Antre
Melamar
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
|
KORAN
SINDO, 30 April 2014
Inilah
realitas politik. Partai-partai menampilkan para tokohnya. Bagi yang tak
punya tokoh internal, mereka tampilkan orang lain. Mungkin terutama asal
membayar. Pantas tak pantas yang membayar dijagokan.
Dielus-elus
untuk diturunkan ke gelanggang. Dan pada masa kampanye, mereka saling
melirik, saling mencari kelemahan lawan. Kira-kira persis jago di dalam suatu
”kalangan”, yang sedang diadu oleh para botohnya. Dalam kalangan adu jago
itu, yang bertarung, menurut Clifford Geertz, ketika mengamati adu jago di
Bali, bukan hanya kedua ayam jantan yang diadu, melainkan para botoh, yaitu
para pemilik jago tersebut.
Dari
luar kalangan, para botoh berdebar-debar, adu kekuatan jantung. Ketika
jagonya dipatuk musuh, sang botoh yang merasakan pedihnya paruh jago lawan.
Ketika kepalanya dicakar dengan kuku-kuku tajam jago musuhnya, sang botoh
lebih merasakan sakitnya. Dalam kecemasan, dan sambil mengurangi kecemasan
itu, dia bersorak-sorak menggalakkan perlawanan jagonya. Sebenarnya dia
bersorak-sorak untuk mengurangi kecemasannya sendiri.
Dalam
kampanye menjelang pemilihan legislatif yang baru lalu itu, barang siapa
berteriakteriak terlalu keras, terlalu bersemangat, boleh jadi dia berteriak
untuk menutup kecemasannya sendiri. Ketika dia menjadi jago lain, boleh jadi
dia sedang menutupi kekerdilannya sendiri. Banyak pihak bersikap seperti itu.
Berarti masing-masing pihak tadi kurang lebih sedang tak mampu berbuat lain
untuk menunjukkan kelebihan dirinya.
Untuk
memperoleh efek komunikasi bahwa dirinya lebih, baginya tak ada jalan lain
kecuali menjelek-jelekkan jago lain. Apakah jago yang dijelek-jelekkan
otomatis jelek, dan tak dipilih rakyat? Tidak. Yang dijelek-jelekkan tidak
otomatis jelek. Kenyataan politik menunjukkan yang dijelek-jelekkan itu malah
dipilih oleh lebih banyak pemilih. Dan ini menjengkelkan orang-orang yang
itu.
Sudah
dijelek-jelekkan dia tidak jelek. Seharusnya, sejak awal orangsudah tahu,
untuk mengangkat nama baik dirinya, dan untuk membikin pengaruh positif di
mata para pemilih, mereka melakukan apa yang simpati, apa yang santun, apa
yang baik, yang dimiliki partainya, dan sekaligus jagonya. Mengatakan yang
baik tidak boleh bohong. Katakan saja pengalaman, dan jasa di masa lalu, yang
faktual, yang cocok dengan kebutuhan rakyat, dan jika tak memiliki apa yang
baik, kata apa adanya.
Politik
boleh bertolak dengan apa adanya. Pelan. Sabar. Tabah menanti gejala
perubahan politik yang menguntungkannya. Baru kemudian menentukan taktik dan
strategi yang bersifat apa adanya tadi. Dan tidak bohong. Partai-partai kita
rata-rata tak memiliki strategi politik seperti ini. Tak ada partai yang
dengan sabar, dan taktis, memulai dari bawah, dengan modal apa adanya, tapi
punya militansi dan sikap politik yang menggambarkan sikap dan wawasan orang
besar.
Tapi
kenyataannya kita semua orang kecil, kerdil-kerdil, berpikir teknis, jangka
pendek dan jarang yang memperlihatkan diri sebagai politisi besar, yang punya
visi kenegaraan dan misi politik yang cukup menggetarkan. Untuk kelihatan
besar, kita mengecilkan partai atau tokoh partai lain. Untuk mengesankan
hebat, kita menjelekkan orang lain. Dan untuk mengesankan bahwa kita jujur,
kita bongkar aib orang lain.
Semua
lupa, tiap pihak punya aib. Tiap pihak punya titik lebih. Semua juga lupa
bahkan tiap pihak punya titik lemah yang sangat fatal. Bagaimana kalau aib
itu dibuka sampai tandas, setandastandasnya, sehingga dia tampak seperti
telanjang bulat, tanpa tabir, tanpa selembar kain penutup? Orang lupa,
tindakan politik harus berhenti di batas wilayah politik. Ketika batas politik
mentok tapi mereka menabraknya, yang ditabrak itu wilayah kriminal.
Politisi
Orde Baru, pemain Orde Baru dulu melakukan itu untuk memenangkan partainya.
Di zaman itu, batas politik dan kriminal tidak ada. Dan dibuat tidak ada.
Partai penguasa sungguh berkuasa. Gaya berpolitik seperti itu masih
ditampilkan oleh sebagian politisi kita, dan partai politik kita sekarang.
Mungkin boleh saja tetap seperti itu. Tapi tak lama masa hidupnya karena,
partai macam itu akan ketinggalan zaman.
Dan
ditinggalkan para pemilihnya, dalam kesepian di tengah hiruk-pikuk kehidupan
politik kita yang kurang besar manfaatnya itu. Yang hidup hanya yang agak
baik, yang berusaha mencari makna demi makna untuk membikin politik kita
menjadi lebih relevan dengan kehidupan masyarakat.
Kontes
politik, yang terjadi selama masa kampanye, disusul debat demi debat
sesudahnya, memperlihatkan gejala itu. Kita disuguhi, dari tahun ke tahun,
berita-berita membosankan. Pertarungan politik kita bukan pertarungan ide,
gagasan dan visi kenegaraan. Kita hanya saling mencakar, seperti jago-jago
yang diadu di dalam suatu kalangan. Kebosanan politik itu tak pernah
berganti.
Dari
tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu, orang partai mendominasi kehidupan,
dengan dominasi kedunguan yang membuat kita ikut dungu. Kapan dominasi
kecerdasan, yang memberi pendidikan politik yang sehat, ganti mendominasi?
Seluruh perhatian tercurah pada urusan teknis, yang bagi orang nonpartai
menyebalkan: membentuk poros-poros aliansi. Seperti anak-anak kecil, para politisi
itu mudah sekali melupakan permusuhan.
Kemarin
musuh, hari ini menjadi kawan. Atau berusaha mati-matian, sekuat tenaga,
untuk menjadi kawan. Jika poros aliansi terbentuk, dan kelak salah satu poros
itu keluar sebagai pemenang, tahukah apa yang bakal segera terjadi
sesudahnya? Untuk waktu pendek, mereka akan berbulan madu. Mereka akan
berkata, kekuatan berbagai partai yang beraliansi itulah kawan sejati. Mereka
sejatinya kawan yang tak ada tolok bandingannya. Kemudian terjadi gesekan
kepentingan.
Kalau
kepentinganlah urusannya, tak ada barang yang bisa disebut kecil. Lalu muncul
caci maki lagi. Lalu bertengkar lagi. Dan masing-masing akan melirik, seperti
dua ekor jago di dalam suatu ”kalangan” sabung ayam. Patok mematok. Cakar
mencakar. Para botoh akan pening. Mereka tak bisa lagi berbuat serileks-
rileksnya. Tindakan harus diambil. Pecah kongsi tak menjadi masalah kalau itu
memang yang harus terjadi. Dan rakyat dipertaruhkan.
Permusuhan
antarpartai terjadi lagi, dengan biaya yang ditanggung rakyat. Betapa berat
nasib rakyat. Tapi biarlah untuk sementara itu kita lupakan, karena poros-poros
mengerikan itu belum terbentuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar