Kontroversi
Idris Sardi
Aris Setiawan ; Pengajar ISI
Surakarta
|
TEMPO.CO,
29 April 2014
Dunia
musik Indonesia berduka. Seorang maestro biola, komponis ulung, dan pakar
ilustrasi musik film telah pergi untuk selamanya pada 28 April 2014. Segala
hidupnya telah diziarahkan untuk musik. Ia adalah musikus yang kontroversial.
Idris Sardi tak sepenuhnya berpegang pada musik klasik Barat (romantik) saja.
Ia melintas batas kala bermain musik bercita rasa jazz, keroncong, hingga
musik film. Kemampuannya yang dapat dengan lentur menyeberang ke haluan musik
lain itu membuatnya dicibir, namun kemudian dipuja. Idris Sardi merupakan
musikus multi-talenta.
Sejak
belia, ia dianggap sebagai "anak ajaib". Ia mampu
melenggak-lenggokkan jemari tangannya dengan piawai di atas dawai-dawai biola
menuruti alur melodi musik klasik Barat. Idris yang masih ingusan telah
banyak dibebani tanggung jawab berat. Pagi hari pukul 04.30 ia harus bangun,
kemudian berangkat ke kantor Radio Republik Indonesia Yogyakarta untuk
membuka siaran pertama radio bersama pamannya, Martono (pendidik musik),
dengan memainkan lagu Humorisque karya
Antonin Dvorak (Hardjana, 2004). Bahkan, pada usianya yang ke-12 tahun, ia
mendapat kesempatan untuk menjadi "mahasiswa
luar biasa" di Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta. Ia tak dapat
bersentuhan dengan dunia anak-anak yang sewajarnya. Saat anak-anak seusianya
bermain petak-umpet, ia dengan tekun dan keras melatih kreativitas
bermusiknya. Kemampuan bermusik biola Idris Sardi semakin mumpuni kala ia
mendapat bimbingan dari guru-guru musik profesional seperti Hendriek Tordasi,
George Setet, Nicolai Varfolomijeff, Henk te Strake, Renata Vanos, Hans
Botmmer, dan Gerald Kenny.
Idris
Sardi mendapat caci dan hujatan kala nekat mengubah haluan dan arah musiknya.
Pada dekade 1960-an, masyarakat musik Indonesia dibuat terhenyak oleh
kemampuannya memainkan biola dengan gaya musik klasik Jascha Heifetz ke gaya
komersial Helmuth Zackarias. Dikisahkan oleh Suka Harjana lewat Catatan Perjalanan Seorang Seniman,
Idris Sardi juga nekat saat berafiliasi dengan musik keroncong (kelompok Orkes Keroncong Tetap Segar). Ia dimaki
oleh banyak musikus klasik Barat. Ia dianggap tak memiliki pakem musikal yang
jelas, tak berfokus pada satu genre musik. Pro dan kontra yang ditujukan
kepadanya menunjukkan bahwa sejatinya Idris Sardi adalah seniman yang
diperhitungkan. Segala gerak-gerik olah kreatifnya memantik perdebatan dalam
dunia musik kala itu. Semakin ia dihujat, seolah semakin nekat.
Titik
kulminasinya terjadi kala Idris Sardi menggarap serius musik film. Kala
produksi film-film Indonesia mengalami kemerosotan dan kritik tajam, Idris
Sardi justru mampu mendapat pengakuan dan penghargaan. Tak kurang dari 189
ilustrasi musik film digarapnya. Tak sembarang film dibuatkan ilustrasi
musik. Ia memilih film-film yang dianggapnya bermutu dan membawa pesan
perubahan. Musik-musiknya mampu memberi penguatan terhadap karakter dan
dramatika film; menjadi lebih hidup dan bermakna. Ia merupakan legenda ilustrator musik film di
Indonesia. Idris Sardi merengkuh penghargaan sebagai penata musik terbaik
untuk film Pengantin Remaja (1971), Perkawinan (1973), Cinta Pertama (1974),
dan Doea Tanda Mata (1985). Hingga detik ini, belum ada yang mampu menyamai
prestasinya itu. Kini ia telah tiada, meninggalkan kisah manis dalam jagat
musik di Indonesia. Ia bukan lagi seorang maestro semata, tapi juga bapak
musik kita. Selamat jalan, Idris Sardi!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar