Tantangan
Presiden Mendatang
Palar Batubara ; Ketua
Pertimbangan Persatuan Alumni GMNI,
Mantan
Pimpinan Fraksi Golkar DPR
|
SINAR
HARAPAN, 29 April 2014
Pemilihan
legislatif (pileg) telah berlangsung dan kini masih dalam proses rekapitulasi
penghitungan suara. Namun, dari hasil hitung cepat sudah kelihatan perolehan
suara partai politik (parpol), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
bakal memenangi pileg.
Meski
menang, PDIP tidak akan menjadi mayoritas di parlemen. Bahkan, untuk
mengajukan pasangan calon pun partai pemenang pileg harus menggandeng partai
lain.
Secara
matematis, pemilihan presiden (pilpres) paling banyak diikuti empat pasangan
calon jika semua pasangan meraih angka 25 persen suara. Namun yang paling
realistis, pilpres hanya diikuti tiga pasangan calon atau bahkan hanya dua
pasangan calon.
Saat
ini, setiap parpol masih mencari mitra yang tepat untuk ikut dapat Pilpres
2014. Hal ini patut dilakukan karena komposisi koalisi akan sangat menentukan
nasib bangsa lima tahun ke depan. Persoalan mendasar bukan sekadar siapa
kalah dan menang dalam pemilu, melainkan lebih dari itu. Persoalan kompleks
sudah menanti siapa pun pemenang pilpres.
Dari
awal patut kita semua mengingatkan kepada peserta pilpres, kalau tantangan ke
depan tidak mudah, siapa pun yang terpilih menjadi presiden. Salah satu
tantangan terberat adalah bagaimana mengatasi defisit anggaran.
Saat ini
Indonesia sudah masuk enam besar sebagai negara pengutang terbesar.
Setidaknya, utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar Rp 3.000 triliun.
Apalagi, utang ini bukan pinjaman lunak, melainkan pinjaman komersial.
Untuk
itu, pemerintahan baru mendatang akan dihadapkan dengan persoalan mengatasi
defisit anggaran. Kalau defisit ditutup dengan utang baru, beban utang luar
negeri akan kian membengkak.
Jika
langkah ini tak diambil, pilihan ada pada peningkatan pajak dan sumber lain,
termasuk kemungkinan memangkas subsidi. Semua pilihan ini tidak mudah, sebab
menaikkan pajak atau memangkas subsidi tetap akan rentan mendapat perlawanan
dari masyarakat, seperti yang terjadi selama ini.
Dengan
begitu, semua peserta pilpres harus secara terbuka mengungkapkan tantangan
yang akan dihadapi ke depan dan upaya untuk mengatasi persoalan itu.
Keterbukaan itu akan menjadi modal besar bagi terpeliharanya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan baru nanti.
Dikhawatirkan
kepercayaan publik dalam pilpres akan rontok, manakala pemerintahan baru
harus mengambil kebijakan yang justru membebani rakyat, seperti kenaikan
pajak, penghapusan subsidi, dan sebagainya.
Tantangan
ke depan yang berat ini mestinya mendapat perhatian serius dari semua peserta
pilpres sehingga mampu menyikapi tantangan itu dengan tepat, termasuk dalam
penyusunan kabinet baru mendatang.
Jika
mengacu kepada tantangan yang kompleks, semestinya kabinet harus diisi dengan
orang yang ahli sehingga fokus dalam bekerja dan melayani. Setidaknya,
kabinet tidak dibebani kepentingan politik sehingga justru kontraproduktif
dengan kinerja yang diharapkan untuk mengatasi masalah kompleks.
Kalaupun
tidak semuanya kabinet ahli, setidaknya kabinet didominasi orang yang ahli,
terutama pada bidang-bidang strategis. Pengalaman semestinya memberikan
pelajaran berharga. Ketika tokoh parpol menduduki kursi kabinet, diakui atau
tidak, dalam setiap kebijakan akan senantiasa mempertimbangkan untung rugi
bagi konstituen parpol.
Pemerintahan
baru ke depan harus memosisikan diri benar-benar sebagai pemerintahan seluruh
rakyat, tanpa membedakan partai, suku, agama, ras, dan golongan. Pemerintah
harus berjalan di atas rel yang telah digariskan para pendiri bangsa ini,
bukan mendahulukan kepentingan partai atau golongan di atas kepentingan
bangsa dan negara.
Oleh
karena itu, perlu dibangun karakter sebagai pemimpin bangsa masa depan yang
selama ini kita tinggalkan karena hanya mengejar pertumbuhan tanpa
mempersiapkan mental yang baik. Tidak salah apabila Bung Karno saat itu
menggelorakan, saat kita memiliki bangsa ini harus didukung nation and character building.
Karakter
ini akan membangun etos kerja, disiplin, cinta kepada bangsa dan negara,
untuk mencapai tujuan kemerdekaan yang berkeadilan dan berkemakmuran. Oleh
sebab itu, tidak ada salahnya apabila kita mundur selangkah untuk memperbaiki
mental dan karakter yang dimulai dengan kepemimpinan yang kuat, tetapi amanah
serta rakyat yang amanah pula.
Hanya
dengan perubahan yang sangat mendasar ini kita akan mampu membangun bangsa
dan menghadapi tantangan bangsa di masa depan.
Banyak
contoh negara di kawasan kita seperti India, Korea dan Jepang yang bertumpu
pada nation and character building-nya
yang pada akhirnya rakyat pun akan ikut serta seperti mencintai produk dalam
negerinya, hemat, menjaga sumber daya alamnya, gotong-royong, saling
hormat-menghormati dan lain sebagainya.
Kepercayaan
Langkah
mengutamakan kepentingan partai dan golongan justru akan menggerus
kepercayaan rakyat secara perlahan. Jadi, pada suatu titik nanti,
pemerintahan baru hanya menjadi sasaran kritik dan kecaman dari pemilihnya.
Sangat
benar, meraih kemenangan itu lebih mudah daripada mempertahankan kemenangan.
Salah satu upaya untuk tetap memelihara kepercayaan rakyat sebenarnya
terletak pada usaha sungguh untuk melayani publik dan mengungkapkan secara
terbuka semua persoalan mendasar yang menjadi tantangan sehingga harus dihadapi
bersama-sama.
Selain
itu, penampilan pemimpin nasional, pemerintah, dan elite nasional akan sangat
menentukan untuk mengatasi persoalan bersama. Hal ini, misalnya, ketika
pemerintah harus mengurangi subsidi atau menaikkan pajak atau kebijakan lain yang
membebani rakyat, otomatis akan menuai kritik, jika para penyelenggara negara
dan pemimpin nasional tidak memperlihatkan kehidupan sederhana sebagai empati
terhadap penderitaan rakyat.
Pemimpin
yang sederhana akan lebih dipercaya mengambil kebijakan yang berat
dibandingkan pemimpin yang bergaya hidup mewah. Sementara itu, di satu sisi
menuntut pengorbanan dari rakyat untuk membayar pajak atau menanggung dampak
pengurangan subsidi.
Jadi,
gaya hidup sederhana pemimpin akan sangat menentukan perubahan pola hidup
penyelenggara negara dan akan mudah mendapat sokongan dari rakyat manakala
mengambil kebijakan sulit yang justru memberatkan warga negara.
Satu hal
lagi yang harus dicermati, hampir setiap bakal calon presiden saat ini
memiliki jaringan pendukung dan sebagainya. Namun, kalau tidak disadari,
justru nanti akan menuai kekecewaan atau justru berbalik melawan, jika setiap
aktivitas dukungan saat ini mengharapkan imbalan jabatan atau kemudahan akses
dan fasilitas.
Semua
dukungan moral dan material atau apa pun semestinya dimaknai sebagai
perjuangan untuk memajukan Indonesia yang lebih baik. Harapan imbalan jasa
terhadap setiap dukungan justru akan menjadi beban bagi pemerintahan mendatang.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar