Demi
Suara Rakyat
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS,
28 April 2014
Menjelang
dan selama masa pemilu, nama ”rakyat” selalu ramai disebut, dibicarakan,
diwacanakan, ditulis, dinarasikan, ditampilkan, dan ditayangkan di
ruang-ruang komunikasi politik. Eksistensi ”rakyat” kini begitu penting
dibandingkan hari-hari biasa.
Aneka
bentuk narasi, cerita, rencana, visi, dan program yang diwacanakan melalui
aneka komunikasi politik, semuanya disampaikan ”atas nama rakyat”. Rakyat
kini menjadi figur sentral retorika politik.
Meski
nama ”rakyat” sering disebut dalam setiap pesta demokrasi, tak berarti mereka
secara substansial memainkan peran sentral dalam proses demokrasi. Kata
”rakyat” memang dieksploitasi secara semiotik dan semantik dalam aneka wacana
dan retorika politik, tetapi eksistensi mereka sesungguhnya dikerdilkan
karena rakyat dalam sistem demokrasi mutakhir direduksi menjadi sekadar
”konsumen” dari produk ”kapitalisme politik”, dalam ruang demokrasi yang
telah direduksi menjadi etalase ”pasar politik”.
Dalam
kondisi kapitalisasi politik—saat kapital, uang, dan materi jadi kekuatan
utama politik—kekuasaan rakyat sebagai esensi demokrasi diambil alih kekuasaan
kapital yang mengondisikan rakyat sebagai ”buruh” sekaligus ”pembeli” produk
para kapitalis politik yang dipasarkan di dalam pasar politik. Rakyat yang
telah dilucuti kekuasaannya kini jadi target pemasaran politik, yang
dieksploitasi suara mereka. Pesta demokrasi kini bukan bermakna pertarungan
politik ”demi rakyat”, melainkan ”demi suara rakyat”.
De-demokratisasi
Demokrasi
yang secara genealogis bermakna ’kekuasaan di tangan rakyat’ (rule by the people), dalam realitasnya
tak mungkin direalisasikan dalam sistem negara modern, saat ”rakyat” hadir
dalam jumlah masif. Demokrasi perwakilan adalah solusi, saat kekuasaan rakyat
diwakilkan kepada individu yang dipilih oleh rakyat. Perwakilan dari rakyat
kepada individu ini yang selalu menimbulkan masalah pelik dalam demokrasi
karena selalu ada ”jarak” antara rakyat dan individu-individu yang mewakili
mereka.
Karena
”rakyat”—yang berjumlah masif—tak mungkin berkuasa, nama ”kekuasaan rakyat”
sesungguhnya ”nama yang bukan nama”, nama tanpa realitas, karena pemilik
kekuasaan sesungguhnya ”seseorang” atau ”sekelompok kecil orang” yang dipilih
rakyat. Artinya, ”kekuasaan di tangan rakyat” menjadi ”kekuasaan di tangan
siapa pun” (rule by anyone). Di
sini, demokrasi tak berbeda dari oligarki karena kekuasaan dipegang oleh
sekelompok individu, bukan oleh rakyat dalam arti sebenarnya. ”Rakyat” tak
lebih dari nama tanpa entitas (Ranciere,
2006).
Pemilu
adalah sebuah pesta saat eksistensi rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi kembali dipertaruhkan. Kini, kata demos (rakyat) dan kratia
(kekuasaan) di dalam pemilu dirajut kembali, seakan-akan pertarungan politik
dalam pesta demokrasi, semuanya adalah demi ”kekuasaan rakyat”. Padahal,
dalam realitasnya demos dipisahkan dari kratia karena rakyat kini bukan
subyek kekuasaan, melainkan obyek yang dieksploitasi oleh para kapitalis
politik demi mendapatkan kekuasaan melalui aneka retorika politik ”atas nama
rakyat”.
Sebagai
”pesta demokrasi”, pemilu diramaikan suasana pesta: pidato, hiburan,
arak-arakan, tari-tarian, karnaval, berbalas pantun, bahkan perang puisi,
untuk mengiringi rakyat memilih para pemimpin. Akan tetapi, ini pesta siapa?
Apakah ini pesta rakyat sebagai manifestasi kedaulatan rakyat? Sayangnya,
pesta demokrasi kini bukan pesta perayaan kekuasaan rakyat, melainkan
kekuasaan kapital yang dikerahkan untuk memanipulasi kesadaran dan
ketaksadaran rakyat demi mendapatkan suara mereka.
Kapitalisme
politik menciptakan kondisi ”de-demokratisasi” sehingga proses pembangunan
demokrasi justru berbalik jadi proses penghancuran pilar-pilar demokrasi itu
sendiri. Salah satu pilar adalah kekuatan demos, yaitu kedaulatan rakyat.
Kekuatan rakyat kini ”dilucuti” dengan mendistorsi kekuatan riil mereka
sebagai rakyat, menjadi sekadar ”konsumen” dari sebuah ”ruang politik” yang
telah berubah menjadi ”pasar bebas politik”. Demos sebagai ”pemilik”
kekuasaan demokratis, menjadi Homo consumericus, yaitu para konsumen tontonan
kekuasaan.
De-demokratisasi
adalah kondisi ketika ruang demokrasi dikendalikan kekuatan gabungan
korporasi, parpol, dan kekuatan negara, di mana yang memiliki peran sentral
di dalamnya adalah para bankir investasi, CEO korporat, broker,
taipan
media, branding consultant, dan event organization, dengan target
utama
mereka adalah akumulasi modal, untuk kemudian diinvestasikan di dalam ”pasar
politik” demi kekuasaan (Brown, 2010).
”Pesta
demokrasi” kini tak lebih pesta para Homo
econo-politicus yang merayakan kelimpahan materi, timbunan uang, kekuatan
media, dan popularitas untuk dihamburkan di ruang panggung hiburan, iklan
televisi, pencitraan visual media, arak-arakan karnaval, bahkan bagi-bagi
uang, semata untuk dapat suara rakyat. Rakyat sendiri bukan bagian dari
”pesta” ini karena mereka hanyalah ”penonton” ingar-bingar pesta perebutan
kekuasaan dan tak memiliki kekuasaan apa pun, selain kekuasaan memilih di
bilik suara.
Ketika
rakyat disuguhi strategi pemasaran sophisticated layaknya pemasaran produk,
komunikasi politik yang diubah jadi strategi branding, dan pertarungan calon
pemimpin layaknya pertarungan brand, keberhasilan politik direduksi menjadi
keberhasilan strategi media, pemasaran, dan branding. Pertarungan ideologi
sebagai esensi politik hanya diberi tempat sejauh ia bisa dikonversikan jadi
elemen pertarungan branding politik. Kemenangan politik kini ditentukan
kecanggihan EO politik, bukan oleh kapasitas intelektual, kecerdasan, dan
kepemimpinan.
Dalam
kondisi ruang politik dikuasai kekuatan ekonomi, zoon politicon menjelma Homo
economicus, dan demos dikerdilkan
jadi Homo consumericus,
sesungguhnya tak ada lagi ruang tersisa bagi rakyat. Pemilu yang semestinya
pesta rakyat jadi pesta para oligarch, yang menginvestasikan timbunan
kapitalnya demi mendapatkan suara rakyat. ”Demi rakyat” sebagai esensi dari
sistem demokrasi dimanipulasi menjadi ”demi suara rakyat”.
Tirani angka
Pesta
demokrasi juga diramaikan oleh kehadiran lembaga survei lewat jajak pendapat
dan penghitungan cepat (quick count)
yang tentu sangat membantu dalam mempercepat proses pemilihan. Tak kurang
dari 56 lembaga survei dan penyelenggara hitung cepat terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum. Menjamurnya lembaga survei ini penanda sangat sentralnya
peran angka dalam demokrasi. Pemilu adalah bagian prosedur politik, khususnya
terkait dengan penggunaan hak warga untuk memilih. ”Suara” secara
administrasi-prosedural adalah representasi matematis dari aspirasi,
keinginan, keyakinan, kepentingan, dan ideal-ideal individu sebagai warga.
Dengan memberikan suara sama artinya menyampaikan aspirasi, keinginan, dan
ideal-ideal, yang nanti direalisasikan pemimpin terpilih.
Secara
eksistensial, suara adalah manifestasi vox populi vox dei, yaitu suara rakyat
sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam demokrasi sehingga dipandang
seakan-akan seperti ”suara Tuhan”. Namun, dalam
sistem
demokrasi—seperti ditunjukkan dalam pemilu—”suara rakyat” yang memiliki
dimensi-dimensi makna eksistensial-transendental direduksi jadi ”angka”,
sebagai faktor tunggal-absolut penentu kemenangan dalam pemilu. Demokrasi
macam ini membawa pada semacam ”tirani angka” (the tyranny of number), yaitu prinsip mayoritas mengalahkan
prinsip pluralitas opini, keyakinan, dan ideologi. Padahal, angka tak sama
dengan kebenaran. Angka tinggi bukan jaminan pemimpin terpilih adalah
pemimpin terbaik (Badiou, 2008).
Kecenderungan
”fetisisme angka” macam ini—perayaan angka sebagai ukuran tunggal-absolut
pertarungan politik—telah menjauhkan politik dari ”yang politik” (the political), yaitu pluralitas
keyakinan, ideologi, dan ideal-ideal politik yang bersifat antagonis satu
sama lain. ”Yang politik” hanya ada jika ada pertarungan hegemoni berbasis
ideologi (Mouffe, 1993). Angka
tercabut dari politik ketika angka itu diperoleh bukan dari pertarungan
ideologi, melainkan pertarungan kekuatan non-ideologis: materi dan pencitraan.
Tirani
angka membentangkan jurang dalam, terkait dua sistem legitimasi saling
bertentangan dalam konteks memilih pemimpin. Di satu pihak, legitimasi
melalui pemilihan umum berupa popular vote, yaitu jumlah suara tertinggi
menjadi ukuran kemenangan politik. Di pihak lain, legitimasi melalui
kemampuan memilih solusi terbaik bagi aneka masalah bangsa. Ironisnya,
”pemimpin terbaik” hanya dapat dilahirkan melalui sebuah mekanisme saringan
pengetahuan obyektif tentang kapasitas kepemimpinan yang melibatkan berbagai
pakar multidisiplin, bukan melalui popular
vote (Laclau, 2005).
Jurang
antara ”pemimpin ideal” (yang memiliki kapasitas menyelesaikan aneka masalah
bangsa) dan ”pemimpin populer” (yang dipilih karena mampu membangun
sentimen-sentimen pada mayoritas) berulang dalam setiap pesta demokrasi.
Selalu ada jurang antara ”kebutuhan bangsa” dan pemimpin yang ”dilahirkan”
melalui popular voting. Kini, pesta
demokrasi layaknya pentas Indonesian
Idol, yang dibangun dan dilahirkan adalah para ”idola politik”, yang
populer karena mampu membangun diri sebagai media darling.
Sebuah
kesadaran publik layak dibangun bahwa pesta demokrasi bukan pesta ”masyarakat
tontonan”, arena sirkus pemasaran, tontonan fund-raising event organization, branding, dan mobilisasi massa
demi suara rakyat. Esensi demokrasi adalah setiap calon pemimpin yang
bertarung dalam pertarungan politik, seperti pemilu, membawa beban amanat
”kekuasaan rakyat”, yaitu mengajukan diri sebagai calon pemimpin ”demi
rakyat”. Demokrasi lebih dari sekadar angka, lebih dari sekadar populer dalam
jajak pendapat!
Demos bukan Homo consumericus dari panggung tontonan pertarungan kekuasaan,
tetapi ”sang pemilik” kekuasaan itu sendiri. Hak dan kebebasan rakyat dalam
memilih harus diartikan sebagai kebebasan di atas fondasi ”kekuasaan rakyat”.
Rakyat yang dikonversikan menjadi ”konsumen politik” tak lebih dari massa
yang menjadi sasaran dan target aneka strategi ”pemasaran politik”, yang
kesadaran dan ketaksadarannya dieksploitasi melalui aneka teknik psikografis,
branding, dan pemasaran, agar
mereka memilih secara bebas dalam kondisi pilihan-pilihan sudah ditentukan
melalui mekanisme ”pasar politik”.
Pesta
demokrasi harus dipandang sebagai pesta untuk membangun dua legitimasi
tentang kedaulatan rakyat. Di satu pihak, memulihkan kedaulatan rakyat,
membebaskan mereka dari cengkeraman kapitalisme politik, menjauhkan mereka
dari ilusi media yang menyesatkan, mengangkat mereka dari sekadar konsumer
politik. Di pihak lain, mengentaskan mereka dari kondisi ketakberdayaan,
menjadikan mereka ”subyek” dan ”produser” politik, membangun kualifikasi
rakyat agar memiliki kekuatan mandiri dalam menentukan aspirasi dan pilihan
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar