Membalik
Arus Sejarah Ekonomi Dualistis
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja
Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 29 April 2014
BKPM melaporkan realisasi
investasi, baik asing maupun domestik, terus meningkat dalam tiga tahun
terakhir. Berturut-turut pada triwulan I 2012, 2013, dan 2014, investasi
mencapai Rp71,2 triliun, Rp93 triliun, dan Rp106,6 triliun. Ironisnya,
peningkatan investasi tidak berjalan seiring dengan penyerapan tenaga kerja. Pada
tiga periode itu, meskipun nilai investasi terus naik, penyerapan tenaga
kerja terus menurun; 358,4 juta (2012), 361,9 juta (2013), dan 259,9 juta
(2014). Artinya, tiap Rp1 triliun nilai investasi penyerapan tenaga kerja
semakin menurun; 5,01 (2012), 3,89 (2013), dan 2,44 (2014). Apa yang terjadi?
Penyerapan tenaga kerja yang
menurun tiap triliun nilai investasi terjadi karena uang tersebut banyak
dibenamkan di sektor padat modal, bukan sektor padat karya. Sektor padat
modal adalah sektor-sektor yang tidak menghasilkan barang (nontradable), seperti keuangan,
perbankan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/
hotel/restoran. Selain padat modal, sektor ini bersifat high skill. Karena
karakteristik dan sifatnya itu, yang bisa menekuni sektor ini hanya segelintir
pelaku. Padahal, sektor inilah yang selama ini menggerakkan dan menjadi sumbu
penting pertumbuhan ekonomi. Sektor nontradable
selalu tumbuh di atas ratarata pertumbuhan nasional.
Pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar
5,78% ditopang oleh sektor nontradable tersebut, seperti sektor komunikasi
yang tumbuh 10,19%. Sebaliknya, sektor yang bisa menghasilkan barang atau tradable (pertambangan, pertanian, dan
manufaktur) kinerjanya rendah. Pada 2013, sektor pertanian tumbuh 3,5%,
industri 5,6%, dan pertambangan 1,34% (BPS, 2014). Padahal, sektor ini
bersifat padat tenaga kerja. Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs
nontradable ini memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian kue
dan surplus ekonomi.
Pertama, karena pertumbuhan
ekonomi banyak didorong sektor nontradable,
implikasinya penyerapan total tenaga kerja menjadi rendah. Pada saat Orde
Baru, setiap 1 % pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan lebih 400 ribu lapangan
kerja. Pada 2011, 2012, dan 2013, lapangan kerja yang tercipta hanya 235
ribu, 196 ribu, dan 164 ribu atau tidak ada separuh dari saat Orde Baru.
Kedua, disparitas pertumbuhan
sektor tradable vs nontradable ini
juga menyentuh dimensi kesejahteraan; tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera.
Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2013 hanya 14,4%. Padahal,
sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, pertanian kian
involutif yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Kedalaman
intensitas involusi sektor pertanian tidak bisa dibendung sehingga para
pelakunya hijrah ke kota sebelum waktunya (urbanisasi prematur). Karena
rendah keterampilan, mereka tak bisa masuk ke sektor formal (industri/jasa),
tapi terlempar ke sektor informal. Akibatnya, tenaga kerja menumpuk di sektor
informal, yang di Februari 2013 mencapai 60% dari total pekerja. Selain
rentan, kesejahteraan mereka juga tidak terjamin.
Lebih dari itu, pertumbuhan
justru memperlebar kesenjangan; yang kaya makin kaya yang miskin kian miskin.
Ini terlihat dari meroketnya gini ratio, dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41
pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang) dan awet sampai sekarang. Ini
pertama kalinya gini ratio masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk
ketimpangan rendah). Sejak gemuruh pembangunan dimulai sistematis pada 1966,
tak pernah angka gini ratio menembus 0,4. Artinya, pembangunan hanya
dinikmati sekelompok kelas ekonomi; kelas menengah ke atas. Artinya, jika
kemiskinann absolut menurun (perlahan), kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan
ekonomi yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan.
Apa makna semua ini? Meskipun
sudah 69 tahun Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, sistem
perekonomian negeri ini tetap bersifat dualistis seperti dikenali oleh Prof
Boeke dalam pidato pengu kuhan sebagai guru besar pada 1930 yang berjudul Dualistische Economie. Boeke
mengemukakan pengenalan tentang ekonomi kolonial di Hindia Belanda. Intinya
ialah tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sektor tradisional dan sektor
modern, yang untuk saat ini kira-kira sama dengan kondisi sektor tradable vs nontradable.
Dua sektor ini hidup bersamaan
tanpa mempunyai kaitan yang satu dengan lainnya. Inilah dua wajah asli
Indonesia. Teori trickle down effect
bahwa yang besar akan mengangkat yang kecil sama sekali tidak berlaku di
Indonesia. Sebaliknya, yang besar akan mengeksploitasi yang kecil, yang oleh
Bung Karno diistilahkan dengan exploitation
d’lhomme par l’homme.
Menjadi logis dan terang apabila
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan selama ini belum mampu menyejahterakan
(seluruh) rakyat. Pemerintah boleh mengklaim angka kemiskinan terus menurun,
tetapi penurunannya relatif tak bermakna buat warga perdesaan. Sejak dulu
kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di
perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun
kemudian, angka ini hanya sedikit membaik. Jumlah penduduk miskin per
September 2013 mencapai 28,55 juta (11,47%). Secara agregat kemiskinan
menurun, tetapi persentase jumlah orang miskin di perdesaan tetap tinggi,
mencapai 62,76% (17,92 juta) dari jumlah warga miskin. Ini merupakan fakta
getir karena pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Data ini
menunjukkan, setelah puluhan tahun pembangunan ternyata kemiskinan tak
beranjak jauh dari desa.
Tanpa mengubah insentif ekonomi,
dualisme ekonomi ini akan tetap langgeng. Ke depan, sistem ekonomi harus
dikembalikan kepada konstitusi. Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini harus
dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lalu, formulasi insentif
fiskal seharusnya diarahkan sesuai kepentingan nasional.
Sampai beberapa
tahun ke depan, masalah pengangguran dan kemiskinan masih akan menjadi isu
terpenting sehingga insentif fiskal harus ditujukan untuk mengatasi dua soal
itu. Karena itu, insentif fiskal harus didorong untuk mengembangkan sektor
pertanian, pertambangan, dan industri agar pertumbuhan ekonomi tidak melulu
ditopang sektor nontradeable yang justru berbuah ketimpangan.
Sektor pertanian dan industri
memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi sehingga amat cocok
untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Selebihnya, instrumen fiskal
juga mesti berpihak kepada pelaku ekonomi domestik, bukan seterusnya memberi
karpet merah kepada pelaku ekonomi asing. Bagi pelaku ekonomi domestik,
isunya bukan sekadar penciptaan lapangan kerja, melainkan juga aset dan
sarana produksi harus jatuh kepada warga.
Perluasan lahan pertanian tidak
bisa diserahkan kepada pasar seperti sekarang. Negara harus mengaturnya. Jika
jutaan hektare lahan dikerjakan komunitas (bukan korporasi) yang terdiri dari
para petani kecil, mereka akan masuk ke sistem ekonomi secara utuh. Model
pembangunan ini tak menjanjikan pertumbuhan yang tinggi, tetapi memastikan
setiap orang mendapatkan bagian yang layak dan adil, serta tidak menciptakan
dualisme ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar