Pendidikan
yang Memandirikan
Ivan A Hadar ; Direktur Institute for Democracy Education (IDE); Penulis utama
Laporan Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat (UNDP/Bappenas)
|
SINAR
HARAPAN, 24 April 2014
Pada
2000, Indonesia bersama 189 negara anggota PBB ikut mengadopsi Deklarasi
Milenium berikut tujuan-tujuan pembangunannya yang dikenal sebagai MDGs (Millenium Development Goals).
Salah
satu tujuan MDGs adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua dengan target
memastikan pada 2015 semua anak di manapun, baik laki-laki maupun perempuan
dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
Berbeda
dengan indikator MDGs global yang hanya menetapkan pendidikan dasar selama
enam tahun, Indonesia menetapkan target yang lebih tinggi, yaitu sembilan
tahun untuk pendidikan dasar. Hal ini mungkin mengacu pada asumsi yang
berlaku umum. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah
baginya untuk memperoleh atau bahkan menciptakan lapangan kerja.
Namun,
aspek berikut ini perlu menjadi bahan pertimbangan. Harus diakui, secara umum
pendidikan dasar sembilan tahun dengan kurikulum yang bersifat sangat umum,
tidak memadai untuk mencetak anak didik yang memiliki keterampilan agar
berdaya saing cukup dalam pasar tenaga kerja. Padahal, selama ini kelompok
miskin sangat sulit menapaki jenjang hingga pendidikan tinggi agar memperoleh
keterampilan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja.
Pendidikan Kontekstual
Di
Indonesia, kelompok miskin berada di mana-mana, baik di perkotaan maupun
pedesaan, termasuk kawasan terpencil. Khusus untuk daerah pedesaan terpencil,
selain kurangnya sarana pendidikan, jarak yang jauh dan mahalnya transportasi
ke sekolah menjadi penyebab utama banyaknya anak dari keluarga miskin yang
putus sekolah. Di Indonesia, Provinsi Papua mencapai angka putus sekolah
dasar tertinggi, yaitu di atas 70 persen.
Bagi
mayoritas penduduk asli Papua yang bertempat tinggal di kawasan yang sulit
dijangkau, setidaknya terdapat empat faktor yang menjadi penyebab rendahnya
tingkat partisipasi pendidikan (ILO, 2011).
Pertama,
rendahnya akses pendidikan yang bersifat fisik, yakni fasilitas untuk
mencapai sekolah dan secara nonfisik berupa diskriminasi. Kedua,
keterjangkauan yang meliputi biaya langsung (uang sekolah), biaya tidak
langsung (perlengkapan sekolah), dan biaya kesempatan (opportunity cost)
bekaitan dengan waktu anak yang biasanya harus membantu orang tua dalam
mencari nafkah.
Ketiga,
kualitas yang mencakup keterbatasan persiapan untuk memenuhi kebutuhan siswa
dan pengiriman guru yang tidak mencukupi. Keempat, relevansi, yakni masalah
integrasi mata pelajaran lokal yang tidak memadai dan bahasa pengantar
monolingual, yaitu hanya menggunakan Bahasa Indonesia.
Tahun
lalu, dalam sebuah pertemuan eksploratif berjudul “Papua Damai dalam NKRI”
yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan
Papua Damai (JPD), diusulkan terselenggaranya model pendidikan khusus
berbasis budaya dan zona ekologi tanah Papua.
Konkretnya
berupa sekolah kejuruan yang disesuaikan zona kewilayahan, yaitu perkotaan,
pesisir, pedalaman, dan daerah terisolasi. Budaya penduduk asli Papua, juga
terkait erat dengan zona ekologi yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk
mata pencaharian. Untuk itu, diperlukan pengembangan kurikulum lokal dan
sistem sekolah kejuruan yang disesuaikan budaya dan zona ekologi tempat
tinggal para murid.
Pola
hidup penduduk asli Papua di daerah terpencil yang mengacu pada mata
pencahariannya, sering kali berpindah-pindah sambil mengikutsertakan
anak-anak sehingga tidak bisa hadir di sekolah. Karena itu, perlu
dikembangkan model pendidikan SD-SMP satu atap dan berasrama untuk
mempercepat pemerataan akses dan mutu pendidikan bagi masyarakat Papua secara
umum.
Pengembangan
model pendidikan berasrama, selain mengajarkan mata pelajaran umum yang
disesuaikan dengan konteks lokal dan pelatihan keterampilan yang dibutuhkan
pasar dan lingkungan sekitarnya, juga memperkenalkan pelajaran
ekstrakurikuler berupa pelatihan keterampilan dan pembelajaran hidup mandiri
bagi masyarakat.
Model
pendidikan ini mengacu pada apa yang sebenarnya sudah diterapkan misionaris
gereja di Papua sebelum tahun 1963 atau model pesantren oleh umat Islam di
pedesaan Jawa. Model ini diharapkan dapat mempercepat pemerataan akses dan
mutu pendidikan bagi masyarakat miskin.
Memandirikan
Secara
umum, dalam pendidikan di Indonesia mayoritas siswa terlalu diarahkan. Karena
itu, muridnya bercita-cita menapaki jenjang pendidikan umum hingga ke universitas.
Padahal, penduduk miskin dan kelompok menengah bawah yang merupakan mayoritas
penduduk negeri ini, umumnya sangat sulit untuk bisa menuntaskan pendidikan
hingga perguruan tinggi.
Pada
2010, jumlah anak SD sampai SMA yang putus sekolah mencapai 1,08 juta. Angka
itu melonjak lebih dari 30 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya
750.000 siswa. Tak hanya itu, masih ada 3,03 juta siswa yang tak bisa
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, SMA, apalagi ke perguruan tinggi (BPS,
2011).
Padahal,
kalaupun bisa menamatkan jenjang SMP dan SMA, mereka dipastikan sama sekali
tidak memiliki keterampilan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja. Kita
juga tak jarang mendengar cukup banyak sarjana yang bekerja serabutan atau
berdagang di sektor informal, menjadi sopir taksi atau mengambil pekerjaan
apa saja agar tidak menganggur.
Hal ini
berbeda jauh dengan yang dilakukan negara-negara kesejahteraan di Eropa. Di
Skandinavia dan Jerman, misalnya, setamat SD siswa diberikan pilihan yang
luas untuk melanjutkan pendidikannya, baik yang bersifat umum maupun ke
berbagai bidang kejuruan dengan kombinasi teori praktik.
Umumnya,
sekolah kejuruan menggandeng perusahaan sebagai tempat praktik sesuai jenis
keterampilan. Setelah menempuh pendidikan kejuruan setingkat sekolah menengah
pertama (SMP), seseorang relatif siap untuk bekerja atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tiggi, termasuk hingga ke universitas.
Dua
contoh dari pedalaman Papua dan Eropa tersebut bisa menjadi masukan untuk
menimbang kembali “model” pendidikan di negeri ini. Tanpa perubahan berarti,
gelontoran 20 persen dana APBN untuk pendidikan nyaris hanya mendidik tenaga
non terampil. Lebih dari 70 persen angkatan tenaga kerja kita adalah keluaran
SD dan SMP. Sisanya, 14,6 persen jebolan SMA, 7,8 persen SMK, serta diploma
dan perguruan tinggi berkisar 7 persen (BPS, 2011).
Tak
heran, penyerapan tenaga kerja di Indonesia tergolong sangat rendah. Saat
ini, sebanyak 32 persen dari 2.381.841 jumlah lowongan kerja yang terdaftar,
ternyata tidak dapat terisi oleh para pencari kerja.
Hal ini
dipicu rendahnya tingkat pendidikan serta tidak sesuainya keahlian dan
ketrampilan yang dimiliki pencari kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan
perusahaan.
Pengalaman
Eropa mengajarkan pendidikan yang relevan, khususnya untuk menaikkan daya
saing kelompok sosial ekonomi terbawah, adalah memberikan pilihan untuk bisa
mandiri sejak tamat SMP. Hal tersebut agar mereka bisa bersaing dalam kancah
persaingan memperoleh pekerjaan yang layak.
Setamat
sekolah kejuruan menengah pertama, selain terjun ke dunia pekerjaan, terbuka
lebar jalan untuk menapaki pendidikan yang lebih tinggi hingga ke jenjang
perguruan tinggi. Negara dan perusahaan tempat kerja ikut memberikan
kontribusi dalam pemberian beasiswa.
Dari
dalam negeri, contoh dari pedalaman Papua mengajarkan kita tentang perlunya
pendidikan yang kontekstual serta serasi dengan ekosistem dan budaya
masyarakatnya. Dengan demikian, selain keterampilan yang dibutuhkan,
pendidikan juga akan mendekatkan anak didik pada ekosistem dan budaya
sekitarnya.
Dengan
demikian, pendidikan dasar menjadi sesuatu yang memandirikan anak didik,
terutama bagi kelompok miskin. Itulah pula yang mungkin dimaksudkan Paulo
Freire tentang pendidikan yang membebaskan.
Anak
didik menjadi mandiri berkat keterampilan serta dekat dengan alam dan
budayanya, bukan seperti yang dicemaskan dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed (1970). Pendidikan membuat anak didik
terasing (alienated) dari lingkungan
dan budayanya serta tidak memiliki keterampilan khusus yang membuatnya
mandiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar