Buruh
dan Lumpuhnya Hukum
M Hadi Shubhan ; Pengajar
Filsafat Hukum (S-3) dan Hukum Perburuhan (S-1) Fakultas Hukum Universitas
Airlangga
|
KOMPAS,
29 April 2014
Putaran
roda kehidupan, terutama roda perekonomian, semakin membuat buruh tertinggal
jauh dari semua unsur masyarakat yang ada di negeri ini. Ini memang
paradoksal. Ketika mesin ekonomi bergerak dengan bahan bakar utama keringat
buruh, buruh malah terlalaikan nasibnya oleh negara.
Sejatinya,
politik hukum perburuhan yang digariskan negara sebagaimana yang tertuang
dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah cukup mengakomodasi
segala bentuk perlindungan hukum kepada buruh. Bahkan, UU Ketenagakerjaan
yang sekarang berlaku itu dapat dikatakan sebagai undang-undang perburuhan
terbaik yang pernah ada di negeri ini, bahkan terbaik di kawasan Asia.
Meski
begitu, UU Ketenagakerjaan yang normatif sudah memberi perlindungan hukum
memadai bagi buruh itu telah dibuat lumpuh oleh penguasa yang berkolaborasi
dengan pengusaha. Pelumpuhan hukum perburuhan ini dengan dua modus.
Dua modus
Modus
pertama, pemerintah telah membuat peraturan-peraturan organik dari UU
Ketenagakerjaan yang justru mengamputasi norma-norma yang ada di dalam UU
Ketenagakerjaan. Modus kedua, pemerintah telah melakukan pembiaran atas
terjadinya pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha terhadap ketentuan
UU Ketenagakerjaan.
Untuk
modus pertama, pemerintah mengeluarkan regulasi baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan
peraturan menteri tenaga kerja, maupun dalam bentuk peraturan kebijakan,
beleids regel, seperti instruksi presiden, surat edaran menteri tenaga kerja,
dan surat keputusan bersama (SKB). Isi peraturan tersebut bertentangan dengan
UU Ketenagakerjaan.
Belum
lekang dalam ingatan, presiden mengeluarkan Inpres No 9/2013 tentang
Kebijakan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan
Kesejahteraan Pekerja yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan
pengupahan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Inpres ini dimaksudkan
menghadang kenaikan upah buruh yang dalam beberapa tahun belakangan naik
cukup signifikan setelah beberapa dekade terakhir tak naik signifikan.
Inpres
tersebut terbukti efektif menghadang laju kenaikan upah buruh sehingga jangan
kaget jika upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta pada 2014 naik hanya Rp
200.000-an dari tahun sebelumnya. Ini kemudian diikuti daerah lain, yang
memang tak mungkin akan melebihi ketetapan UMP DKI itu.
Demikian
pula Menakertrans telah banyak membuat regulasi yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Belum pula lekang dari ingatan kita, Menakertrans telah membuat regulasi
mengenai outsourcing dengan mengeluarkan Permenakertrans No 19/2012 tentang
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain. Permenakertrans ini menentukan secara fixed jenis pekerjaan yang dapat
disumberluarkan, tanpa berdasar pada apakah pekerjaan itu kegiatan penunjang
atau tidak.
Menyusul
Permenakertrans tersebut, Menakertrans mengeluarkan Surat Edaran Nomor
SE.04/MEN/VIII/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No 19/2012.
Surat edaran itu menentukan bahwa pemborongan pekerjaan dapat dilakukan di
lokasi perusahaan. Ketentuan ini jelas
melanggar UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa pemborongan pekerjaan
harus terpisah dari kegiatan utama. Juga berarti telah mencampuradukkan
pemborongan pekerjaan dengan outsourcing pekerja melalui perusahaan penyedia
jasa pekerja.
Modus
kedua, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melakukan pembiaran
terhadap perusahaan yang secara terang-terangan melanggar UU Ketenagakerjaan.
Tugas utama pemerintah dalam hukum perburuhan sejatinya mengawasi terjadinya
hubungan industrial yang dilakukan pengusaha dengan buruh. Ratio legis dari
penugasan negara kepada pemerintah ini adalah proses hubungan industrial
tetap pada jalur yang telah ditentukan, baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan
perjanjian kerja bersama.
Pelanggaran masif
Banyak
norma dalam peraturan perundangan yang terang benderang dilanggar perusahaan,
tetapi dibiarkan oleh pengawas ketenagakerjaan di pusat dan daerah. Akibat
pembiaran ini, pelanggaran itu jadi masif bahkan dianggap lumrah. Contoh
pelanggaran masif itu ialah pelanggaran norma pekerja kontrak dan norma pekerja
outsourcing.
Pelanggaran
masif dalam mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak terjadi ketika
perusahaan mengontrak pekerja untuk semua jenis pekerjaan. Praktik mengontrak
buruh untuk semua jenis pekerjaan ini jelas bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Pasal 59 Ayat (1) menentukan bahwa pekerjaan yang bisa dikontrak pekerjanya
adalah sebatas pekerjaan sementara untuk empat jenis pekerjaan: pekerjaan
yang sekali selesai atau sementara, pekerjaan yang paling lama tiga tahun,
pekerjaan musiman, dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru.
Dalam
praktiknya, perusahaan mengontrak buruh untuk semua jenis pekerjaan. Malah
hampir dapat dikatakan tak ada perusahaan yang langsung mempekerjakan buruh
sebagai pekerja tetap. Yang lebih parah lagi, perusahaan mengontrak buruh te-
rus-menerus sampai tua atau pensiun.
Pelanggaran
masif lain adalah perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan sistem outsourcing untuk semua pekerjaan, baik
pekerjaan inti maupun pekerjaan penunjang. Menyumberluarkan semua pekerjaan
jelas melanggar UU Ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa
pekerjaan penunjang saja yang dapat disumberluarkan, baik melalui pemborongan
maupun melalui penyediaan jasa pekerja.
Regulasi
disharmonis yang mengamputasi UU Ketenagakerjaan serta pelanggaran masif yang
dibiarkan oleh pemerintah baik pusat maupun di daerah membuktikan bahwa hukum
perburuhan dalam kondisi lumpuh. Lumpuhnya hukum ini akan membuat buruh
terus-menerus termarjinalkan dan diperlakukan tak adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar