Buku!
Bandung Mawardi ; Saudagar Buku
|
TEMPO.CO,
25 April 2014
Buku
adalah senjata melawan ketakutan dan merawat kewarasan. Film The Book Thief dengan sutradara Brian
Precival, berdasarkan novel garapan Markus Zusak, mengisahkan kebermaknaan
buku bagi bocah saat berlangsung Perang Dunia II. Di Jerman, kaum Nazi sering
mengadakan upacara pembakaran buku di ruang publik. Si bocah bernama Liesel melihat
dengan sedih dan marah. Seusai upacara, si bocah nekat mengambil sebuah buku
dalam kondisi masih berasap dan terbakar di bagian pinggir. Bocah pulang ke
rumah bersama buku, mendapati keajaiban meski rawan dihukum oleh kaum Nazi.
Ketakutan dilawan dengan buku.
Di
Indonesia, bocah-bocah juga mendapati buku sebagai keajaiban, sejak abad
XVIII. Buku memicu keberanian menghadapi perubahan zaman, menaruh ketakutan
di tepian sejarah. Buku-buku tercetak diperkenalkan oleh bangsa-bangsa asing.
Buku mengendarai kapal, bergerak di atas lautan, melintasi negeri demi
negeri. Nusantara turut berubah dengan kehadiran buku.
Buku pun
menentukan nasib bocah-bocah di Nusantara. Christantiowati (1996) mencatat
bahwa buku-buku bacaan bocah memuat maksud hiburan, pengajaran agama, moral,
dan intelektualitas. Ketakjuban atas buku memberi rangsangan modernisasi.
Dunia ada di dalam buku. Pada 1881, bocah-bocah di Nusantara mendapati cerita
agung berjudul Lelampahanipoen Robinson
Crusoe berdasarkan saduran A.F. Van de Wall, diterjemahkan ke bahasa Jawa
oleh Mas Ngabehi Reksa Tenaja.
Sejarah
Nusantara tak melulu berisi tentang perebutan kekuasaan, perang, persaingan
dagang, dan eksploitasi rempah. Buku termasuk membentuk dan mempengaruhi
sejarah. Bermula dari buku, bocah-bocah bergerak ke ambisi kemodernan. Buku
mengubah Nusantara. Adegan membaca mengartikan kesadaran berubah ke arah "kemadjoean". Buku menjadi
modal pemodernan, mengajak bocah-bocah mengimajinasikan dunia dengan
huruf-huruf. Gairah aksara dan agenda literasi memicu kemunculan ide-ide
transformatif. Bagi bocah, buku adalah berkah.
Sekarang,
buku-buku perlahan asing bagi bocah. Sistem pendidikan merenggangkan bocah
dengan buku. Pengertian buku adalah buku pelajaran dan buku-buku latihan soal
ujian. Buku bacaan dipinggirkan oleh buku-buku bermuatan misi
"kecerdasan". Nasib ditentukan oleh ketekunan membaca buku
pelajaran, sejak SD sampai SMA. Dominasi buku pelajaran dilengkapi dengan
buku-buku materi perkuliahan saat angan bernasib baik bergantung pada ijazah
dari perguruan tinggi. Buku tak lagi menimbulkan ketakjuban. Buku adalah
"teror" dan "imperatif".
Kita tak
usah terkejut jika mendapati laporan bahwa murid dan mahasiswa di Indonesia
tak memiliki kebiasaan membaca buku-buku untuk penghiburan, pencerahan,
pemartabatan. Selama sekolah dan kuliah, daftar buku bacaan selalu rendah.
Kenikmatan membaca buku biografi, novel, puisi, dan cerpen digantikan oleh
dominasi materi pelajaran dan perkuliahan.
Kita
pantas mengingat puisi berjudul Buku
gubahan Ramadhan K.H., berisi ketakjuban membaca buku: "Menikmati huruf-huruf, merasuk dalam hatiku." Joko
Pinurbo dalam puisi berjudul Ibuku mengingatkan: "Buka hidupmu dengan buku." Hidup bersama buku berarti
hidup dengan suluh huruf, bahasa, ide, imajinasi. Buku tak melulu berurusan
dengan ujian. Buku membuktikan derajat keadaban dan kesanggupan menjadi
manusia berliterasi. Oh, buku... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar