat Minangkabau yang beradat budaya?
Apakah generasi muda Minangkabau paham akan adat budayanya?
Dalam konteks ini, alam tidak
hanya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang terdapat di lingkungan
sekitar manusia yang secara langsung diciptakan oleh Allah SWT. Alam disini
tentu juga dapat diartikan sebagai segala aspek yang berada di
lingkungan sekitar manusia yang diciptakan oleh Allah SWT, melalui
kecerdasan salah satu ciptaannya yaitu manusia.
Oleh karena itu kiranya
manusia, khususnya masyarakat Minangkabau sebenarnya memiliki kesempatan
yang luas sekali untuk mempelajari kearifan alam. Bagi masyarakat yang mau
berpikir tentu segala yang ada di sekitarnya dapat dijadikan sumber ilmu
pengetahuan. Tak terbatas hanya mengenai adat dan budaya, akan tetapi
berbagai pengetahuan umum nan mencerdaskan. Ilmu pengetahuan yang
dapat membuat masyarakat Minangkabau yang kental akan adat budaya dalam
setiap hembusan nafasnya menjadi selaras dengan perkembangan zaman.
Ketika masyarakat Minangkabau
bernalar dan mengaplikasikan kearifan alam sekitarnya dalam setiap aspek
kehidupan, maka hal tersebut akan membudaya. Seiring dengan
dinamisnya kehidupan masyarakat, alam dan lingkungan sekitar ikut menjadi
saksi sejarah perkembangan zaman. Alam merekam setiap peristiwa dimana nantinya
jejak-jejak tersebut dapat dijadikan guru oleh masyarakat yang berpikir.
Alam : Museum Budaya
Begitu banyak
peninggalan-peninggalan budaya yang kini menjadi objek wisata di Sumatera
Barat. Objek-objek wisata ini merekam banyak kisah sejarah dan dapat memberi
pemahaman yang dalam tentang bagaimana seharusnya masyarakat Minangkabau
bertindak dan bersikap.
Sebagai masyarakat Minangkabau
tentu kita tak asing lagi dengan ikrar Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Ikrar ini menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara agama
Islam dan adat Minangkabau dalam kesehariannya. Keduanya dapat berjalan
seiring dan saling menguatkan satu sama lain.
Ikrar ini disepakati oleh tiga
pucuk pimpinan di Minangkabau yang lebih dikenal dengan Tigo
Tungku Sajarangan di Bukit Marapalam,
Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Bukit ini menjadi saksi
bisu bagaimana panasnya perundingan antara kaum adat dan kaum paderi
(agama) pada masa itu merundingkan tentang jati diri masyarakat Sumatera
Barat. Apakah akan menyerah dengan adat yang mulai dijejali maksiat atau
kembali berpegang teguh pada agama Islam.
Singkat cerita, setelah peperangan
yang panjang akhirnya pucuk pimpinan kedua kelompok bermusyawarah mufakat
di Bukit Marapalam. Hasutan penjajah Belanda saat itu disadari semakin
menjauhkan antar sesama masyarakat Minangkabau, semakin menjauhkan antara
masyarakat dengan falsafah adat Minangkabau dan kearifan agama Islam. Mereka
bemufakat untuk gencatan senjata dan bersatu mengembalikan tatanan
adat kepada yang seharusnya. Akhirnya lahirlah ikrar Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah atau yang juga dikenal dengan Sumpah Satie.
Disini diajarkan bagaimana
musyawarah mufakat menjadi salah satu jati diri masyarakat Minangkabau.
Dimana kepekaan dengan lingkungan sekitar, mendengar pendapat orang yang
berbeda pemikiran menjadi sebuah kekayaan budaya masyarakat Minangkabau.
Percaya bahwa di atas langit masih ada langit. Tidak ada manusia atau suatu
golongan yang sempurna di bumi ini. Oleh karena itu bermusyawarah, saling
bertukar pikiran demi kepentingan bersama menjadi sebuah pemberi solusi yang
bijaksana.
Kembali ke masa sekarang,
menurut hemat penulis, muda-mudi Minangkabau saat ini belum sepenuhnya bisa
mengaktualisasikan falsafah Minangkabau ke dalam kesehariannya. Peduli
dengan lingkungan sekitar kiranya sudah mulai luntur akhir-akhir ini. Dengan
terpaan arus modernisasi dan globalisasi yang kuat pada zaman ini, tingkat
kepeduian terhadap lingkungan sekitar penting kiranya menjadi perhatian
bersama.
Di jalan, di tempat umum,
dimanapun itu, kini muda-mudi cenderung sibuk dengan diri sendiri. Mereka
sibuk menunduk, sibuk dengan gadget canggih. Sehingga
kepedulian terhadap lingkungan sekitar jadi berkurang. Masih segar di ingatan
bagaimana seorang pemudi di Ibukota enggan untuk berbagi tempat duduk dengan
sorang ibu hamil di tengah sesaknya penumpang kereta api . Hal ini janganlah
sampai terjadi di negeri kita. Janganlah sampai moral kaum muda tergerus
dengan kemajuan zaman. Jangan sampai kepedulian dengan lingkungan juga ikut
berkurang
Kedua, masalah agama. Sudahkah
Minangkabau yang berlandaskan ABS-BSK ini memegang teguh syariat Islamnya?
Apakah pemuda-pemudinya memegang teguh ajaran Islam?
Hal ini juga masih menjadi PR
bagi kita bersama. Masih banyak kebiasaan-kebiasaan menyimpang kita temui di
negeri kita sendiri. Bagaimana anak kemenakan hendak dilepas merantau jika
kita masih belum bisa yakin moral dan agamanya sudah dididik dengan benar.
Sangat berat rasanya jika harus melepas anak kemenakan merantau ke negeri
seberang yang terkenal dengan kebebasan dan sifat masyarakat yang
individualistis.
Tak usah memandang terlalu
jauh. Di Kota Padang, tenda-tenda ceper masih bergelimpangan di tepi Pantai
Padang yang sangat indah. Konsumen utamanya adalah muda-mudi yang menjelang
magrib hingga tengah malam hendak berpilaku hedonis di tepian pantai. Usaha
pemerintah yang dilakukan berkali-kali untuk menertibkan kondisi tersebut
pun dirasa tak mampu memberantas tindakan maksiat ini.
Sama pula kejadiannya dengan
Bukit Marapalam yang penulis bahas sebelumnya. Masih dijumpai muda-mudi
yang hanya pergi memadu kasih disana dan akhirnya melakukan perbuatan
maksiat. Padahal di lokasi itulah bagaimana syariat Islam diikrarkan untuk
dijunjung tinggi dalam kehidupan beradat budaya. Patung tigo
tungku sajarangan yang lebih dikenal dengan
Monumen Marapalam tersebut agaknya sudah luntur kekuatannya. Tak seberapa
jauh dari lokasi monumen, maksiat dilakukan.
Bukit Marapalam kini lebih
dikenal dengan sebutan Puncak Pato. Objek wisata ini menawarkan keindahan
panorama yang menyejukkan mata. Hamparan pohon pinus dan pemandangan alam Minangkabau
yang asri menjadi alasan masyarakat berwisata ke tempat ini.
Sama nasibnya dengan banyak
objek wisata lainnya. Mungkin pemugaran dan dan perbaikan demi menjaga
keutuhan objek sejarah tersebut sudah dilakukan. Tapi sudahkah kita yakin
bahwa pesan yang sebenarnya terkandung pada objek wisata tersebut sudah
sampai kepada para pengunjungnya? Hal tersebut yang harus menjadi perhatian
kita bersama.
Jangan sampai alam sebagai
“museum” budaya berganti menjadi “mesum” budaya. Objek- objek wisata yang direnovasi
supaya nyaman dikunjungi hanya menjadi tempat mesum muda-mudi Minangkabau.
Sungguh hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan.
Oleh karena itu, peranan
keluarga tentu sangat penting dalam menanamkan nilai moral dan falsafah
ke-Minangkabau-an. Jangan sampai generasi muda ke depannya hanya tahu
mengenai gadget dan budaya-budaya asing lainnya. Mereka harus dididik
mengenal asal-usul budayanya dan bagaimana ia hidup bermasyarakat dalam
lingkungan yang memegang teguh ABS-BSKnya.
Kurikulum pendidikan yang
menekankan pada pendidikan karakterpun dirasa sangat mendukung hal ini untuk
terwujud. Pihak terkait sebaiknya tidak meninggalkan pendidikan budaya pada
penerapannya. Pendidikan karakter budaya tepat sekali rasanya diberikan
sedari dini. Objek wisata budaya yang merekam banyak sejarah dan ilmu
pengetahuan ini seharusnya dapat dimaksimalkan sebagai alat agar pendidikan
berkarakter tersebut terwujud.
Ketika alam telah menyampaikan
dan manusia menyerap kearifan alam tersebut, maka akan terwujud kehidupan
yang harmonis. Terciptalah manusia-manusia yang berpikir sebelum bertindak.
Manusia yang menghargai adat budayanya. Sebagai masyarakat Minangkabau,
tentu akan tercipta pemuda-pemudi yang memegang teguh ABS-BSK-nya. Tercipta
pemuda pemudi yang siap dilepas ke negeri rantau dan nantinya kembali menulis
tinta sejarah di kampung halaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar