Koalisi
dengan Kabinet Ahli
Marwan Mas ; Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 29 April 2014
Komunikasi
politik para elite partai politik (parpol) setelah pemilu legislatif terus
terjadi dengan berdasar pada hasil cepat (quick
count) lembaga-lembaga survei.
Meski
masih harus menunggu hasil penghitungan dan penetapan suara Komisi Pemilihan
Umum (KPU), diyakini tidak akan jauh beda dengan hasil hitung cepat. Maka
itu, komunikasi berjalan untuk mencapai kesepakatan yang populer disebut
”koalisi” untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres). Ada yang melakukannya secara terbuka, tetapi ada juga yang
menggelarnya dengan senyap.
Koalisi
harus dilakukan lantaran tidak ada satu partai yang memenuhi ketentuan Pasal
9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Syarat
bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan capres dan cawapres, adalah
memperoleh minimal 20% perolehan kursi DPR (112 kursi) atau minimal 25%
perolehan suara secara nasional hasil pemilu legislatif. PDIP yang menjadi
pengumpul suara terbanyak (19,77%), tetapi tidak dapat disebut sebagai
”pemenang pemilu” lantaran tidak memperoleh suara lebih dari 50%, telah
menjalin koalisi dengan Partai NasDem pada 12 April 2014 lalu.
Artinya,
ukuran bagi parpol dianggap memenangkan pemilu legislatif bila meraih suara
atau kursi di parlemen 50% lebih. Apabila kelak memenangkan pemilihan
presiden, semua kebijakan presiden akan aman di parlemen.
Koalisi Strategis
Sudah
banyak pengamat yang memberikan pandangan bagaimana membangun koalisi dalam
pemerintahan presidensial. Ada yang menyebut koalisi dalam pemerintahan
presidensial tidak harus persis sama dengan koalisi parpol pada sistem
parlementer. Belajar pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) yang selalu membangun koalisi gemuk, tetapi dalam praktiknya
tidak selalu mendapat dukungan secara penuh di parlemen.
Begitulah
praktik koalisi di negeri ini akibat parpol yang tergabung dalam koalisi
tidak satu ideologi dan platform. Padahal, koalisi yang akan dibangun
sebetulnya bukan hanya memperebutkan posisi presiden atau calon wakil
presiden, melainkan juga berlanjut untuk jangka waktu lima tahun
pemerintahan. Di dalamnya sudah disepakati program kerja yang harus mengacu
pada perbaikan kehidupan rakyat.
Koalisi
juga tidak boleh selalu didasarkan pada pemeo politik ”tidak ada lawan atau
kawan yang permanen”, sebab yang permanen adalah ”kepentingan”. Pemeo politik
ini dalam pemerintahan presidensial perlu direvisi bahwa ”kepentingan rakyat”
harus dijadikan ”kepentingan bersama” sehingga semua parpol koalisi berjalan
bersama pula. Tidak boleh ada yang menyimpang, apalagi menantang kebijakan
yang sudah disepakati, terutama pada pembahasan usulan presiden yang harus
mendapat persetujuan di parlemen.
Kalau
koalisi untuk mengusulkan capres dan cawapres selalu didasarkan pada motivasi
partai-partai dengan cara menjalin kongsi atau persekutuan dagang, tawar-menawar
pembagian kursi menteri, maka negeri ini tidak akan pernah melepaskan diri
dari ”masa transisi demokrasi”. Capres dan cawapres yang diusung juga tidak
boleh pada kelompok yang sama buruknya, sebab secara sederhana dapat memaksa
pemilih untuk memilih ”tidak memilih” alias golongan putih (golput) pada 9
Juli nanti.
Pasangan
capres yang diajukan ialah yang memiliki rekam jejak yang bersih dan reputasi
kinerja yang baik, punya kapabilitas dan kompetensi sebagai pemimpin negara.
Bukan hanya itu, tetapi juga memiliki kemampuan mengenali kondisi rakyatnya
dengan baik, kemudian memetakan permasalahan utama bangsa dengan menyiapkan
solusinya secara mendasar dan terukur. Semua program kerja didesain dengan
baik dan betul-betul bisa diukur implementasinya.
Kabinet Amanat Konstitusi
Berkaca
pada kabinet selama pemerintahan reformasi, struktur kabinet tidak lebih dari
pengavelingan kekuasaan. Menteri-menteri yang ditunjuk selalu berasal dari
parpol koalisi yang kadang tidak sesuai dengan keahliannya, sebab nama yang
diusulkan rata-rata ketua umum partai. Akibatnya, kerja kabinet juga tidak
merujuk kepentingan rakyat. Kabinet yang dibangun harus diisi oleh kalangan
profesional berdasarkan keahlian dan kemampuan intelektualnya.
Ini
merupakan keniscayaan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Amanat
konstitusi bukan tanpa garansi, sebab sebagai pemimpin di kementerian
(departemen), menteri harus mengetahui konstelasi bidang pekerjaannya sejalan
dengan keahliannya. Menteri juga harus memiliki kecakapan dan mampu
memengaruhi presiden untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Dari
berbagai literatur, kabinet ahli (zaken kabinet) merupakan kabinet yang diisi
oleh orang-orang ahli di bidang pekerjaan yang akan diberikan. Berbeda dengan
kabinet ”dagang sapi” yang biasanya diukur pada kesetiaan sang menteri kepada
pimpinan parpol yang mengusulkan. Bisa saja menteri yang bersangkutan
memiliki keahlian, tetapi karena diusulkan oleh parpol menyebabkan
keahliannya bisa melempem saat kepentingan parpol menghendakinya. Sementara
kesetiaan kepada presiden yang mengangkatnya biasanya hanya didasarkan pada
kepentingan politik.
Jika pun
pembentukan kabinet tidak terlepas dari tindakan politik, pertimbangan
membangun kabinet tidak boleh terjebak pada pertimbangan politik semata.
Selalu ada ruang ekstra yang harus dimanfaatkan bahwa sejak reformasi
digulirkan, rakyat belum betul-betul merasakan kehidupan yang lebih baik.
Salah
satu ukuran tercapainya harapan rakyat, terletak pada tangan- tangan dingin
menteri, yang berdasarkan keahliannya memformat program yang bisa mengantar
negeri ini keluar dari berbagai permasalahan. Pemilu 2014 seyogianya
menghasilkan pemerintahan yang kuat. Selain koalisinya tidak terlalu gemuk,
juga para pengambil kebijakan diisi oleh manusia-manusia yang sarat idealisme
dan memiliki karakter pengabdian.
Harus
mendesain kabinet Indonesia Baru yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan
bangsa dan negara. Bukan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri dan
kelompoknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar