Protokol
Konstitusi Kekosongan Presiden
Andi Irmanputra Sidin ; Pakar Hukum Tata Negara
|
MEDIA
INDONESIA, 28 April 2014
AKHIR-AKHIR ini banyak kalangan
yang bertanya kepada kami, bagaimana jika Presiden/Wakil Presiden
(SBY-Boediono) hingga habis masa jabatannya 20 Oktober 2014 tepat pukul 24.00
WIB, presiden/wakil presiden hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 belum ada?
Apakah akan terjadi kekosongan kekuasaan? Siapa yang berwenang mengambil alih
kekuasaan tersebut?
Tentunya, pertanyaan ini sangat
penting dan memang harus diantisipasi agar negara tidak kaget jika kondisi
terburuk ini sungguh-sungguh terjadi. Oleh karena itu, negara sudah harus
memiliki skenario akan protokol konstitusional guna mengantisipasi kondisi
terburuk tersebut. Jika hal ini tidak ada kesepahaman antisipasinya, akan
muncul terus kekonyolon-kekonyolan opini untuk membenarkan kudeta militer
yang diklaim sebagai kudeta konstitusional.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa
jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai
habis masa jabatannya. Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden,
selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk
memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden.
Jika presiden dan wakil
presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan ialah menteri luar negeri, menteri dalam negeri, menteri
pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan wakil
presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Ketentuan konstitusional ini
hanya berlaku dalam kondisi ‘masa jabatan’ presiden/wakil presiden yang
sedang berjalan, yaitu antara 20 Oktober 2009 s/d 20 Oktober 2014. Namun yang
menjadi persoalan jika masa jabatan Presiden/Wakil Presiden SBY-Boediono
habis tepat pukul 24.00 tanggal 20 Oktober 2014, dan belum ada `masa jabatan'
presiden/wakil presiden yang sedang berjalan, yaitu antara 20 Oktober 2009
s/d 20 Oktober 2014. Namun yang menjadi persoalan jika masa jabatan
Presiden/Wakil Presiden SBY Boediono habis tepat pukul 24.00 tanggal 20
Oktober 2014, dan belum ada presiden dan wakil presiden terpilih hasil
Pilpres 2014 maka ketentuan di atas tidak berlaku, UUD 1945 tidak
mempersiapkan kondisi itu.
Menurut konstitusi, pada
tanggal 20 Oktober 2014 adalah habisnya masa jabatan Presiden SBY termasuk
Wakil Presiden hingga seluruh menteri-menteri negara berikut Jaksa Agung.
Namun sesungguhnya, masih terdapat organ negara yang masih aktif dan tersisa
yaitu Panglima TNI dan Kapolri yang masih bisa normal menjalankan fungsinya
karena masa jabatannya tidak otomatis mengikuti masa jabatan presiden. Dalam
konstruksi ini, kedua lembaga ini oleh konstitusi memang tidak hadir semata
sebagai pembantu presiden seperti para menteri-menteri negara, tetapi yang
utama adalah TNI dan Polri adalah alat negara.
Sampai di sini, pasti akan
menimbulkan problem tersendiri antara Kapolri dan Panglima TNI di tengah
bayang-bayang historis Supersemar, yang diterima Letjen HM Soeharto selaku
Menteri Panglima Angkatan Darat dari Presiden Soekarno dan Inpres No 16/1998
yang diterima Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI dari Presiden Soeharto
(Inpres Wiranto) untuk bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban
menghadapi situasi negara kala itu. Catatan penting bahwa kedua skenario ini
sesungguhnya sudah inkonstitusional jika ingin diterapkan pada saat nanti.
Karena perubahan UUD 1945 sudah menegaskan bahwa Polri adalah alat negara
yang merupakan kekuatan utama dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Jadi, pada kondisi terburuk di
atas, secara konstitusional Kapolri akan menjadi penanggung jawab utama
keamanan dan ketertiban dalam negeri. Oleh karena itu, jangan sampai ada
dorongan bagi militer, untuk mengulang romantisme Supersemar atau Inpres
Wiranto 1998. Dalam kondisi ini pulalah, konstitusi telah mengamanatkan Polri
untuk harus menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk jalannya
roda kekuasaan lain yang sesungguhnya masih ada dan harus terus berjalan
sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, melalui
tulisan ini kami mengingatkan Polri dan seluruh jajarannya harus terus
membangun kepercayaan diri akan jaminan tugas konstitusional tersebut. TNI
harus siap menjadi mitra konstitusional yang membantu Polri guna
terpeliharanya keamanan dan ketertiban serta ketenangan di masyarakat.
Yang harus diketahui, bahwa
tidak ada istilah kekosongan kekuasaan (vacuum
of power) karena konstitusi telah menegaskan bahwa pemegang kekuasaan
bukan hanya presiden karena presiden hanya pemegang kekuasaan pemerintahan.
Masih ada lembaga negara lain, yaitu DPR juga adalah pemegang kekuasaan
pembentukan undang-undang. Selain itu, masih ada dua pelaku kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung. Yang tidak bisa
dinafikan bahwa MPR tetap adalah lembaga tertinggi untuk dan atas nama
kedaulatan rakyat yang roda kekuasaannya tidak bergantung pada roda kekuasaan
presiden.
Oleh karena itu, seandainya
kondisi terburuk di atas terjadi atau sudah bergejala hingga pasangan capres
periode 20142019 belum terpilih hingga akhir masa jabatan SBY-Boediono,
kekuasaan republik ini masih ada dan masih berjalan. MPR, DPR, DPD, MK dan MA
adalah lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional, tetap dapat bergerak
sesuai kewenangannya termasuk merancang protokol konstitusi guna pengisian
jabat an Presiden menurut prinsip konstitusional.
Kondisi terburuk di atas
sesungguhnya bisa dicegah, karena jika betul pasangan capres terpilih belum
ada hingga 20 Oktober 2014, hal tersebut bukanlah peristiwa serta-merta yang
sulit terantisipasi seperti peristiwa kudeta yang terkadang memakan waktu
yang sangat singkat. Pertanda akan terjadinya kondisi terburuk itu
sesungguhnya sudah bisa terbaca jauh hari hingga beberapa bulan sebelum 20
Oktober capres terpilih belum ada hingga 20 Oktober 2014, hal tersebut
bukanlah peristiwa serta-merta yang sulit terantisipasi seperti peristiwa
kudeta yang terkadang memakan waktu yang sanga singkat. Pertanda akan
terjadinya kondisi terburuk itu disi terburuk it sesungguhnya sudah bisa
terbaca jauh hari hingga hari hingg beberapa bulan sebelum 20 Oktober 2014.
Artinya sejak bulan Mei 2014 sesungguhnya pertanda itu sudah mulai bisa
dibaca misalnya mulai molornya waktu pendaftaran bakal pasangan capres pada
pertengahan Mei 2014.
Molornya ini bisa berbagai
sebab, di antaranya tidak dipenuhinya kondisi konstitusional bakal pasangan
capres yang akan berkontes dalam pemilu presiden. Pertanda in sesungguhnya
ibarat `status siaga' dalam tahapan letusan gunung, namun selama dinamika
ketatanegaraannya masih terukur dan dalam kondisi wajar, maka status `siaga'
itu akan segera kembali kepada status `normal'.
Pertanda berikutnya yang
perlu dicermati adalah jadwal pemungutan suara Pilpres pada 9 Juli 2014 juga
mengalami kemunduran atau tertunda tanpa kejelasan. Apabila kondisi ini betul
terjadi dan di luar rasio yang wajar menurut konstitusi, dan dinamika
ketatanegaraan yang hidup cenderung tidak terukur, masa ini se sungguhnya
sudah pada tingkat sta tus `waspada'.
Pertanda lain ialah seandainya
pemungutan suara pilpres berlangsung dua putaran, maka pada Agustus-September
2014, ternyata juga terjadi ketidakmenentuan pemungutan suara putaran kedua,
dan di luar rasio yang wajar menurut konstitusi, dan dinamika ketatanegaraan
juga cenderung tak terukur maka hal ini juga sudah dapat disebut status
`waspada' menjelang terjadinya kekosongan kekuasaan Presiden pada 20 Oktober
2014. Dari pertanda-pertanda ini, penting untuk menyiapkan protokol
antisipasi guna menghindari kekosongan kekuasaan presiden pasca-20 Oktober
2014. Seandainya dalam keadaan paling buruk pendaftaran atau pemungutan suara
Pilpres (Mei-Juli 2014) tertunda/tak berlangsung dalam rasio tidak wajar dari
kalender konstitusional, MPR periode saat ini 2009-2014 yang sesungguhnya
baru habis masa jabatannya 1 Oktober 2014 dapat segera mengantisipasi untuk
melakukan sidang MPR sebelum mengakhiri masa jabatannya dengan agenda
amendemen UUD 1945 guna mengantisipasi kekosongan kekuasaan presiden.
Jika MPR saat ini ternyata
belum mengambil sikap tersebut, hingga habis masa jabatannya 1 Oktober 2014,
MPR periode 2014-2019 juga dapat langsung/ mempersiapkan sidang pada hari
pelantikannya 1 Oktober 2014 untuk langsung mengagendakan Sidang MPR
amendemen UUD 1945. Perubahan konstitusi ini dilakukan dengan catatan bahwa
kondisi molor pilpres tersebut dengan rasio yang tidak wajar tersebut masih
terus berlangsung.
Amendemen UUD 1945 yang
dilakukan adalah menambah ketentuan ayat dalam Pasal 8 UUD 1945 bahwa dalam
hal Presiden dan wakil Presiden belum terpilih menurut mekanisme dipilih
langsung oleh rakyat, maka paling lambat 3x24 jam sebelum habis masa jabatan
presiden dan wakil presiden, MPR telah memilih presiden dan wakil presiden
untuk ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden periode berikutnya.
Protokol lain, dalam keadaan
paling buruk seandainya MPR juga tak dapat menjalankan fungsinya, akibat
kuorum tak tercapai hingga menjelang 3x24 jam habisnya masa jabatan
Presiden/Wakil Presiden. Sebagai catatan bahwa kuorum tak tercapai ini bisa
karena berbagi faktor, misalnya sosial, politik, atau geografis maka
sesungguhnya kondisi pemerintahan dalam status ‘awas’ menjelang kekosongan
kekuasaan pemerintahan. Protokol yang harus terjadi adalah Mahkamah
Konstitusi (MK) harus segera mengeluarkan putusan guna memberikan
interpretasi konstitusional (sama kedudukannya dengan UUD 1945) akan habisnya
masa jabatan presiden dan wakil presiden tersebut.
Putusan MK inilah nantinya bisa
menjadi payung konstitusional yang berisi protokol konstitusional untuk
bertindak bagi siapa pun organ negara yang ditunjuk MK guna melakukan
pemulihan secara cepat akan kekuasaan pemerintahan yang habis masa
jabatannya. Otoritas itu bisa diberikan kepada organ negara (incumbent atau lainnya) yang dianggap
tepat untuk menjalankannya, semua tergantung dinamika kebutuhan
konstitusional saat itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar