Minggu, 27 April 2014

Buku!

Buku!

Bandung Mawardi  ;   Saudagar Buku
TEMPO.CO, 25 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Buku adalah senjata melawan ketakutan dan merawat kewarasan. Film The Book Thief dengan sutradara Brian Precival, berdasarkan novel garapan Markus Zusak, mengisahkan kebermaknaan buku bagi bocah saat berlangsung Perang Dunia II. Di Jerman, kaum Nazi sering mengadakan upacara pembakaran buku di ruang publik. Si bocah bernama Liesel melihat dengan sedih dan marah. Seusai upacara, si bocah nekat mengambil sebuah buku dalam kondisi masih berasap dan terbakar di bagian pinggir. Bocah pulang ke rumah bersama buku, mendapati keajaiban meski rawan dihukum oleh kaum Nazi. Ketakutan dilawan dengan buku.

Di Indonesia, bocah-bocah juga mendapati buku sebagai keajaiban, sejak abad XVIII. Buku memicu keberanian menghadapi perubahan zaman, menaruh ketakutan di tepian sejarah. Buku-buku tercetak diperkenalkan oleh bangsa-bangsa asing. Buku mengendarai kapal, bergerak di atas lautan, melintasi negeri demi negeri. Nusantara turut berubah dengan kehadiran buku.

Buku pun menentukan nasib bocah-bocah di Nusantara. Christantiowati (1996) mencatat bahwa buku-buku bacaan bocah memuat maksud hiburan, pengajaran agama, moral, dan intelektualitas. Ketakjuban atas buku memberi rangsangan modernisasi. Dunia ada di dalam buku. Pada 1881, bocah-bocah di Nusantara mendapati cerita agung berjudul Lelampahanipoen Robinson Crusoe berdasarkan saduran A.F. Van de Wall, diterjemahkan ke bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Reksa Tenaja.

Sejarah Nusantara tak melulu berisi tentang perebutan kekuasaan, perang, persaingan dagang, dan eksploitasi rempah. Buku termasuk membentuk dan mempengaruhi sejarah. Bermula dari buku, bocah-bocah bergerak ke ambisi kemodernan. Buku mengubah Nusantara. Adegan membaca mengartikan kesadaran berubah ke arah "kemadjoean". Buku menjadi modal pemodernan, mengajak bocah-bocah mengimajinasikan dunia dengan huruf-huruf. Gairah aksara dan agenda literasi memicu kemunculan ide-ide transformatif. Bagi bocah, buku adalah berkah.

Sekarang, buku-buku perlahan asing bagi bocah. Sistem pendidikan merenggangkan bocah dengan buku. Pengertian buku adalah buku pelajaran dan buku-buku latihan soal ujian. Buku bacaan dipinggirkan oleh buku-buku bermuatan misi "kecerdasan". Nasib ditentukan oleh ketekunan membaca buku pelajaran, sejak SD sampai SMA. Dominasi buku pelajaran dilengkapi dengan buku-buku materi perkuliahan saat angan bernasib baik bergantung pada ijazah dari perguruan tinggi. Buku tak lagi menimbulkan ketakjuban. Buku adalah "teror" dan "imperatif".

Kita tak usah terkejut jika mendapati laporan bahwa murid dan mahasiswa di Indonesia tak memiliki kebiasaan membaca buku-buku untuk penghiburan, pencerahan, pemartabatan. Selama sekolah dan kuliah, daftar buku bacaan selalu rendah. Kenikmatan membaca buku biografi, novel, puisi, dan cerpen digantikan oleh dominasi materi pelajaran dan perkuliahan.

Kita pantas mengingat puisi berjudul Buku gubahan Ramadhan K.H., berisi ketakjuban membaca buku: "Menikmati huruf-huruf, merasuk dalam hatiku." Joko Pinurbo dalam puisi berjudul Ibuku mengingatkan: "Buka hidupmu dengan buku." Hidup bersama buku berarti hidup dengan suluh huruf, bahasa, ide, imajinasi. Buku tak melulu berurusan dengan ujian. Buku membuktikan derajat keadaban dan kesanggupan menjadi manusia berliterasi. Oh, buku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar