Ironi
Politik Demokrasi
Erna ; Dosen FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
|
KORAN
JAKARTA, 24 April 2014
Pemilu
memang belum usai. Masih ada tahapan berikutnya untuk kursi RI-1. Atas nama
pesta demokrasi, rakyat Indonesia betul-betul diminta menyukseskan pemilu
yang mengeruk dana APBN, uang caleg, dana capres/cawapres, dan donatur.
Richard
S Katz dan Peter Mair, dalam How Parties Organize, pernah menyatakan dengan
semakin miripnya program dan orientasi kampanye partai, demokrasi menjadi
alat stabilitas politik, bukan perubahan sosial. Politik demokrasi juga telah
melahirkan kompromi yang tidak bisa dihindarkan.
Tidak
adanya yang dominan akan membuat partai-partai berkompromi guna mendapat
jatah kekuasaan. Dengan kekuatan yang hampir merata, bisa dipastikan
keputusan DPR maupun kebijakan pemerintah akan terbelenggu partai-partai
koalisi.
Publik
pun membayangkan kebijakan pemerintahan ke depan bukanlah untuk kepentingan
rakyat, tapi lebih banyak demi elite-elite politik. Kalau semua masuk koalisi
warna-warni, jangan berharap muncul partai yang serius mengkritisi kebijakan
yang salah. Persoalannya bukan lagi salah benar, tapi untung atau rugi buat
elite partai. Semua merupakan konsekuensi sistem demokrasi yang dianut negeri
ini.
Mantan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pernah menggambarkan demokrasi seperti
perusahaan yang melibatkan kartel politik dan pengusaha. Rakyat sebagai
pemegang saham utama berhak memilih chief
executive officer (CEO) republik ini dan orang-orang yang menjadi
pengawas CEO.
Dalam
pidato yang disampaikan tidak lama setelah mundur pada Mei 2010, Sri Mulyani
menyatakan proses demokrasi tak murah dan mudah. Dia butuh biaya luar biasa
besar. Bahkan Sri Mulyani terkejut dengan besarnya biaya dan sangat tak masuk
akal karena tak masuk perhitungan pengembalian investasi.
Untuk
mendapat dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat harus "berkolaborasi"
dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah tak mungkin pendanaan
dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan melalui jual
beli kebijakan. Kebijakan publik untuk masyarakat, lanjutnya, dibuat
kekuasaan sehingga bahan utamanya, yaitu kekuasaan, amat mudah
menggelincirkan pejabat publik ke tindak korupsi.
Membaca
hal itu, sulit diharapkan demokrasi membawa perubahan berarti, apalagi
partai-partai minus ideologi dan semakin pragmatis. Demokrasi dewasa ini
sering dikaitkan dengan uang. Sukses-tidaknya seseorang dalam pemilu
ditentukan jumlah dana dan pencitraan di media massa.
Kini,
susah membedakan biaya politik (politic
cost) dan politik uang (money
politic). Keduanya ibarat sebilah kepingan koin. Anehnya, yang sering
dipersoalkan dalam pemilu hanyalah money
politic. Padahal keduanya bersumber dari uang meskipun peruntukannya
berbeda.
Konsep
demokrasi tak seindah realitas. Gagasan demokrasi (Abraham Lincoln 1860-1865)
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sudah bergeser menjadi dari company, oleh company, dan untuk
company (disampaikan Presiden Rutherford B Hayes, 1876). Company
dimaksudkan perusahaan atau pemilik modal. Faktanya, pada pemilu di negara
demokrasi mana pun, keterlibatan company
selalu ada. Mereka berada di balik layar untuk mendukung sisi finansial.
Simbiosis
Kepentingan
ekonomi dan politik dalam sistem demokrasi akan senantiasa berjalan
beriringan. Politik merupakan sumber menghasilkan kebijakan dan aturan,
sementara ekonomi penopang utama keberlangsungan pemerintahan.
Sistem
demokrasi mengharuskan penguasa memunyai dukungan kuat, bisa berupa
finansial, basis massa, atau mesin politik partai. Untuk menopang semua itu,
dibutuhkan penyandang dana. Benar yang dikatakan Harold D Laswell, politik
adalah masalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Keberadaan pemilik
modal tidak dielakkan lagi.
Sumbangan
pemilik modal disebut juga "mahar politik". Pemberian itu tidak
gratis. Ada kesepakatan tersembunyi di baliknya. Pemilik modal hanya
menginginkan aturan tidak menyulitkan berinvestasi atau menguasai pasar.
Maka, di sinilah ada simbiosis antara penguasa dan pemilik modal berupa
aturan dan UU pro pemilik modal. Sebut saja UU Migas, UU SDA, UU Minerba, dan
UU Kelistrikan.
Simbiosis
kepentingan ekopolitik dibolehkan dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
Hal itu mengindikasikan bahwa politik membutuhkan dana banyak.
Hal itu
dijelaskan pada bagian kesepuluh tentang Dana Kampanye Pasal 129-135.
Sebagaimana dalam penjelasan UU, yang dimaksud "sumbangan sah menurut
hukum dari pihak lain" adalah dana yang tidak berasal dari tindak
pidana, tidak mengikat, dari perseorangan, kelompok dan/atau perusahaan.
Jika
demikian, apakah benar tidak ada kepentingan apa pun ketika pihak lain
memberi? Padahal dalam istilah zaman materialis ini, "tidak ada makan siang gratis".
Hal
itulah yang mengindikasikan demokrasi sesungguhnya tidak untuk rakyat,
melainkan company. Karena faktanya tidak semua rakyat punya uang. Hanya
karena keserakahan segelintir orang yang ingin berkuasa, mereka menggandeng
kapitalis.
Peristiwa
kepentingan ekopolitik sudah mewarnai Indonesia semenjak zaman penjajahan.
Ahmad Mansur Suryanegara menjelaskan demi menciptakan sistem kebergantungan
kalangan pangreh pradja (pejabat) terhadap China pemilik dana, diciptakan
sistem pengangkatan dari kepala desa hingga bupati dengan syarat memiliki
sejumlah uang.
Fakta
lain, pemodal mendapat izin investasi murah menjelang pilkada. Angka yang
dicatat lembaga swadaya masyarakat Jaringan Informasi Tambang (Jatam), saat
pemilihan kepala daerah, jumlah izin melonjak dua kali lipat. Dari data 18
kabupaten dan kota, 11 di antaranya menggelar pemilihan bupati 2011 dan 2010.
Pengalaman
Pemilu 2004, sebagaimana disampaikan TB Silalahi, ketika SBY dari Menkopolkam
kemudian mencalonkan diri sebagai presiden, ratusan pengusaha mendukungnya.
Mereka membantu kaus, bendera, dan properti. Dananya datang begitu saja. SBY
memang membutuhkan dukungan banyak pengusaha karena partainya baru sehingga
belum punya uang.
Untuk
mendukung kampanye pilpres mendatang, semua parpol tentu akan menyerahkan
nomor rekening kepada pengusaha. Untuk menjalankan mesin uang partai, mereka
mengandalkan anggota dan sumbangan kapitalis.
Ini menunjukkan
bahwa politik demokrasi diciptakan demi kepentingan segelintir orang, bukan
rakyat. Alhasil, selama politik dalam demokrasi ditunggangi kepentingan uang,
selama itu pula rakyat hanya diminta memberikan "stempel" dukungan.
Tujuannya agar negara sesuai dengan konstitusi meskipun penguasa sering
inkonsisten.
Di
sinilah dibutuhkan kesadaran rakyat agar memiliki pemahaman politik yang
benar. Politik tidak sekadar akal bulus dan membohongi rakyat. Lebih dari
itu, politik harus mencerdaskan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar