Langkahi
Dulu Syaratku!
Bisma Yadhi Putra ;
Fasilitator Sekolah
Demokrasi Aceh Utara
|
OKEZONENEWS,
28 April 2014
SENANTIASA
ada yang berbeda di hari hajatan pemilu. Sepanjang lima tahun rakyat boleh
marah pada parlemen dan mencaci habis-habisan para wakilnya. Dicela yang
malas rapat, yang menonton “video gituan”, yang korupsi, dan seterusnya.
Tetapi di hari pemilu, sikap rakyat meleleh.
Seolah
lupa pada perilaku-perilaku cedera di atas, lupa dengan situasi merana karena
politik sering enggan menjadikan aspirasi rakyat sebagai referensi utama
pembuatan kebijakan, mereka ramai-ramai mencoblos dengan antusias. Justru
dalam banyak kebijakan, sumber acuan utama yang lebih sering digunakan adalah
suara/kehendak para oligarch.
Saat
pemilu kita diminta berpartisipasi memilih pemimpin, setelahnya legislator
terpilih jarang mengajak rakyat berpartisipasi memilih opsi-opsi dalam
pembuatan kebijakan. Ibaratnya setelah pemilu caleg yang menang dengan
lantang berkata: Lo, gue, end! Dan rakyat pun galau.
Hidup
enak yang dijanjikan nyatanya hanya ada dalam lukisan kata-kata. Gambaran
hanya menjadi gambaran. Apa yang dikatakan sebelum pemilu terdengar
realistis, menjadi fiktif sesudahnya. Itulah akibat yang timbul karena tak
pernah berubahnya cara kita menyeleksi elite, khususnya dalam hal penerapan
standar penilaian. Jika impian banyak orang adalah sistem yang tak
menyediakan tempat bagi elite-elite lembek, goblok, dan pendusta, maka harus ada
pengetatan dalam penilaian. Sebaiknya kita mengoreksi satu hal itu.
Kita
memang disuruh memilih “yang buruk di antara yang terburuk”. Artinya yang
keburukannya paling sedikit. Argumennya: jangan berharap ada sosok lengkap,
karena tiada manusia sempurna. Orang waras tentu tak akan menyangkal dalil
itu. Namun dalam mencari “yang tersedikit buruknya” itu, faktanya tak ada
pengukuran konkret yang digunakan. Padahal kalau kita memang waras, berakal,
harus ada pengukuran dalam menentukan pilihan.
Rakyat
harus menerapkan “standar tinggi” untuk meminimalisasi terpilihnya
elite-elite dengan kecacatan di atas. Penerapan standar tinggi merupakan
sebuah upaya menciptakan pertahanan politik agar penjahat atau orang tak
cakap gagal masuk ke parlemen maupun jabatan eksekutif. Lantas, seperti apa
standar tinggi dimaksud?
Penyelisikan ke sudut terkecil
Mula-mula
setiap orang (individu) harus mengukur kualitas diri terlebih dahulu.
Kemudian baru secara lebih luas, yakni kelemahan umum masyarakat. Pada satu
aspek, sampai saat ini saya belum lancar berbahasa Inggris. Begitu pula
dengan banyak orang (masyarakat). Sementara perkembangan dunia terus menuntut
setiap orang harus berjejaring dengan bangsa asing. Tidak hanya kreatifitas,
setiap orang dituntut cakap berbahasa Inggris.
Maka
yang dibutuhkan masyarakat adalah legislator yang (lebih) pintar kemampuan
berbahasanya. Dia harus memiliki kualitas yang tak dimiliki banyak orang yang
diwakilinya. Dia harus tahu bahwa tiada satu dusun pun di dunia ini yang bisa
mengisolasi diri dari “siklus pengaruh-memengaruhi” kegiatan internasional.
Ketika
“berhadapan” dengan pihak asing, saya tak bisa membayangkan seorang
legislator—dengan segenap predikat prestisius atau elitisnya—malah
menggunakan jasa penerjemah bahasa Inggris. Mereka yang tak memenuhi kualitas
di aspek ini patut dipertimbangkan untuk tidak dipilih. Kita perlu legislator
yang cakap berbahasa juga berkomunikasi.
Saya
bodoh, apakah kemudian saya mau memilih caleg yang lebih bodoh? Kalau Ibu
Maidar adalah sarjana S3, apakah mau memilih caleg yang sama sekali tidak
peduli pendidikan? Mungkin juga Ibu Maidar enggan memilih caleg yang taraf
pendidikannya di bawahnya (S2, S1, atau SMA). Jika Bang Zulfikar sudah
berpengalaman dalam mengadvokasi masyarakat tertindas, maukah memilih caleg
yang sama sekali tak pernah terlibat dalam kerja-kerja sosial? Jika Ustaz
Mahmud adalah ahli tafsir Alquran, maukah memilih caleg yang ketika ditanya
jumlah Rukun Iman lantas dijawab: “delapan”, “kurang hafal”, atau “cek Google
dulu, ya”?
Calon
legislator mestinya lebih cakap dari orang-orang yang hendak diwakilinya.
Atau minimal kualitasnya setara. Tentu saya akan mencari yang wawasan dan
kecerdasannya setara atau di atas saya. Langkahnya dengan menghadiri kampanye
yang berbentuk dialog (misalnya diskusi publik atau kuliah umum) yang
diselenggarakan caleg atau parpol. Tujuannya untuk mengukur kualitas. Di situ
pula kemampuan berbahasa dan berkomunikasi ditampilkan.
Namun
perlu diingat, ketika di singgasana nanti, tiada alasan untuk bersikap congkak
berdasarkan asumsi “wakil rakyat harus lebih cerdas dari rakyat” tadi. Rakyat
tetap harus diposisikan sebagai guru. Filosofinya: meski mengetahui bahwa
seseorang wawasannya tak lebih luas daripada kita, bukan berarti darinya tak
ada ilmu berharga yang bisa diambil. Semua orang adalah guru, meski taraf
pendidikannya lebih rendah. Ini merupakan hal yang harus dipahami setelah
pemilu.
Banyak
informasi harus dikumpulkan untuk mengukur semua caleg yang ada di dapil
masing-masing. Pola pertama, caleg harus rutin memublikasikan banyak
informasi tentangnya. Di sini jelas tidak ada yang mau menginformasikan
kecacatan masa lalunya. Pola kedua, informasi dikumpulkan oleh masyarakat
sendiri. Kedua pihak—masyarakat dan caleg—harus saling “dengar banyak dan bicara
banyak”.
Dalam
psikologi politik, dikenal istilah “pencarian oleh pemabuk” (drunkard’s search). Inilah jalan
pintas mencari informasi tentang seseorang. Diibaratkan dengan pemabuk yang
kehilangan kuncinya di jalan. Lantas ia mencarinya di bawah tiang-tiang
lampu, karena cahaya lebih terang di sana. Bukan karena di sana adalah tempat
kuncinya terjatuh (Cottam et al., 2012:
234). Dalam konteks pemilu, pemilih mabuk tidak mau memperumit informasi.
Ditempuhlah jalan pintas dengan mengetahui informasi umum tentang seseorang.
Untuk
mendapat informasi tentang kualitas kemampuan berpikir atau kecakapan dalam
analisis kemasyarakatan, misalnya, pemilih bisa membaca karya ilmiah
(skripsi, tesis, atau jurnal) yang ditulis caleg. Termasuk jika ditemukan
praktik plagiat (pencurian karya orang), mungkin bisa dikaitkan dengan
kemungkinan seseorang akan menjadi pencuri anggaran (koruptor).
Tentu
saja pengukuran seperti itu tentu membutuhkan waktu lama. Informasi yang
banyak tentang seorang tak bisa dirangkum dalam waktu singkat. Untuk itu
penetapan bacaleg oleh parpol harus dilakukan jauh-jauh hari. Idealnya
ditetapkan tiga (minimal) atau empat (maksimal) tahun sebelum pemilu. Kalau
perlu hal tersebut langsung diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Selama beberapa tahun menjelang pemilu itulah kader dilatih. Mereka akan
punya durasi cukup panjang untuk turun ke masyarakat. Inilah bentuk ideal
pengaderan calon wakil rakyat.
Dan
dalam waktu yang lama tersebut, dapat pula dilakukan riset. Ini juga bisa
menjadi salah satu aspek dalam standar tinggi tadi. Bacaleg sendiri yang
harus menjadi petugas riset, dibantu tim tentunya. Parpol yang pernah sukses
melakukan riset adalah PKI. Untuk mendapatkan gambaran objektif dari
kenyataan, PKI merumuskan metode riset “3 Sama”: (i) sama bekerja
(mengerjakan apa yang dikerjakan petani tempat menginap), sama makan (makan
apa yang dimakan petani), dan sama tidur (tidur seperti dan di rumah petani
miskin).
Riset
yang dilangsungkan di bawah semboyan “Perhebat pengintegrasian dengan
penelitian!” itu mengungkapkan hasil bahwa kaum tani sebenarnya tak setuju
dengan prinsip-prinsip komunistis seperti “nasionalisasi semua tanah” dan
“hak negara atas semua tanah”. Lantas PKI pun merumuskan program berdasarkan
hasil riset (baca: aspirasi rakyat) yang intinya hendak memperjuangkan “tanah
untuk kaum tani” dan “milik perseorangan tani atas tanah”. Riset selesai
dalam tujuh minggu. Perempuan juga dilibatkan (D.N. Aidit, “Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa: Laporan Singkat
tentang Hasil Riset Mengenai Keadaan Kaum Tani di Jawa Barat, 1964).
Jika
tuntutannya harus menginap di rumah-rumah rakyat, durasi yang lama tadi tentu
mencukupi. Jadi tidak hanya menjelang pemilu parpol baru bekerja di lapangan.
Mengenali lebih dalam kondisi rakyat butuh waktu tak singkat. Calon wakil
rakyat juga akan belajar banyak, sehingga saat duduk di parlemen tidak lagi
mempelajari hal-hal yang bisa dipelajari sebelum pemilu.
Saat
kampanye pemilu, hasil riset yang diperoleh menjadi landasan untuk meyakinkan
masyarakat. Berkampanye dengan temuan ilmiah. Artinya tak hanya membual
dengan jargon “saya peduli rakyat”, padahal sama sekali tak memahami kondisi
rakyat secara mendalam. Dokumen hasil penelitian yang dibagikan, bukan semata
baju, stiker, atau kalender.
Selama
riset, caleg sekaligus melakukan investasi peran, antitesis investasi uang.
Caleg dadakan yang diusung parpol menjelang pemilu, yang keterikatan
emosionalnya dengan masyarakat lemah, biasanya lebih banyak mengeluarkan uang
untuk meyakinkan masyarakat. Dia menempuh cara instan untuk dikenal.
Sementara mereka yang jauh-jauh hari sudah berperan dalam masyarakat, tidak
perlu lagi memberi uang agar dikenal. Semakin besar investasi peran, semakin
kecil investasi uang.
Sejak
jauh-jauh hari, bacaleg yang menjadi petugas riset dapat terus terang saja
berkata: “Empat tahun lagi, di pemilu
yang akan datang, saya akan maju sebagai caleg. Maka sejak sekarang saya mau
mendekatkan diri ke rakyat untuk mengenali masalah-masalahnya dan membantu
mencari solusi agar bisa diperjuangkan di parlemen nanti. Saya tidak mau
menjadi caleg yang muncul dadakan di muka rakyat menjelang pemilu”.
Jangan kritis padaku!
Saya
dapat memahami bahwa penerapan standar tinggi merupakan ancaman bagi parpol
yang tak mau repot-repot meyakinkan masyarakat. Meluasnya penerapan standar
tinggi dapat meningkatkan golput, sebab ketika tak ada yang mampu mencapai
standar maka tak ada yang layak dipilih. Pakar psikologi politik Hamdi Muluk
menuturkan, saat ini golput adalah kalangan kritis dan terdidik. Di kalangan
inilah standar tinggi itu diterapkan. Pemilih pemula biasanya tak memikirkan
standar tinggi.
Dan
golput tinggi membuat perolehan suara menyusut, sehingga secara otomatis
alokasi dana bantuan kepada parpol pun berkurang. Bisa dibuat sebuah
ilustrasi. Partai Biawak adalah mayoritas di DPRD Pulau Komodo periode
2009-2014. Saat pemilu, suara sah yang diperoleh sebanyak 200.000. Satu suara
dihitung Rp 771,68 yang dialokasikan dari APBD setiap tahun. Hitungannya:
200.000 × 771,68 = Rp 154.336.000. Partai Biawak mendapat dana bantuan parpol
sebesar itu setiap tahun!
Sementara
parpol dituntut menggunakan 60 persen dari dana tadi digunakan untuk
pendidikan politik. Dalam nominal di atas berarti Rp 92.601.600. Sudahkah
parpol menggunakan 60 persen itu untuk mendidik kita? Di Aceh, misalnya,
Masyarakat Transparansi Aceh pernah mengungkapkan dana bantuan kepada parpol
banyak diselewengkan. Untuk pendidikan politik hanya sekitar 20-40 persen (Serambi Indonesia, 11/3). Padahal dana
60 persen itu bisa digunakan pula untuk keperluan riset.
Mohon
maaf, sedikit pun saya tak percaya upaya parpol menyosialisasikan “jangan
golput” sebagai bentuk menyelamatkan demokrasi, tetapi lebih kepada
mempertahankan kepentingan dan legitimasi mereka. Agar bantuan kepada mereka
tidak berkurang, kita tidak boleh golput. Sementara mereka di parlemen boleh
tidur saat rapat, boleh korupsi, boleh cabe-cabean.
Maka sepanjang
2014, 2015, 2016, 2017, 2018, sampai Pemilu 2019 nanti, tolong buat saya
percaya dan punya alasan untuk tidak golput lagi. Bukan hanya soal
keterbukaan penggunaan dana tersebut, tetapi juga memenuhi standar tinggi di
atas (riset, belajar bahasa, dan sebagainya). Saya tak mau menjadi pemilih
gampangan.
Saya
sudah sebutkan beberapa poin standar tinggi. Silakan Anda tambah sendiri
sesuai selera. Tidak ada standar tinggi yang harus dibakukan. Yang penting
standar itu logis. Jangan karena Anda tak bisa terbang lalu hanya mau memilih
caleg yang mampu terbang secara alamiah seperti burung. Atau ingin caleg yang
bertubuh kekar seperti binaragawan. Yang diukur adalah kualitas pemahaman
terhadap masalah-masalah kepublikan dan keparlemenan. Otot caleg bukan kebutuhan
publik, tetapi isi otaknya.
Buatlah
tulisan ini lebih panjang dengan syarat-syarat yang lebih lengkap. Biar
parpol membacanya, biar mereka tahu kita ingin mereka seperti apa. Sudah
cukup mereka yang menginginkan kita menjadi seperti apa, yakni pemilih minimalis: pemilih yang tidak
mau rumit mengumpulkan informasi untuk membuat keputusan politik.
Mulai saat ini kita harus lantang berkata: jangan
seenaknya kau tiba-tiba datang lantas meminta dukunganku. Jika kau hendak
mendapat suaraku, langkahi dulu syaratku! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar