Antara
Baju dan “Laku”
Rosidi ; Staf Humas Universitas Muria Kudus (UMK)
|
SUARA
MERDEKA, 24 April 2014
Artikel
Ernawati Yohana S berjudul ’’Samin dalam Selembar Kain Batik’’ (SM, 20/3/14)
tak saja menarik bagi penganut ajaran Samin dan masyarakat daerah yang hingga
kini masih memiliki Sedulur Sikep, seperti Blora, Pati, dan Kudus tapi juga
bagi peneliti dan pengkaji. Termasuk yang memiliki kedekatan dengan penganut
ajaran itu.
Penulis
ingin memperkaya dengan berbagai pemikiran mengenai gagasan progresif
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora yang menggagas pemberlakuan mengenakan
pakaian dinas model samin bagi PNS di wilayah kerjanya tiap Jumat. Memang
hingga saat ini belum ada penjelasan rinci, apalagi tertulis, mengenai desain
atau model pakaian itu.
Mengenakan
busana (pakaian) samin sebenarnya bukan sekadar memakainya. Hal itu mengingat
beberapa konsekuensi etik moral yang mengiringi, yang tentu harus dipahami
oleh pemakai busana itu. Tidak menutup kemungkinan di antara PNS yang
nantinya berbusana samin belum memahami ajaran Ki Samin Surosentiko.
Termasuk
belum memahami secara utuh berbagai ajaran dan laku luhur yang diwariskan
tokoh itu. Berangkat dari pemikiran mendasar tersebut, Pemkab Blora
seyogianya sedari awal membekali pemahaman yang lebih utuh kepada PNS di Kota
Minyak, terkait ajaran dan laku Sikep itu.
Soal
siapa yang akan menyampaikan nilai-nilai yang diwariskan Ki Samin, di Blora
ada tokoh seperti Mbah Sariman (buyut mantu Ki Samin Surosentiko di Desa
Tanduran, Kecamatan Kedungtuban Blora), Pramugi Prawiro Wijoyo (Blimbing,
Sambongrejo), dan Mbah Lasio (Karangpace, Klopoduwur).
Pemahaman
nilai-nilai yang diajarkan Ki Samin bagi masyarakat Blora, khususnya PNS yang
akan mengenakan busana samin, menjadi penting supaya busana yang mereka
kenakan itu tidak sekadar simbol atau kebanggaan semu semata.
Sarat Makna
Samin
sejatinya merupakan ajaran (laku) kebajikan yang mudah dipahami. Hanya pada
tataran praksis kehidupan sehari-hari, awam tidak mudah memahami kode
etik-moral yang digariskan. Mengapa disebut Samin? Jariman, penganut ajaran
Sikep di Tanduran ketika ditemui penulis di kediaman Mbah Sariman
menjelaskan, ’’Diarani Samin, merga sing takon ya wong, sing njawab yo wing.
Dadi pada-pada, sami-sami.’’
Pernyataannya
itu memberi tafsir bahwa samin adalah ajaran yang menolak kastanisasi dalam
struktur masyarakat. Mendasarkan pada paham itu, tiap orang sebenarnya
berderajat sama. Pemahaman itu sama dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam,
yang hanya menegaskan perbedaan itu hanya menyangkut kadar ketakwaan kepada
Tuhan.
Meski
samin ajaran sederhana, tak semua orang bisa mempraktikkan dalam keseharian.
Umumnya, tamu berdasi dan datang dengan mobil mewah, akan mendapatkan penghormatan
berlebih ketimbang tamu biasa. Pemahaman itu tentu tidak senapas dengan
saminisme. Belum lagi berkait ajaran mengenai prinsip hidup orang yang selalu
ngugemi (berkomitmen) menghindari drengki, srei, panasten, dawen, kemeren,
nyiya-nyiya sepada, dan sebagainya.
Sistem
sosial yang dipegang teguh penganut Sedulur
Sikep ini mengarah pada kebaikan bersama. Masyarakat Samin senantiasa
menjaga hubungan baik antara sesama penganut Sikep (Samin) dan masyarakat lain, yang akhirnya sampai pada
pengakuan sebagai sedulur atau saudara (Pramugi
Prawiro Wijoyo, 2010).
Semua
itu masih sisi kecil dari ajaran Samin. Lainnya, penghargaan terhadap
lingkungan yang begitu tinggi, sehingga tidak mau mengeksploitasinya di luar
kadar yang diperlukan. Masih banyak hal (ajaran) Samin yang perlu
diinternalisasikkan kepada publik di Blora, khususnya PNS.
Layak
memberi apresiasi bila gagasan mengenai busana samin benar-benar
direalisasikan. Selain mengingatkan masyarakat, terutama generasi muda, akan
tokoh besar yang dimiliki, kebijakan itu sekaligus menginternalisasikan
nilai-nilai yang diwariskan. Semoga kebijakan ini bukan hanya simbol tanpa
makna melainkan berdampak positif bagi jalannya pemerintahan yang lebih baik,
sesuai dengan nilai dan etik moral yang diajarkan Ki Samin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar