Ahok
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
26 April 2014
Pada saat orang ramai mencari
calon wakil presiden yang bermutu-seolah calon presiden yang ada sudah
bermutu-saya menjagokan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok. Bukan sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Joko Widodo,
Aburizal Bakrie, maupun Prabowo. Ahok sebagai presiden.
Bahwa ini di luar kebiasaan, itu
sudah pasti. Presiden Indonesia, meski tak pernah ditulis dalam konstitusi,
tentu "tak biasa" kalau bukan beragama Islam. Bahkan masih dianggap
"kurang biasa" kalau bukan dari Jawa. Apalagi "jauh dari
biasa" jika keturunan Tionghoa. Orang bisa berpidato bahwa tak ada lagi
dikotomi Jawa dan luar Jawa, militer dan sipil, muslim dan nonmuslim, apalagi
dikotomi usang: pribumi dan non-pribumi. Tapi itu masih semu.
Ahok sudah meninggalkan
jauh-jauh dikotomi itu. Ia sudah jadi "manusia Indonesia" yang
sebenarnya. Kamis pekan lalu, pada perayaan Paskah yang diadakan Pemerintah
Provinsi DKI, Ahok berkata: "Kita ini masih beragama tapi tidak
bertuhan." Alasannya? Kelakuan kebanyakan manusia Indonesia, apakah dia
pejabat atau bukan, tidak sesuai dengan tuntunan agama. Kalau boleh saya
perpanjang (dan menafsirkan), banyak orang sekarang tak lagi mengindahkan
ajaran yang diwahyukan Tuhan, tetapi tetap bangga menyebut beragama. Korupsi merajalela,
suap, dan kecurangan terjadi di mana-mana, tetapi label agama dengan bangga
masih dipakai. "Ahok pemimpin yang Islami," tulis Akhmad Sahal,
kandidat doktor di University of Pennsylvania Amerika, di Twitter.
Ahok memang ceplas-ceplos-tapi
tidak haha hehe. Di hadapan umat Kristen, dia berkata ihwal sikap yang harus
sejalan dengan agama. "Tapi kalau kelakuannya enggak Kristen, copot saja
salibnya. Bikin saya malu. Atau KTP-nya dikosongkan saja," katanya.
Maksud Ahok tak usah mencantumkan agama di KTP kalau perilaku tak sesuai
dengan ajaran agama. Saya dua ribu persen setuju. Agama selama ini lebih
sering dijadikan aksesoris belaka. Bukan dihayati.
Seperti jam tangan. Benda ini
lebih hanya menjadi aksesoris, bukan sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari.
Jam tangan yang mahal itu hanya untuk menambah percaya diri pemakainya-jadi,
betapa mereka merasa hina tanpa jam tangan yang mahal. Dan Ahok pun jujur
mengaku, jam tangannya berharga Rp 20 juta bermerek Tag Heuer. Ada yang lebih
mahal, merek Richard Mille, dengan harga Rp 1,4 miliar. Astaga, tapi asli.
Adapun Richard Mille yang palsu harganya cuma Rp 5 jutaan dan dipakai
Jenderal Muldoko, Panglima TNI. Karena palsu, jam itu pun dibanting di depan
wartawan. Nah, itulah aksesoris, bisa dibanting, ditanggalkan, dipakai lagi.
Seperti orang beragama tapi bukan bertuhan.
Berapa harga jam tangan Anda?
Sepuluh tahun lalu saya membeli arloji mahal, harganya Rp 150 ribu. Tapi
sudah lima tahun saya tak lagi memakai jam tangan. Saya merasa tak perlu
aksesoris yang bernama jam. Saya punya handphone, punya "tablet"
yang memang berguna untuk sehari-hari. Semuanya ada penunjuk waktu. Di rumah,
setiap ruangan ada jam dinding. Di mobil juga ada. Untuk apa lagi tangan
harus digelayuti jam, padahal handphone yang ada jamnya tak pernah lepas di
era keranjingan ber-Twitter ini.
Di dunia materialistis, orang
mengejar aksesoris. Seorang istri pejabat dengan bangga memakai tas Hermes,
ratusan juta harganya. Saking mahalnya, dia tak berani menitipkan tas itu
kepada orang lain, takut hilang. Tapi dia rela menitipkan anaknya kepada
pembantu. Ini satu ciri lagi manusia yang beragama tapi tidak bertuhan. Tas
Hermes lebih berharga daripada anak sendiri. Ahok, mana Ahok? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar