Pemilu
Terburuk
Mohammad Nasih ; Pengajar
di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru di Rumah Perkaderan Monash Institute
Semarang
|
KORAN
SINDO, 28 April 2014
Sebagai negara demokrasi sejak awal sejarah berdiri, Indonesia
telah berulang kali menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu).
Berdasarkan realitas yang ada dalam setiap pemilu tersebut,
tidak sedikit ilmuwan maupun praktisi politik yang mengatakan bahwa pemilu
pertama yang diselenggarakan pada 1955 merupakan pemilu terbaik. Dalam pemilu
itu tidak ada praktik menyogok pemilih, partisipasi politik rakyat tinggi,
dan tidak ada bentrokan antarkonstituen partai kontestan pemilu. Walaupun
saat itu adalah fase ideologis yang di dalamnya terdapat berbagai benturan
pemikiran ideologis yang sangat keras antara satu tokoh partai dengan tokoh
partai yang lain, tidak ada setetes pun darah tercecer. Pemilu tetap
terselenggara secara damai. Sangat jauh berbeda dengan Pemilu 2014.
Pemilu yang diselenggarakan dengan berbagai bekal pengalaman
dari pemilu-pemilu sebelumnya itu, dengan persiapan yang telah dilakukan
secara lebih matang, seharusnya menjadi pemilu terbaik. Namun, kenyataan
berbicara sebaliknya. Pemilu 2014 menjadi pemilu terburuk sepanjang sejarah
republik ini berdiri. Pelanggaran terjadi secara masif dan dilakukan oleh
seluruh komponen atau pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, baik
rakyat pemilih, caleg, partai politik maupun penyelenggara pemilu.
Memang tidak seluruhnya sehingga tidak bisa digeneralisasi,
tetapi dalam tiap komponen tersebut, kuantitas pelanggarannya melampaui batas
toleransi. Namun, itu terjadi dengan seolah-olah semuanya berjalan
normal-normal atau baik-baik saja. Walaupun semuanya tahu terjadi pelanggaran
itu, nyaris semuanya berpura- pura tidak tahu. Dan jika ada satu dua pihak
yang berusaha untuk mengungkapkannya, seolah dianggap angin lalu saja.
Dalam Pemilu 2014, mayoritas pemilih menjadi sangat pragmatis
dan bahkan sadis. Kedaulatan tiap individu dalam politik membuat setiap orang
yang memenuhi syarat bisa memiliki satu suara (one person, one vote), apa pun status, gelar, dan kemampuannya.
Bahkan orang setengah gila pun bisa memiliki satu suara. Sebab, dalam
demokrasi liberal, yang dihitung adalah jumlah kepala, bukan isi kepala.
Jargon mayoritas pemilih yang pragmatis itu bisa disimplifikasi menjadi one envelope, one vote, satu amplop
(baca: berisi uang), satu suara.
Sebagian besar caleg pun berpikir sangat pragmatis. Mereka ingin
mendapatkan kepercayaan besar, tetapi hanya melakukan cara-cara instan. Apa
pun yang diinginkan masyarakat, asalkan mampu, mereka berikan walaupun sesungguhnya
sangat terpaksa. Bahkan tidak sedikit caleg yang memiliki kemampuan itu
karena dipaksakan dengan cara berutang, dengan harapan jika terpilih nanti
mereka akan mendapatkan kembalian dari gaji yang diterima setiap bulan,
bahkan tidak sedikit pula yang tentu saja sudah sangat tahu bahwa kembalian
itu tidak mungkin bisa didapatkan kecuali dengan cara korupsi dan dengan
itulah mereka bisa membayar utang-utang.
Itulah yang menyebabkan Pemilu 2014 sangat sarat dengan praktik
politik uang. Hanya sedikit saja caleg yang tidak melakukan praktik politik
uang karena benar-benar berpikir idealis tidak mau melakukan tindakan ilegal
itu dengan alasan telah diharamkan undang-undang yang salah satu sumber
nilainya adalah agama yang mereka yakini.
Sebagian caleg yang tidak melakukan praktik politik uang bukan
karena mereka tidak berniat melakukannya, tetapi hanya karena memang tidak
memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya. Jika mereka memiliki
kemampuan, mereka akan melakukan hal yang sama. Tindakan instan para caleg
tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki wawasan dan pemahaman yang
benar tentang politik yang mekanisme kerjanya berbeda dengan kerja-kerja
sosial seperti memberikan sumbangan makanan, pakaian, dan material untuk
pembangunan.
Dengan wawasan dan pemahaman yang benar tentang politik,
mestinya para caleg melakukan kerja politik, bukan sekadar kerja sosial.
Kerja politik merupakan kerja yang berkaitan dengan kebijakankebijakan
politik, yang dengan kebijakan-kebijakan itu struktur-struktur negara bisa
digerakkan untuk memberikan yang terbaik kepada negara, terutama warganya.
Namun, pada saat yang seharusnya para caleg melakukan kerja politik, nyaris
semuanya justru melakukan ”kerja
sosial”.
Mereka tiba-tiba mengalami transformasi menjadi tak ubahnya
Sinterklas. Namun, setelah tidak terpilih dalam pemilu, mereka secara
tibatiba mengalami transformasi kembali ke watak asal. Partai politik juga
secara institusi tidak menjalankan fungsifungsi fundamentalnya, terutama
rekrutmen politik dan pendidikan politik. Dalam konteks rekrutmen politik,
hampir seluruh partai politik berpikir pragmatis, yang penting bisa menang
dalam pemilu, dengan segala cara.
Karena itu, terjadilah pola rekrutmen politik dengan menjadikan
orangorang yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagai
kandidat yang dinominasikan dalam pemilu. Padahal, mereka tidak memiliki
kualifikasi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi sebagai pejabat jika
nantinya benar-benar terpilih. Itu pun tidak diiringi dengan kesadaran untuk
memberikan pendidikan politik kepada figur- figur yang tentang definisi
politik pun sangat bisa jadi mereka tidak paham.
Pragmatisme ini sesungguhnya merupakan langkah bunuh diri partai
karena dengan memiliki pejabat politik yang tidak profesional, apalagi
ditambah dengan melakukan tindakan korupsi, partai politik akan terkena imbas
citra negatif. Partai politik juga masih tampak menggunakan caracara kampanye
yang tidak cerdas, hanya menjalankan pola dan kebiasaan lama dengan mengumpulkan
banyak orang di tempat-tempat yang luas. Padahal sudah terbukti bahwa model
kampanye itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika zaman. Terlebih
lagi tidak memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya sangat diperlukan.
Yang juga sangat memprihatinkan, dalam banyak kasus,
penyelenggara pemilu bekerja secara tidak profesional. Dalam konteks KPU,
sudah banyak anggota KPUD yang dipecat karena melakukan pelanggaran berat.
Dan dalam masa penghitungan suara setelah Pemilu 2014, di beberapa daerah
telah terjadi manipulasi yang menyebabkan perubahan caleg terpilih.
Yang paling banyak terlibat dalam manipulasi tersebut adalah
penyelenggara pemilu di level lebih bawahnya lagi, yakni terutama PPK
(panitia pemilihan kecamatan). Memang manipulasi antarpartai saat ini sudah
bisa diminimalisasi. Namun, kecurangan antarcaleg dalam satu partai masih
sangat banyak terjadi. Dalam konteks pengawas pemilu, bisa dikatakan bahwa
lembaga pengawas pemilu nyaris tidak berfungsi sama sekali. Seharusnya
pengawas pemilu bisa membuat pemilu terbebas dari segala jenis pelanggaran.
Faktanya, praktik politik uang terjadi tidak lagi secara
sembunyi-sembunyi, tetapi sudah sangat terang-terangan. Bukan lagi dalam
bentuk ”serangan fajar”, tetapi sampai ”serangan duha” dan bahkan serangan
setelah ”salat zuhur” terhadap mereka yang sampai siang hari tampak belum
menggunakan hal pilih. Namun, pengawas pemilu tidak melakukan tindakan
signifikan untuk mencegah praktik politik uang. Bahkan karena semakin masif
terjadi, kemudian cenderung membiarkan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, jika terjadi pelanggaran yang
diketahui, misalnya karena pelakunya sendiri yang mengaku melakukan praktik
politik uang, tidak ada tindakan tegas penegak hukum. Sebagai contoh
sederhana, setelah penyelenggaraan pemilu, tidak sedikit caleg yang tidak
terpilih kemudian berlaku emosional yang kemudian menyebabkan kedoknya
sebagai pelaku praktik politik uang terbongkar karena meminta kembali uang
yang telah mereka berikan. Bahkan kemudian mereka berselisih di kantor
kepolisian. Namun, tampaknya masalah itu diselesaikan secara adat.
Penegakan hukum untuk memberikan efek jera tidak dilakukan.
Lengkaplah sudah pemilu terselenggara dengan sangat buruk dan tanpa efek
pembelajaran yang berharga untuk penyelenggaraannya yang lebih baik di masa
depan. Dan jika ini terus dibiarkan, bisa jadi pemilu di masa depan akan
lebih buruk. Wallahu a’lam bi al-shawab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar