Urgensi
Pendidikan Seks
Edi Subkhan ; Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas
Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 28 April 2014
BERITA heboh mengenai pelecehan seksual yang dialami oleh murid Jakarta International School (JIS)
mengindikasikan bahwa nama mentereng sebuah sekolah bukan jaminan tak ada
risiko dan praktik kekerasan atau kriminalitas di dalamnya.
Pelecehan seksualitas adalah bentuk teror dan kekerasan psikis
sekaligus kriminalitas. Korban berisiko trauma mendalam, dan pelaku
seringkali memiliki kelainan psikologis. Pada jenis sekolah apa pun, risiko
kekerasan selalu ada. Bahkan Bourdieu dan Passeron (1970) melalui risetnya
pada lembaga pendidikan menelisiknya hingga menemukan dalam bentuk kekerasan
simbolik (symbolic violence).
Dalam kasus pelecehan seksual terhadap murid TK di sekolah
(baca: JIS), diskursus yang berkembang untuk mengatasi masalah tersebut
mengarah pada perlunya pendidikan seks sejak dini. Suatu hal yang sudah lama
diwacanakan namun tidak pernah ditanggapi serius oleh Kemdikbud. Apa
sebenarnya pendidikan seks?
Pendidikan seks bukanlah cara-cara berhubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan melainkan pembelajaran yang mendidik anak supaya tahu
sisi seksualitas dirinya. Termasuk di dalamnya mengenai perkembangan dan
anatomi seksual, kesehatan reproduksi, penyakit akibat perilaku seksual
(contoh HIV/AIDS), persalinan, dan sejenisnya.
Dengan demikian sebenarnya secara implisit selama ini pendidikan
seks sudah diberikan untuk siswa, terutama melalui mata pelajaran Biologi.
Namun tentu saja hal itu tidak cukup. Terlebih lagi banyak pihak di
masyarakat kita antipati terhadap hal-hal yang berbau seksualitas, dan bahkan
mengira pendidikan seks mengarahkan pada pornografi dan sejenisnya. Karena
itu, perlu ada perluasan konsep dan sasaran dari pendidikan seksual.
Jika dalam perspektif Barat pendidikan seks lebih banyak
diarahkan guna mencegah kehamilan dan mengarahkan pada seks aman (safe sex)
(Elders, 1999: 9) maka dalam perspektif orang Timur pendidikan seks harus
dikaitkan erat dengan moralitas, etika, norma, dan nilai-nilai, baik yang
bersumber dari agama maupun produk budaya. Dengan demikian pendidikan seks
bisa diberikan melalui mata pelajaran Biologi, Agama, rumpun mata pelajaran
ilmu sosial, atau program khusus dari konselor di sekolah secara integratif.
Selain itu, berkaca pada kasus pelecehan seksual di sekolah
selama ini yang melibatkan banyak aktor maka sasaran pendidikan seks bukan
lagi hanya siswa melainkan juga guru dan aktor pendidikan lain di sekolah.
Tentu saja dengan program khusus.
Rasanya tidak mungkin kita mengeluarkan peraturan bahwa antara
guru dan siswa tak boleh ada relasi intim sebagai cara mencegah pelecehan
seksual dari oknum guru ke siswa. Memang peraturan ini diberlakukan di
Amerika Serikat namun tetap saja dalam kehidupan liberal di sana pelecehan
seksual dan hubungan seksual ìsuka sama sukaî terjadi di luar sekolah.
Ranah Afeksi
Andai guru tidak boleh ada relasi intim dengan siswa,
konsekuensi logisnya juga tidak boleh ada relasi intim tukang kebun dengan
siswa, penjaga kantin dengan siswa, staf sekolah dengan siswa, dan siswa
dengan siswa sendiri. Padahal relasi sosial adalah unsur penting dalam
praksis pedagogik yang arahnya mengasah ranah afeksi siswa. Tanpa relasi
intim, tidak mungkin terasah empati, simpati, rasa hormat, dan sayang pada
diri siswa.
Memutuskan relasi intim guru dan siswa sama saja dengan
menjadikan praksis pedagogik tidak manusiawi (dehumanisasi). Bagaimana pun
relasi intim guru-siswa, siswa-siswi, tidak dapat dilarang begitu saja.
Relasi intim dalam hal ini jangan dipahami menjurus pada aktivitas seksual
antara laki-laki dan perempuan tapi untuk kepentingan pembelajaran dan
pendidikan.
Lalu bagaimana dapat mengarahkan, mengelola, dan mengontrol
supaya relasi tersebut terjaga dari potensi pelecehan seksual? Di sinilah
perlunya membangun kultur kritis, etis, dan estetis di sekolah, selain kultur
akademik. Dengan memahami sekolah sebagai ruang publik (public sphere/space) terbuka milik bersama maka publik dapat
berpartisipasi dan mengawasi hal-hal yang terjadi di sekolah. Dengan
demikian, praksis pendidikan seks bukan hanya dilakukan di kelas untuk siswa
atau kelas khusus untuk guru misalnya, melainkan juga dalam aktivitas sosial
sehari-hari di sekolah.
Jika kita telusuri lebih jauh, selain evaluasi terus-menerus
yang perlu dilakukan di sekolah untuk mengetahui isu dan masalah seksual di
sekolah, juga melihat kurikulum yang dipelajari oleh calon guru di kampus
kependidikan (lembaga pendidik tenaga kependidikan/LPTK). Sudahkah calon
guru, staf sekolah, kepala sekolah, wakil kepala sekolah mendapat mata kuliah
pendidikan seksual di kampus?
Sebagai bahan refleksi diri, jawabnya: belum. Secara formal tak
ada mata kuliah pendidikan seks untuk semua mahasiswa program kependidikan di
kampus pencetak calon guru. Yang terjadi baru parsial dan sporadis, tersebar
secara acak dan informal pada beberapa aktivitas diskusi, seminar, dan
sejenisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar