Sesama
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI,
Budayawan
|
KORAN
SINDO, 28 April 2014
Kini terbukti, di hari-hari pemilihan umum mulai sebelum 9 April
2014 untuk calon legislator hingga nanti Pilpres 9 Juli 2014, adagium politik
itu ”memecah” bila tanpa fatsun atau etika (baca: pemahaman, kesadaran batin,
dan budi mengenai yang pantas dan tidak pantas dalam relasi sosial
manusia-manusia berharkat). Mengapa?
Lihatlah begitu politik digerakkan atau berjalan kencang yang
disumberkan pada hasrat berkuasa dan ambisi, dua medan perang pun dicipta
antara kubu kami dan kubu mereka. Sejarah peradaban (baca: sebagai proses
perkembangan menata hidup bersama untuk saling menghormati martabat
antarmanusia dalam merajut masyarakat menjadi ”negara”) memaklumkan adanya
”perang abadi” yang tak habis-habisnya antara hasrat kuasa, yang mewujud
dalam kepentingan naluriah, kepentingan ingin menguasai dalam ekspresi
ambisi, dan ”nilai”, yaitu apa yang dipandang, dihargai, dan berusaha
dihayati sebagai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan yang suci dalam
kehidupan ini.
Justru pengalaman sejarah mencatat korban-korban berdarah dan
dihancurkannya kemanusiaan untuk ambisi kekuasaan dan atas namanya itulah
umat manusia belajar untuk mengontrol hasratnya yang tega membawa kebiadaban
daripada keadaban dengan dua cara. Cara pertama, mendidikkan proses kesadaran
tiap manusia untuk semakin rasional jernih menimbang perihal yang baik dan
buruk dan itu bernama rasionalitas etos atau teleologis: demi tujuan
pemuliaan kehidupan dan tujuan yang suci serta yang bermakna dari hidup itu
sendiri.
Adapun lawan rasionalitas ini adalah rasionalitas
”instrumentalis” (seperti diurai Jurgen Habermas dalam komunikasi yang
emansipatoris di mana rasionalitas teleologis bertujuan pada semakin
emasipatorisnya proses keadaban menjadi peradaban), sedangkan pada yang
”instrumentalis”, akal budi rasional digunakan untuk menimbang mana yang
sarana demi mencapai tujuan. Disebut instrumentalis karena pada penggunaan
ekstremnya akal budi ini akan ”tega” menggunakan segala macam cara (termasuk
yang dehumanistis) untuk mencapai tujuan (telos-nya yang ambisi dan hasrat
subjek pelaku).
Herankah kita bila politik sebagai seni memperjuangkan
kepentingan dan kemungkinan-kemungkinan dalam kompetisi hasrat-hasrat
kekuasaan yang ingin diwujudkan, kalau tidak dinakhodai atau diberi acuan
arah etika, akan menjadi ladang pertempuran kuasa versus kuasa, mana yang
kuat dialah yang menang. Situasi ini dirumuskan dalam paparan (deskripsi)
situasi naluriah saling mengerkah dan berkelahinya orang-orang seperti
serigala berebut mangsa atau wilayah kekuasaan (homo homini lupus dari Thomas Hobbes dalam Leviathan).
Oleh karena itu kita menempatkan politik sebagai cara dan medium
untuk menata hidup bersama agar lebih baik, lebih sejahtera. Rasionalitas
tujuan politik adalah mewujudkan yang baik dalam hidup bersama sebagai etos
sosial yang suci dalam hidup, yaitu hormat pada martabat makhluk-makhluk
manusia dan alam ciptaan Tuhan dan yang indah serta benar dalam
mengikhtiarkan dunia yang lebih ekologis, dunia yang lebih dicipta, dirawat
(memayu hayuning bawana) agar layak didiami bersama.
Di titik konfrontasi itulah Driyarkara menaruh kondisi
masyarakat bernegara sebagai homo
homini socius: manusia adalah sahabat atau rekan seperjalanan hidup bagi
sesamanya. Di sini etika akan mengontrol apakah kita tega memperlakukan
sesama hanya sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuanku? Pemahaman
(baca: sebagai understanding) di
atas digugat secara kritis dalam pertanyaan: apakah merupakan produk atau
hasil hubungan sosial-ekonomis masyarakatnya atau si pelaku sebagai pusat
kesadaran (baca: a conscious subject)
mampu menentukan isi pemahaman sendiri?
Kaum strukturalis dan sejarah materialis berpendapat bahwa
sejarah ditentukan oleh faktor-faktor material seperti hubungan upah,
hubungan pemilik modal dan pekerja, di mana pemahaman dan kesadaran subjek
tidak merdeka. Kesadarannya mengalami pemalsuan pemahaman karena ia tidak
bisa mandiri memahami. Pasalnya isi pemahaman sudah dipenuhi
tayangan-tayangan pemodal dunia televisi, dunia pengatur makna. Sementara
kaum idealis dan pendukung kemerdekaan otonomi subjek mampu mengolah
pemahaman sendiri karena budi cerahnya yang bisa menimbang untuk memilih
rasionalitas tujuan emansipasi dan memilah yang instrumentalis demi
peradaban.
Praktik politik kekuasaan yang memecah-retakkan antarkita sebenarnya
oleh para pendiri bangsa sudah diberi wujud dasar awal peradabannya, yaitu
konstitusi dengan arah homo homini
socius dalam konsensus nilai-nilai dasar yang merekatkan ciri pluralitas
kebinekaan Nusantara ini menjadi ika dalam bernegara. Apa itu?
Konsensus dasar bahwa dasarnya dasar, kita sadar bahwa
kemerdekaan bangsa adalah anugerah syukur kepada Sang Pencipta yang dalam
rajutan religiositasnya kita disatukan oleh penghayatan ketuhanan yang
berkebudayaan dan berbudi pekerti (Soekarno,
periode eksil 1934–1938 di Ende), lalu diolah dalam mengalami beda ragam
suku, agama, penyusun anggota-anggota berbangsa bernegara ini bila bernegara
disepakatilah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keadaban itulah proses politik dengan etik kebudayaan menjadi
jalan kebudayaan, artinya menapaki sistem edukasi dan pendidikan kesadaran
agar semakin dicapainya martabat manusia Indonesia. Inilah humanisasi yang
dalam jalan budaya menjadi kulturalisasi menuju persatuan. Konkretnya,
sebagai sistem bernegara yang paling memayungi dan menjadi rumah bersama
untuk Indonesia yang majemuk adalah sistem demokrasi dengan lima konsensus
dasar kulturalisasi humanis dan sebuah sistem penyelesaian konflik beda
kepentingan dan adu ambisi hasrat politik yang kerap tega mengorbankan sesama
dalam sistem kepastian hukum atau rule
of law.
Karena itu, ketika politisasi mudah meretakkan dan memecah kita
kalau tanpa etika dan ekonomisasi ekstremnya hanya memenangkan kalkulasi untung
dan rugi atau rasionalitas instrumentalis yang menguntungkan dipakai,
sedangkan yang merugikan dibuang apalagi kalau hasilnya adalah
direduksikannya sesama manusia. Ekstremnya lagi ekonomi makro yang lupa bahwa
Nusantara berbasis ekonomi mikro dan ukuran hidup bukan hanya uang dan uang
tetapi kepedulian kerja sama, kemauan berbagi yang kesemuanya ini dalam nilai
tukar uang telah membuat harga manusia cuma diuangkan, dimaterialisasi.
Apa jadinya bila nilai intrinsik manusia sebagai subjek
berharkat hanya disamakan dengan uang dan uang? Herankah kita pada praktik
politik uang di pemilu ini? Maka menyadari
fenomena-fenomena di atas dalam pilihan jalan politisasi, jalan ekonomisasi
kini, mari kembali ke jalan awal para pendiri bangsa, yaitu jalan budaya,
yaitu peradaban yang bersumber pada olahan yang baik, yang benar, yang suci,
dan yang indah dalam hidup ini. Demi semakin sejahteranya tiap kita. Menjelang
pilpres, pokok ini menjadi tantangan jalan peradaban kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar