Sejarah
Nasional dan Kurikulum
L Wilardjo ; Guru Besar Fisika dan
Dosen Filsafat Ilmu
UKSW, Salatiga
|
KOMPAS,
30 April 2014
Budi
Darma dalam artikelnya di koran ini (24/4/2014) menekankan pentingnya sejarah
nasional yang semestinya kita tulis sendiri berdasarkan penelitian ilmiah dan
dengan perspektif Indonesia. Kita ber-”kewajiban
moral (dan) intelektual untuk menulis sejarah kita sendiri”. Budi Darma
juga mengatakan, ”Penulisan sejarah
tidak bisa membenarkan yang salah, tetapi (harus) meluruskan(nya).” Jadi,
jika ada kesimpangsiuran tentang peristiwa Muso di Madiun, Jawa Timur, dan
Gestapu 65, misalnya, karena pandangan pakar-pakar seperti Wertheim, Feith,
dan Oppenheimer, para ahli sejarah kita perlu membuatnya menjadi terang dan
lurus. Memang pakar-pakar itu orang asing, tetapi jika mereka benar, ya,
harus kita benarkan. Jika mereka salah, ya, kita buktikan kesalahannya.
Pelajaran
Sejarah Nasional harus ada dalam kurikulum sekolah, baik negeri maupun
swasta, juga di sekolah internasional yang diselenggarakan di Indonesia dan
ada siswa Indonesianya. Namun, jangan berupa hafalan deretan peristiwa serta
kapan dan di mana kejadian itu. Hafalan tanggal dan tempat itu sama
membosankannya dengan hafalan nomenklatur dalam bahasa Latin pada pelajaran
Biologi, kecuali bagi segelintir siswa yang beraspirasi jadi taksonomiwan.
Entah
melalui pelajaran Pancasila atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sejarah
nasional harus termasuk dalam kurikulum. Seperti dalam Profiles in Courage-nya John F Kennedy, perjuangan para pahlawan
nasional perlu ditekankan dalam sejarah nasional demi memupuk nasionalisme
dan patriotisme anak-anak kita. Di Amerika Serikat (AS) ada mata pelajaran
American Thought and Language (ATL). Selain itu, disuguhkan pula film sejarah
kepahlawanan, seperti tentang Marquis de Lafayette, revolusioner Perancis
yang membantu AS melawan kolonialis Inggris. Ini mengemban fungsi serupa
dengan kewajiban Pancasila dan PKn (dengan sejarah nasional sebagai
bagiannya) dalam kurikulum nasional kita.
Sekarang
ada home schooling, dan
sekolah-sekolah yang menekankan pada matematika dan sains. Di Tangerang,
misalnya, ada Sekolah Anak Indonesia di bawah naungan Yayasan ALIRENA.
Seperti science, technology,
engineering, and mathematics (STEM) yang dianggap sangat penting di AS,
Matematika dan Sains beserta penerapannya yang relevan dijadikan pumpun dalam
kurikulum sekolah berasrama di Tangerang itu. Ini baik-baik saja, asalkan
penggemukan jam pelajaran Matematika dan Sains tidak dilakukan dengan
menghapus mata pelajaran lainnya yang dimaksudkan untuk menanamkan
nilai-nilai budaya bangsa.
Karena
Indonesia itu majemuk dalam keyakinan keagamaan, pada hemat saya, pelajaran
Agama dapat disulihi dengan budi pekerti. Tekanannya tak hanya pada tata
krama, meski ini penting, tetapi juga pada moral dan etika. Keduanya termasuk
dalam aksiologi tentang pertimbangan baik buruk dan peranan hati nurani.
Moral didasarkan pada nilai-nilai alkitabiah (scriptural), sedangkan etika pada telaah filsafatiah (philosophical). Tentu ini tak hanya
diajarkan dengan ceramah dan tausyiah, tetapi juga dengan contoh sikap,
keputusan, dan tindakan yang moral-etis.
Budi
Darma juga menganjurkan apa yang disebutnya ”paradigma studi interdisipliner”
dalam sejarah nasional. Adolf Hitler, di masa mudanya di Austria, memumpunkan
perhatiannya pada melukis dan sejarah. Ia mendalami keahliannya dalam melukis
karena itu hobinya dan ia merasa berbakat. Lagi pula ia ingin menjadikan
dirinya pelukis profesional yang bisa hidup dengan bekerja sebagai pelukis.
Ia
terobsesi dengan sejarah karena ingin mengetahui sebab-musabab
peristiwa-peristiwa historis yang penting, pemicu pecahnya peristiwa itu,
serta faktor sosial-politik dan psikologis apa saja yang ikut berperan.
Dengan kata lain, seperti yang sekarang dianjurkan Budi Darma, Hitler muda
menelaah peristiwa-peristiwa sejarah secara interdisipliner. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar