Helm
Irfan Budiman ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
29 April 2014
Di dalam
sebuah angkutan perkotaan, nama panjang dari angkot, tersebutlah seorang ibu
yang duduk sambil mendekap helm. Iseng-iseng saya bertanya, kenapa helmnya
tidak sekalian dipakai?
Bukan
jawaban bergurau yang saya terima, karena sebenarnya pertanyaannya juga hanya
candaan, dia malah memasang muka tak senang. Sepanjang perjalanan, wajahnya
hanya memandang ke arah depan. Dia memalingkan wajahnya jauh-jauh, hingga
akhirnya saya memberi satu kebahagiaan buat dia. Saya turun lebih dulu,
sehingga lehernya tidak terlalu tegang.
Nyatanya,
penenteng helm bukan hanya ibu itu seorang. Di angkutan umum lainnya juga
banyak yang menenteng helm. Di kereta rel listrik atau di Transjakarta. Tapi
gara-gara peristiwa di angkot itu, saya tidak mau lagi iseng untuk menanyakan
hal serupa.
Pemandangan
ini jauh berbeda dengan keadaan hampir 30 tahun silam. Tepatnya sebelum wajib
helm diberlakukan di negeri ini. Saat itu, orang-orang di sini paling ogah
mengenakan topi pengaman ini saat mengendarai sepeda motor.
Kalaulah
melintasi kawasan wajib helm-peraturan yang diberlakukan saat itu-mereka akan
mencari jalan lain yang tidak mewajibkan pengendara mengenakan helm. Kakek
yang memboncengkan saya pun hanya mengenakan peci hitamnya.
Ketika
itu memang tak banyak orang yang mengenakan helm saat menunggang sepeda
motor. Saya ingat, ketika itu masih kanak-kanak, di gang tempat tinggal,
hanya satu tetangga yang mengenakan helm ketika bepergian dengan sepeda
motor.
Saat
itu, orang mengenal helm karena pelawak Darto yang memakai embel-embel helm
sebagai identitasnya. Kepalanya yang selalu plontos memang seperti helm.
Tapi, untuk mengenakannya saat mengendarai sepeda motor, mereka lebih suka
kepala mereka telanjang meski dibayangi ancaman kecelakaan.
Helm
pada masa awal penemuannya dibuat untuk melindungi diri segala risiko bahaya
yang mengancam kepala. Helm pertama kali dipakai oleh para serdadu yang
berperang. Berat terasa membebani kepala, namun anak panah tak mempan
menembus helm besi mereka.
Pada
masa kini, benda bulat penutup kepala juga tetap ampuh. Meski tak sekuat dan
sehebat helm pasukan perang bangsa-bangsa di masa lalu, helm yang hanya
terbuat dari plastik dan dilapisi styrofoam ini benar-benar menyelamatkan
pemakainya.
Bukan
saja dari kemungkinan kecelakaan yang buruk atau ditilang polisi, tapi juga
menyelamatkan diri dari segala kemacetan yang mengimpit Jakarta. Berbekal
helm dan menebeng kawan seiring, seperti yang dilakukan si ibu di angkot
untuk memotong waktu perjalanan, ini adalah solusi untuk menghadapi jalanan
Jakarta yang sumpek.
Rata-rata,
dengan menunggang sepeda motor, jarak yang selalu dipenuhi dengan kendaraan
bisa ditempuh hampir dengan separuh waktu ketimbang harus bergelut dengan
kemacetan.
Jakarta,
atau juga kota-kota lainnya di Indonesia, memang tidak dirancang untuk menjadi
kota dengan penduduk yang kian hari membeludak jumlahnya, yang juga tingkat
ekonominya meningkat. Meningkatnya kemakmuran para penduduk yang bisa membeli
rumah dan kendaraan pribadi tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah ruas
jalan.
Walhasil,
helm pun ditenteng, bahkan juga dipeluk, untuk dibawa ke mana-mana. Andai
alpa membawa topi bulat itu, tukang ojek yang menyediakan jasa layanan antar
selalu menyediakan helm. Helm, seperti untuk si ibu di angkot dan pelawak
almarhum Darto, benar-benar menjadi penyelamat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar