Jokowi
dan Calon Wakilnya
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate
|
TEMPO.CO,
25 April 2014
Siapa
calon wakil presiden (cawapres) Jokowi? Pertanyaan itu kini menjadi pusat
bincang politik nasional. Keingintahuan publik mengenai kandidat
pendampingnya membuat ke mana Jokowi melangkah akan ditarik pada duga tanya
pemilihan nama. Jokowi memang belum menyebut kepastian nama. Namun, begitu
ada yang bertanya dengan sambil menyodorkan nama Jusuf Kalla, Mahfud Md., dan
Ryamizard Ryacudu, Jokowi ternyata juga tidak menggeleng.
Sejauh
ini tiga nama tersebut banyak diungkap di media sebagai kandidat yang
memiliki potensi kuat untuk menjadi pendamping Jokowi pada Pilpres 2014.
Mereka diyakini akan menjadi pendamping yang cocok bagi Jokowi. Ketiga tokoh
tersebut dinilai memiliki integritas, kompetensi, dan deretan atribut
kepemimpinan positif lainnya. Persoalannya, dihadapkan pada alternatif
nama-nama mumpuni itu, nantinya hanya satu yang akan dipilih.
Maka,
jalan timbang apa yang setidaknya bisa dibaca akan ditempuh untuk menentukan
satu nama itu. Beragam pertimbangan bisa diurai. Namun saya mencoba
menawarkan dua faktor pembacaan: politik dan personal. Pada faktor politik,
pemilihan cawapres Jokowi akan banyak mempertimbangkan faktor partai sebagai
pihak yang akan mengusung. Di sini, PDIP merupakan jangkar penentu. Karena
tidak memperoleh suara yang cukup untuk bisa mengajukan capres-cawapres, PDIP
kemudian menggandeng partai lain.
Satu
partai, Partai NasDem, telah berjabat erat dengan PDIP. Dan, ada kemungkinan
PDIP juga masih membuka pintu untuk partai lain. Dengan komposisi partai yang
bekerja sama dengan PDIP seperti itu, pertimbangan pemilihan nama cawapres
tidak lagi menjadi hak utuh PDIP. Partai lain memiliki hak bersuara untuk
bersama mempertimbangkan nama cawapres. Dengan demikian, ketiga nama kandidat
tidak bisa jika hanya menarik hati bagi PDIP, tapi juga harus memikat bagi
partai lain.
Selain
itu, faktor politik ini akan melalui pertimbangan bahwa Jokowi dan
cawapresnya nanti harus memiliki basis dukungan yang kokoh di parlemen.
Karena tidak cukup besar kekuatannya di parlemen jika hanya PDIP dan Partai
NasDem, untuk itu cawapres Jokowi perlu sosok yang nantinya bisa mengajak
partai politik lain untuk bergabung dalam barisan koalisi PDIP. Ajakan
dukungan tersebut bisa sebelum pilpres digelar ataupun setelah pilpres.
Mendapatkan
sosok dengan kemampuan memberi garansi keyakinan mendapat dukungan di
parlemen bagi pemerintahan Jokowi kelak bukan perkara ringan. Ryamizard bukan
tokoh berlatar belakang partai, sementara Kalla dan Mahfud juga bukan tokoh
sentral di partai. Namun justru, dalam keterbatasan latar belakang itu, siapa
yang berpotensi bisa meyakinkan PDIP dan Jokowi untuk mendapatkan rangkulan
partai politik lain adalah salah satu faktor krusial untuk dijadikan
cawapres.
Yang tak
bisa luput dari pertimbangan politik adalah kemampuan elektabilitas (elective ability) cawapres. Artinya,
cawapres adalah sosok yang bisa membantu menambah atau menguatkan
elektabilitas Jokowi. Atau bisa dengan kata lain, jika salah satu di antara
bakal cawapres dipasangkan dengan Jokowi, tidak memunculkan resistensi yang
cukup besar di masyarakat. Bukan hanya itu, cawapres Jokowi diharapkan juga
bisa diterima oleh banyak kelompok atau elemen kebangsaan.
Pembacaan
kedua adalah faktor personal. Sosok cawapres Jokowi tidak bisa menghindari
faktor ini. Faktor personal boleh dikatakan menjadi faktor yang di dalamnya
termuat hal subyektivitas mutlak sang penimbang. Penimbang politik utama
tidak lain adalah Megawati Soekarnoputri dan Jokowi sendiri. Pada Megawati,
terdapat faktor penjamin bahwa siapa pun cawapres yang dipilih, tidak sampai
menimbulkan gejolak internal di PDIP.
Sebagai
unsur penimbangnya, Megawati tampaknya akan banyak menggunakan rekam jejak
dan kedekatan pribadi. Unsur yang terakhir ini terkait soal bahwa Megawati
ingin memastikan cawapres nanti tidak membuka sedikit celah yang bisa membuat
repot Jokowi dan partai koalisi. Sedangkan untuk rekam jejak, Megawati bisa
melihat lembar catatan-catatan politik para kandidat cawapres. Salah satunya
bisa menyangkut apakah di antara kandidat memiliki catatan pernah
bersinggungan dengan diri ataupun partainya atau tidak.
Adapun bagi
Jokowi, nama kandidat cawapres harus memenuhi kecocokan kimiawi (chemistry). Sebab, jika Jokowi
terpilih, ia dan wakilnya yang sehari-hari menjalankan roda kepemimpinan.
Maka diperlukan kombinasi yang saling mengisi dan menguatkan. Kepemimpinan seperti
itu hanya bisa dicapai jika keduanya berperan sesuai dengan posisi dan porsi
masing-masing. Karena posisi wakil presiden sangat penting, maka tidak bisa
jika ia berperan sebagai pelengkap atau ban serep.
Pada
ujungnya, pasangan Jokowi dan cawapresnya akan diuji dengan tantangan yang
tidak landai. Meskipun saat ini elektabilitas Jokowi belum dikalahkan oleh
capres lain, hal tersebut belum cukup menjamin kemenangan. Karena itu, bagi
PDIP dan partai koalisinya, bekerja keras pada pilpres 2014 adalah titian
yang harus dilewati untuk mendekatkan tujuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar