Caleg
Stres dan Politik Uang
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 25 April 2014
Pasca-pemilihan
legislatif (pileg), rumah sakit jiwa bakal kebanjiran pasien stres. Di
berbagai tempat, caleg yang menghabiskan dana besar dan hanya mendapatkan
suara minimal, sudah mulai berderet dalam rumah sakit jiwa.
Di
Lamongan Jawa Timur, sebuah pesantren sudah menerima 40 caleg yang gagal
dalam Pemilu 2014.
Banyaknya
caleg stres merupakan indikasi bahwa demokrasi modern di Indonesia
menghasilkan ragam paradoks. Salah satunya adalah politik biaya tinggi.
Setiap
calon wakil rakyat, calon kepala daerah, apalagi calon presiden, bukan
menghitung besarnya jalan perjuangan yang akan diberikan kepada rakyat,
melainkan menghitung seberapa besar biaya yang akan dikeluarkan dan seberapa
besar uang yang akan dikorupsi untuk mengembalikan biaya politik yang sudah
digunakan.
Fenomena
ini sungguh telah merusak tatanan demokrasi modern yang dibaru dibangun era
Reformasi ini, terbukti dengan banyaknya wakil rakyat dan kepala daerah yang
masuk bui.
Donny
Tjahja Rimbawan (2013) mengalkulasi, dalam pengelolaan partai politik saja,
uang selama lima tahun yang harus dikeluarkan parpol berkisar Rp 188,700
miliar untuk keberadaan kantor parpol di kabupaten/kota dan ibu kota
provinsi. Biaya lebih besar dikeluarkan para caleg yang akan duduk di DPR dan
DPRD.
Setidaknya,
jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp 160,120 triliun. Untuk
pemilihan kepala daerah, setidaknya dana yang gelontorkan di seluruh
Indonesia mencapai Rp 23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon
gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar dan seorang calon
bupati/wali kota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar.
Dana
yang dibutuhkan para capres juga tidak kalah hebatnya. Seorang capres
setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp 7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta
suara rakyat Indonesia. Total dana yang dikeluarkan untuk biaya politik
selama lima tahun mencapai Rp 190,488 triliun.
Semua
dana yang dikeluarkan para politikus tersebut tidak sebanding dengan
pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa. Dana tersebut juga tidak
sebanding dengan nilai demokrasi yang seharusnya menyejahterahkan rakyat
Indonesia. Akhirnya, demokrasi hanya digadaikan para penguasa untuk
kepentingan sesaat, sementara kepentingan rakyat terus terpinggirkan dan tak
pernah dipikirkan. Kalaupun dikaji dan diseminarkan, hanya selesai dalam
ruang seminar saja.
Politik Plutokrasi
Politik
biaya tinggi hanya akan melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik
yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial yang besar yang
akan terpilih.
Kriteria
parpol dalam menetapkan calon terpilih adalah seseorang yang memiliki
kekuatan logistik yang besar, sementara calon yang miskin kekuatan logistik
hanya akan menjadi penghibur dalam pentas politik. Walaupun memiliki
integritas dan kemampuan yang mumpuni, tetapi miskin logistik, tetap saja
akan tersinggirkan dalam peta politik.
Politik
plutokrasi pada akhirnya mendorong lahirnya perburuan rente dalam jebakan
birokrasi negara dan pemerintahan. Politik perburuan rente ini akan sangat
kentara menjelang detik-detik menegangkan dalam Pemilu 2014. Perburuan rente
bukan saja dilakukan individu, melainkan juga partai politik.
Lihat
saja kasus Hambalang, di sana terlihat sekali individu dan partainya terlibat
langsung dalam perburuan rente. Kasus-kasus lain juga tidak jauh berbeda
karena partai politik juga sangat berkepentingan mengamankan logistik dalam
Pemilu 2014.
Sebagian
rakyat juga terlibat dalam politik transaksional. Sekarang mendukung partai
A, besoknya bisa berpindah mendukung partai B, C, dan seterusnya. Politik
transaksional yang dilakukan sebagian rakyat ini sangat terkandung dengan
kekuatan logistik calon dan partai.
Kalau
logistik tinggi, dukungan akan mengalir. Kalau logistik rendah, dukungan akan
beralih kepada yang lain. Transaksi politik ini sudah terjadi sampai
masyarakat tingkat paling bawah. Jelas, ini sangat berbahaya karena partai
politik dan rakyat sedang melakukan “bunuh diri” terhadap masa depan
demokrasi.
Politik
biaya tinggi juga melahirkan politikus yang miskin karakter. Tidak sedikit
wakil rakyat yang justru tidur ketika memikirkan persoalan rakyat. Memikirkan
saja sudah tidur, apalagi di tingkat perjuangan di lapangan, pasti tidak ada
bekasnya. Politikus miskin karakter sedang tumbuh subur karena mereka terus memanfaatkan
sindrom politik biaya tinggi untuk menumpuk kekayaaan dan melanggengkan
kekuasaan.
Meminimalkan
Politik
biaya tinggi merupakan fenomena politik yang tidak bisa dibiarkan berjalan
merusak demokrasi kita. Semua harus bersama-sama mengakhiri praktik politik
biaya tinggi ini. Baik individu maupun parpol harus melakukan siasat cerdas,
sehingga politik biaya tinggi bisa diminimalkan dan diakhiri.
Menurut
Pramono Anung (2012), ada lima strategi dalam mengakhiri politik biaya
tinggi. Pertama, membuat aturan yang memperbolehkan partai untuk mempunyai
badan usaha. Melalui badan usaha ini, partai bisa mempunyai income yang jelas
dalam menghidupi kegiatan dan biaya pemilu.
Kedua,
kampanye dibiayai oleh negara. Sistem pembiayaan kampanye oleh negara sudah
lazim di negara-negara barat. Ketiga, mengganti sistem proporsional terbuka
menjadi proporsional gabungan. Artinya, anggota legislatif yang akan duduk di
parlemen dipilih melalui dua sistem, yaitu dipilih publik dan penunjukan
langsung oleh parpol.
Keempat,
agar pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), melalui UU dan peraturan
KPU, membuat regulasi pembatasan dana kampanye yang dapat dikeluarkan caleg.
Pembatasan dana kampanye hingga kini hanya mengatur parpol dan capres.
Jadi,
nanti tidak ada lagi pandangan mengenai pertarungan antara orang kaya dan
miskin, yang ada pertarungan kualitas antarcaleg. Kelima, mengembalikan
pemilu kada tingkat I (provinsi) ke DPRD. Jadi, pemilihan gubernur ditentukan
DPRD. Pilkada langsung hanya untuk daerah tingkat dua.
Ide
Pramono Anung ini menarik, tetapi yang lebih penting adalah komitmen partai
politik dalam membangun demokrasi yang bersih dan martabat di Indonesia.
Komitmen partai kemudian menjadi aturan main partai yang digunakan gerak para
politikus, kemudian para politikus berkomitmen membangun tata aturan
penyelengarakan kampanye dan pemilu yang tepat dan efektif.
Komitmen
partai ini harus segera dimulai, sehingga demokrasi Indonesia masih bisa
segera diselematkan dari arogansi politik plutokrasi yang bisa menjadi bom
waktu dalam Pemilu 2014 nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar