Bahasa
Anti dan Realisme Religius
Jean Couteau ;
Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
27 April 2014
Hari
Minggu yang lalu telah diumumkan di Bandung pendirian satu aliansi baru: Aliansi Anti Syiah. Saya amat suka
istilah ”aliansi” itu. Menghangatkan! Namun, sayang, kata
yang indah itu disandingkan dengan kata yang sebaliknya bernada negatif:
”anti”.
Anti
terhadap kelompok sempalan Islam yang terlahir pada waktu perang saudara
lebih dari 1.400 tahun yang lalu! ”Penganut
Syiah tak bisa ditolerir,” seru
aliansi! Wah! Bukankah mereka selama ini hidup damai di Indonesia; dan
jumlahnya segelintir saja! Kenyataan ini tak mengubah sikap keras aliansi
itu.
Yang
kita saksikan di sini ialah bagaimana pengaruh global turut membongkar ikatan
kewargaan lama dan membangun sekat religius—antara Syiah dan Sunni—yang
tadinya tidak dirasakan ada. Lalu, apakah sikap aliansi betul-betul
memprihatinkan? Di satu pihak, tentu saja. Jika ”mesin kebencian” sudah
diaktifkan, momentumnya selalu sulit dikontrol. Namun, di lain pihak,
janganlah kita terlalu pesimistis. Sebab, aliansi ini menyampaikan sikapnya
melalui wacana, dan wacana saja, bukan kekerasan. Maka, bisa jadi sikap
”anti”-nya bakal dilarutkan di dalam wacana demokratis Islam moderat dan di
dalam demokrasi Indonesia pada umumnya? Semoga!
Saya
memang berpendapat bahwa fenomena radikalisme sebaiknya dipandang bukanlah
sebagai fenomena agama an sich,
melainkan sebagai gangguan pada ”kesehatan” tubuh sosial. Dan seperti halnya
tubuh kita, kondisi tersebut lebih baik dihadapi dengan tindakan preventif
dan homeopati daripada dengan pembedahan, yang mestinya menjadi tindakan terakhir
saja. Tugas Islam moderat adalah menyediakan homeopatinya.
Gejala
patologi sosial muncul jika perubahan pada tubuh sosial gagal diimbangi oleh
perkembangan institusional dan prosedur sosial yang tepat sebagai obatnya.
Contoh tipikal ialah kegagalan historis untuk menanggulangi akselerasi
perubahan sosial yang dipicu oleh revolusi industri. Pada awalnya, perubahan
dilawan oleh mitos! Sosialisme konon bakal menyusul kapitalisme.
Salah
duga! Ketika pada akhirnya instrumen relatif efisien berhasil dikembangkan,
seperti sekarang ini—berupa demokratisasi, hak pekerja, tatanan hukum yang
kokoh, lalu hak kemerdekaan, PBB, HAM, LSM, dan lain-lain—ratusan juta
manusia sudah menjadi korban (dari Revolusi Perancis, penjajahan, komunisme,
nazisme, kedua perang dunia, dan lain-lain). Namun, roda terus berputar.
Kapitalisme kini tak lagi puas dengan menguasai tatanan sosio-ekonomi dan
politik saja. Menumpangi dunia maya, ia merasuki segala pojok pemikiran kita.
Akibatnya, cara membangun kehidupan sosial dan spiritual kita juga berubah.
Gejala
patologi sosial meningkat. Yang kini paling mencolok terlihat pada dunia
Arab, yang didukung oleh sejumlah faktor khasnya: dekadensi politik negara,
peran minyak, demografi, intervensi Barat, kehadiran Israel, dan lainnya.
Menariknya, jika orang Barat menciptakan mitos sosialisme untuk melawan
kapitalisme, orang Arab menciptakan suatu ragam Islam mitis dengan tujuan
serupa. Disusunkannya aneka tafsir eksklusif yang bertujuan membentuk umat
impian ideal yang konon bakal menyebar ke seluruh dunia. Ada versi
spiritualnya, ada juga aneka versi radikalnya, yang mana kerap
meng-”kafir”-kan orang yang berkeyakinan lain.
Mungkin
radikalisme itu tak terelakkan, tetapi ia mesti ditangkal karena bukan
respons religius ataupun politik yang realis. Tugas agama ialah memberikan
artian spiritual pada kehidupan manusia, bukanlah membangun identitas
tertutup apa lagi mitis.
Islam
Indonesia yang Pancasilais telah lama memahami hal ini dan kini berjuang
untuk ”merangkul”, bukan memisahkan. Karena itu, ia berhadapan dengan ”tugas”
politik yang berat: ia harus menampung dan melarutkan wacana kaum radikal
menjadi wacana moderat biasa; dan, bersamaan waktu, ia harus meneruskan
adaptasi Islam pada modernitas demokratis. Melihat ke depan, Islam Indonesia
harus juga turut membangun institusi-institusi riil yang sebisanya membantu
Indonesia dan dunia menghadapi guncangan-guncangan mendatang: kelangkaan
sumber daya alam, perusakan ekologi, perubahan tatanan ekonomi dan politik
dunia. Jika kelak kita ingin damai, dengan suatu kadar patologi sosial yang
minimal, bahasa ”anti” jelas bukanlah suatu solusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar