Senin, 28 April 2014

Caleg Stres dan Politik Uang

Caleg Stres dan Politik Uang

Muhammadun  ;   Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 25 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Pasca-pemilihan legislatif (pileg), rumah sakit jiwa bakal kebanjiran pasien stres. Di berbagai tempat, caleg yang menghabiskan dana besar dan hanya mendapatkan suara minimal, sudah mulai berderet dalam rumah sakit jiwa.

Di Lamongan Jawa Timur, sebuah pesantren sudah menerima 40 caleg yang gagal dalam Pemilu 2014.

Banyaknya caleg stres merupakan indikasi bahwa demokrasi modern di Indonesia menghasilkan ragam paradoks. Salah satunya adalah politik biaya tinggi.

Setiap calon wakil rakyat, calon kepala daerah, apalagi calon presiden, bukan menghitung besarnya jalan perjuangan yang akan diberikan kepada rakyat, melainkan menghitung seberapa besar biaya yang akan dikeluarkan dan seberapa besar uang yang akan dikorupsi untuk mengembalikan biaya politik yang sudah digunakan.

Fenomena ini sungguh telah merusak tatanan demokrasi modern yang dibaru dibangun era Reformasi ini, terbukti dengan banyaknya wakil rakyat dan kepala daerah yang masuk bui.

Donny Tjahja Rimbawan (2013) mengalkulasi, dalam pengelolaan partai politik saja, uang selama lima tahun yang harus dikeluarkan parpol berkisar Rp 188,700 miliar untuk keberadaan kantor parpol di kabupaten/kota dan ibu kota provinsi. Biaya lebih besar dikeluarkan para caleg yang akan duduk di DPR dan DPRD.

Setidaknya, jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp 160,120 triliun. Untuk pemilihan kepala daerah, setidaknya dana yang gelontorkan di seluruh Indonesia mencapai Rp 23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar dan seorang calon bupati/wali kota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar.

Dana yang dibutuhkan para capres juga tidak kalah hebatnya. Seorang capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp 7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia. Total dana yang dikeluarkan untuk biaya politik selama lima tahun mencapai Rp 190,488 triliun.

Semua dana yang dikeluarkan para politikus tersebut tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa. Dana tersebut juga tidak sebanding dengan nilai demokrasi yang seharusnya menyejahterahkan rakyat Indonesia. Akhirnya, demokrasi hanya digadaikan para penguasa untuk kepentingan sesaat, sementara kepentingan rakyat terus terpinggirkan dan tak pernah dipikirkan. Kalaupun dikaji dan diseminarkan, hanya selesai dalam ruang seminar saja.

Politik Plutokrasi

Politik biaya tinggi hanya akan melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial yang besar yang akan terpilih.

Kriteria parpol dalam menetapkan calon terpilih adalah seseorang yang memiliki kekuatan logistik yang besar, sementara calon yang miskin kekuatan logistik hanya akan menjadi penghibur dalam pentas politik. Walaupun memiliki integritas dan kemampuan yang mumpuni, tetapi miskin logistik, tetap saja akan tersinggirkan dalam peta politik.

Politik plutokrasi pada akhirnya mendorong lahirnya perburuan rente dalam jebakan birokrasi negara dan pemerintahan. Politik perburuan rente ini akan sangat kentara menjelang detik-detik menegangkan dalam Pemilu 2014. Perburuan rente bukan saja dilakukan individu, melainkan juga partai politik.

Lihat saja kasus Hambalang, di sana terlihat sekali individu dan partainya terlibat langsung dalam perburuan rente. Kasus-kasus lain juga tidak jauh berbeda karena partai politik juga sangat berkepentingan mengamankan logistik dalam Pemilu 2014.

Sebagian rakyat juga terlibat dalam politik transaksional. Sekarang mendukung partai A, besoknya bisa berpindah mendukung partai B, C, dan seterusnya. Politik transaksional yang dilakukan sebagian rakyat ini sangat terkandung dengan kekuatan logistik calon dan partai.

Kalau logistik tinggi, dukungan akan mengalir. Kalau logistik rendah, dukungan akan beralih kepada yang lain. Transaksi politik ini sudah terjadi sampai masyarakat tingkat paling bawah. Jelas, ini sangat berbahaya karena partai politik dan rakyat sedang melakukan “bunuh diri” terhadap masa depan demokrasi.

Politik biaya tinggi juga melahirkan politikus yang miskin karakter. Tidak sedikit wakil rakyat yang justru tidur ketika memikirkan persoalan rakyat. Memikirkan saja sudah tidur, apalagi di tingkat perjuangan di lapangan, pasti tidak ada bekasnya. Politikus miskin karakter sedang tumbuh subur karena mereka terus memanfaatkan sindrom politik biaya tinggi untuk menumpuk kekayaaan dan melanggengkan kekuasaan.

Meminimalkan

Politik biaya tinggi merupakan fenomena politik yang tidak bisa dibiarkan berjalan merusak demokrasi kita. Semua harus bersama-sama mengakhiri praktik politik biaya tinggi ini. Baik individu maupun parpol harus melakukan siasat cerdas, sehingga politik biaya tinggi bisa diminimalkan dan diakhiri.

Menurut Pramono Anung (2012), ada lima strategi dalam mengakhiri politik biaya tinggi. Pertama, membuat aturan yang memperbolehkan partai untuk mempunyai badan usaha. Melalui badan usaha ini, partai bisa mempunyai income yang jelas dalam menghidupi kegiatan dan biaya pemilu.

Kedua, kampanye dibiayai oleh negara. Sistem pembiayaan kampanye oleh negara sudah lazim di negara-negara barat. Ketiga, mengganti sistem proporsional terbuka menjadi proporsional gabungan. Artinya, anggota legislatif yang akan duduk di parlemen dipilih melalui dua sistem, yaitu dipilih publik dan penunjukan langsung oleh parpol.

Keempat, agar pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), melalui UU dan peraturan KPU, membuat regulasi pembatasan dana kampanye yang dapat dikeluarkan caleg. Pembatasan dana kampanye hingga kini hanya mengatur parpol dan capres.

Jadi, nanti tidak ada lagi pandangan mengenai pertarungan antara orang kaya dan miskin, yang ada pertarungan kualitas antarcaleg. Kelima, mengembalikan pemilu kada tingkat I (provinsi) ke DPRD. Jadi, pemilihan gubernur ditentukan DPRD. Pilkada langsung hanya untuk daerah tingkat dua.

Ide Pramono Anung ini menarik, tetapi yang lebih penting adalah komitmen partai politik dalam membangun demokrasi yang bersih dan martabat di Indonesia. Komitmen partai kemudian menjadi aturan main partai yang digunakan gerak para politikus, kemudian para politikus berkomitmen membangun tata aturan penyelengarakan kampanye dan pemilu yang tepat dan efektif.

Komitmen partai ini harus segera dimulai, sehingga demokrasi Indonesia masih bisa segera diselematkan dari arogansi politik plutokrasi yang bisa menjadi bom waktu dalam Pemilu 2014 nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar