Spiritualisasi
Dampak Ibadah Haji
Ahmad Rofiq ; Sekretaris Umum MUI Jateng, Guru Besar IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 24 April 2014
"Bimbingan manasik lebih banyak terfokus
pada aspek fikih, termasuk dari buku yang dikeluarkan Kemenag"
DITJEN
Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag baru-baru ini menggelar
Mudzakarah Perhajian Indonesia di Jakarta. Forum itu membahas sejumlah
persoalan, di antaranya, pertama; meningkatkan kualitas kemabruran haji atau
spiritualisasi dampak positif ibadah haji supaya melahirkan manusia suci
laksana bayi yang baru lahir. Kedua; status hukum haji kali kedua, ketiga,
dan seterusnya, dan ketiga; istitha’ah (kemampuan) dilihat dari aspek
kesehatan.
Keempat;
status dana setoran biaya pelaksanaan ibadah haji (BPIH) yang masa tunggu
(waiting list)-nya masing-masing daerah berkisar 15-27 tahun. Pertanyaannya,
dana yang terparkir itu milik calhaj atau mengingat sudah masuk ke rekening
Kemenag berarti menjadi hak kementerian itu untuk mengelola sekaligus
menikmati bagi hasilnya?
Menyangkut
kemabruran haji, tiap tahun tak kurang dari 215 ribu warga Indonesia
menunaikan haji. Kecuali tahun 2013 yang hanya 160 ribu orang, menyesuaikan
daya tampung Masjidil Haram yang lagi direhabilitasi. Ada kegalauan
spiritual, mengapa tiap tahun lahir 215 ribu (atau tahun 2013 sebanyak 160
ribu) manusia suci namun belum atau tidak berdampak positif bagi perbaikan
semua aspek kehidupan di Tanah Air.
Tak
mudah mengorelasikan persoalan itu, apakah signifikan atau tidak, yakni
antara banyaknya orang berhaji dan kemeningkatan perbuatan maksiat seperti
korupsi, money politics, dan sebagainya. Secara kasat mata angka korupsi
cenderung tidak berkurang, tapi makin meningkat dan variatif, bisa lewat
bansos, gratifikasi, pencucian uang, dan sebagainya.
Selama
ini bimbingan manasik lebih banyak terfokus pada aspek fikih, termasuk
melalui buku yang dikeluarkan Kemenag, meskipun ada sebagian kelompok
bimbingan ibadah haji (KBIH) memasukkan filosofi atau hikmah haji dalam upaya
spiritualisasi. Secara sosiologis, banyak calhaj lebih menonjolkan sisi
budaya atau berhaji budaya. Banyak dari mereka sebenarnya belum mampu tapi
memaksa menjual harta untuk bisa berhaji. Ketika sudah ’’bergelar’’ haji maka
status sosial budaya mereka meningkat. Bahkan ada acara formal
’’mensyaratkan’’ bahwa yang boleh duduk di kursi depan hanyalah mereka yang
sudah “berpakaian” haji atau ada sebutan haji/hajah di depan nama. Mengenai
tawaf, ketika calhaj mengerjakan prosesi tersebut, sesungguhnya itu proses
pencucian diri dari dosa akidah, syariah, sosial, dan akhlak. Demikian juga
prosesi sa’i dari Bukit Sofa ke Marwa, potong rambut adalah simbol
pembersihan diri.
Prosesi
haji yang dipuncaki wukuf atau berhenti di Padang Arafah adalah proses
penyerahan diri di hadapan Allah Swt supaya mampu mengenali diri dan memahami
sedang berada pada jamuan sebagai tamu Allah. Tanpa dimohon manusia pun,
Allah akan mengampuni segala dosa yang melekat pada manusia.
Syarat Wajib
Setelah
wukuf, dilanjutkan bermalam (mabit)
di Muzdalifah. Di tempat itu, jamaah dituntut memahami bahwa dirinya hidup
bersama orang lain yang multiwarna, etnis, budaya, dan suku. Karena itulah
penyadaran diri sebagai makhluk mikrokosmos di tengah kemajemukan perlu lebih
memanusiakan orang lain.
Setelah
mabit, prosesi diteruskan dengan melempar jumrah di Jamarat, sebagai simbol
manusia selalu berhadapan dengan berbagai ujian, cobaan, dan godaan. Karena
itu, kekuatan rohani berlandaskan iman dan takwa akan menjadi output haji
mabrur, dan wajib diwujudkan dalam kemabruran ibadah sosial.
Mengenai
kemampuan dari aspek kesehatan, itu memang syarat wajib untuk bisa berhaji.
Orang yang tidak sehat, tak mampu melaksanakan sendiri ibadah, menjadi tidak
wajib berhaji. Demikian juga orang sakit akut, tidak bisa disembuhkan, tidak
bisa duduk atau lumpuh separuh badan maka ia dikategorikan tidak istitha’ah
dan berarti tidak wajib berhaji.
Faktanya
tiap tahun, jumlah calhaj berisiko tinggi (biasa diistilahkan: risti) mendominasi. Karena itu,
diharapkan ada ketegasan pemeriksaan kesehatan, baik di puskesmas, rumah
sakit umum daerah, maupun di embarkasi. Bahkan ada usulan perlu pemeriksaan
kesehatan sebelum pelunasan BPIH guna mengantisipasi risiko supaya calhaj
tidak stres tapi legawa, andai
dinyatakan tak mampu secara jasmani dan rohani.
Mengenai
dana BPIH, selama ini pemerintah menganggap sudah jadi “hak milik” Kemenag
sehingga calhaj tak perlu menerima bagi hasilnya, kendati dana itu
menghasilkan bila dikelola dengan baik. Saya berpendapat, dana setoran BPIH
dengan daftar tunggu panjang, sejatinya tetap milik calhaj. Karena itu,
pemerintah perlu membuad akad yang jelas dan transparan supaya calhaj,
sebagai pemilik uang, bisa ikut menikmati bagi hasil dana itu.
Bila
membutuhkan dana bagi hasil itu, misal untuk biaya optimalisasi pelayanan
haji, pemerintah bisa meminta sebagian melalui tulisan pada slip bank, “Jamaah dimohon keikhlasannya, dana bagi
hasil kami minta sejumlah sekian rupiah, untuk biaya peningkatan layanan
ibadah haji”. Secara bisnis, bila dana BPIH Rp 25,5 juta diinvestasikan
kira-kira selama 10 tahun, bagi hasilnya diperhitungkan cukup untuk melunasi
BPIH. Andai formula ini yang digunakan maka pemerintah bisa menggunakan akad
wakalah bil ujrah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar