Merajut
Koalisi, Mewujudkan Janji
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
29 April 2014
Kemenangan
PDI-P dalam Pemilu 2014 ibaratnya juara tanpa mahkota. Perolehan suaranya
cupet sehingga harus berkoalisi dengan partai politik lain untuk mengajukan
calon presiden. Meski demikian, karena elektabilitas Joko Widodo paling
unggul, salah satu isu politik yang cukup dominan setelah pemilu legislatif
adalah spekulasi calon wakil presiden yang akan mendampingi Joko Widodo.
Secara
ideal, cawapres Joko Widodo (Jokowi/JKW) adalah sosok yang punya integritas,
kapabilitas, elektabilitas, relatif muda, dan memiliki persenyawaan kimiawi (chemistry) dengan JKW. Ia juga harus
memiliki wawasan yang sejalan dengan ideologi PDI-P, Trisakti, yaitu
berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian
di bidang budaya. Namun, tidak mudah untuk menemukan cawapres dengan segudang
persyaratan itu. Padahal, guna mewujudkan janji PDI-P, yakni ”Indonesia
Hebat”, ia terlebih dahulu harus berkoalisi dengan parpol lain untuk merebut
kemenangan dalam pemilu presiden. Kemenangan jadi tuntutan absolut. Realitas
politik itu mengharuskan PDI-P melakukan kompromi dalam menentukan cawapresnya.
Berdasarkan
pertimbangan itu, PDI-P, minggu lalu—dari berbagai pemberitaan, antara lain The Jakarta Post, Jumat (25/4), ”PDI-P on Verge of Endorsing Kalla”—memberikan
isyarat kuat memilih Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres. Pertimbangannya, JK berpengalaman
di pemerintahan, representasi Islam (diterima Nahdliyin dan Muhammadiyah),
dan dari luar Jawa. Namun, kalau skenario duet JKW-JK menang dalam pilpres,
mereka belum tentu dapat mewujudkan janji PDI-P kepada rakyat jika tidak
secara bersama-sama mampu mengatasi berbagai tantangan.
Pertama,
memadukan ideologi Trisakti PDI-P dengan pragmatisme JKW dan JK. Kajian Bagus
Takwim dan kawan-kawan (Universitas Indonesia) tentang karakter capres dan
cawapres (Kompas, 1 Juli 2009)
menyebutkan, kekuatan JK adalah melihat masalah dari berbagai sudut pandang
dan menemukan solusi efektif. Kelemahannya cenderung kompromistis, visi
kurang jauh ke depan, cenderung mengabaikan idealisme, serta kurang
imajinatif dan reflektif. Dalam beberapa hal, JKW juga memiliki kecenderungan
sama, terutama dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dari
perspektif ini, duet JKW-JK kurang komplementer.
Kedua,
kerumitan membangun relasi chemistry
serasi karena perbedaan usia, kultur, dan latar belakang pengalaman.
Mewujudkan harmoni dengan perbedaan usia yang terpaut hampir satu generasi
antara JKW (52) sebagai presiden dan JK (72) sebagai wakil presiden bukan hal
sederhana. Sebagai orang yang jauh lebih muda, lugu, dan ”sangat Jawa”, JKW
perlu usaha ekstra untuk jadi ”atasan” JK. Naluri JKW untuk selalu hormat
kepada senior dapat mengakibatkan JKW senantiasa dalam bayang-bayang JK.
Tantangan yang dihadapi JK juga tak ringan mengingat ia telah menjadi tokoh
nasional yang dianggap berhasil di dunia bisnis, politik, dan kemasyarakatan.
Nama besar yang diukir selama ini secara naluriah membuat JK sangat percaya
diri dan superior.
Ketiga,
kepiawaian JK sebagai wakil presiden 2004-2009 dalam mengelola relasi antara
pemerintah dan DPR serta berbagai terobosan, terutama menyelesaikan konflik
Aceh dan meredam kerusuhan Poso, menyebabkan ia dijuluki ”The Real President”. Dalam perspektif lain, prestasi itu justru
membuat JK dianggap terlalu berani melampaui otoritas Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Dalam konteks duet JKW-JK muncul kekhawatiran, SBY saja
kewalahan menghadapi JK, apalagi JKW. Pengalaman ini bisa membuat JKW kurang
nyaman.
Keempat,
pengaruh JK di Golkar yang berimpit dengan sejarah Golkar sebagai partai
penguasa akan mendorong Golkar menjadi bagian koalisi JKW-JK. Persoalan jadi
rumit jika dalam munas Golkar, menjelang akhir 2014, menjadikan JK sebagai
ketua umum. Sebagai seorang yang pragmatis, besar kemungkinan JK bersedia
karena ia akan memiliki daya tawar politik lebih kuat. Dikhawatirkan koalisi
duet JKW-JK akan lumpuh jika keduanya tidak memiliki kemauan politik dan chemistry yang kuat untuk mengutamakan
kepentingan rakyat.
Agar
duet JKW-JK dapat menjadi berkah bagi rakyat, JKW harus selalu sadar bahwa ia
adalah presiden Republik Indonesia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan
seluruh rakyat. Penampilan boleh apa adanya. Akan tetapi, sebagai pengemban
amanat rakyat, ia harus tidak kenal kompromi dengan siapa pun sejauh yang
dipertaruhkan kepentingan rakyat. Bagi JK, ia harus menurunkan dosis rasa
percaya dirinya agar JKW merasa nyaman dan aman. Peran JK, meskipun ia
sebagai kampiun eksekutor, harus diimbangi dengan sikap kebegawanan yang
bijak bestari serta arif dan bijaksana. Dalam jagat pewayangan, sosok itu
adalah Resi Seto. Sesepuh Pandawa yang sudah menjadi resi, tirakat, matiraga,
selalu olah batin, dan menjadi panutan para Pandawa. Ia selalu bersedia
berjuang sampai mati membela kebenaran dan rakyat.
Faktor
yang menguatkan JKW-JK adalah sikap terbuka. Melalui transparansi, JKW-JK
diharapkan bisa menjaga hubungan dengan DPR, seperti JKW-Basuki Tjahaja
Purnama mengelola relasi dengan DPRD DKI. Rajutan koalisi JKW-JK dan parpol
lain harus mampu membuktikan rakyatlah yang sesungguhnya sebagai pemenang.
Karena itu, duet JKW-JK tak tunduk pada keinginan parpol, tetapi kemauan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar