Rabu, 30 April 2014

Helm

Helm

Irfan Budiman  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO, 29 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Di dalam sebuah angkutan perkotaan, nama panjang dari angkot, tersebutlah seorang ibu yang duduk sambil mendekap helm. Iseng-iseng saya bertanya, kenapa helmnya tidak sekalian dipakai?

Bukan jawaban bergurau yang saya terima, karena sebenarnya pertanyaannya juga hanya candaan, dia malah memasang muka tak senang. Sepanjang perjalanan, wajahnya hanya memandang ke arah depan. Dia memalingkan wajahnya jauh-jauh, hingga akhirnya saya memberi satu kebahagiaan buat dia. Saya turun lebih dulu, sehingga lehernya tidak terlalu tegang.

Nyatanya, penenteng helm bukan hanya ibu itu seorang. Di angkutan umum lainnya juga banyak yang menenteng helm. Di kereta rel listrik atau di Transjakarta. Tapi gara-gara peristiwa di angkot itu, saya tidak mau lagi iseng untuk menanyakan hal serupa.

Pemandangan ini jauh berbeda dengan keadaan hampir 30 tahun silam. Tepatnya sebelum wajib helm diberlakukan di negeri ini. Saat itu, orang-orang di sini paling ogah mengenakan topi pengaman ini saat mengendarai sepeda motor.

Kalaulah melintasi kawasan wajib helm-peraturan yang diberlakukan saat itu-mereka akan mencari jalan lain yang tidak mewajibkan pengendara mengenakan helm. Kakek yang memboncengkan saya pun hanya mengenakan peci hitamnya.

Ketika itu memang tak banyak orang yang mengenakan helm saat menunggang sepeda motor. Saya ingat, ketika itu masih kanak-kanak, di gang tempat tinggal, hanya satu tetangga yang mengenakan helm ketika bepergian dengan sepeda motor.

Saat itu, orang mengenal helm karena pelawak Darto yang memakai embel-embel helm sebagai identitasnya. Kepalanya yang selalu plontos memang seperti helm. Tapi, untuk mengenakannya saat mengendarai sepeda motor, mereka lebih suka kepala mereka telanjang meski dibayangi ancaman kecelakaan.

Helm pada masa awal penemuannya dibuat untuk melindungi diri segala risiko bahaya yang mengancam kepala. Helm pertama kali dipakai oleh para serdadu yang berperang. Berat terasa membebani kepala, namun anak panah tak mempan menembus helm besi mereka.

Pada masa kini, benda bulat penutup kepala juga tetap ampuh. Meski tak sekuat dan sehebat helm pasukan perang bangsa-bangsa di masa lalu, helm yang hanya terbuat dari plastik dan dilapisi styrofoam ini benar-benar menyelamatkan pemakainya.

Bukan saja dari kemungkinan kecelakaan yang buruk atau ditilang polisi, tapi juga menyelamatkan diri dari segala kemacetan yang mengimpit Jakarta. Berbekal helm dan menebeng kawan seiring, seperti yang dilakukan si ibu di angkot untuk memotong waktu perjalanan, ini adalah solusi untuk menghadapi jalanan Jakarta yang sumpek.

Rata-rata, dengan menunggang sepeda motor, jarak yang selalu dipenuhi dengan kendaraan bisa ditempuh hampir dengan separuh waktu ketimbang harus bergelut dengan kemacetan.

Jakarta, atau juga kota-kota lainnya di Indonesia, memang tidak dirancang untuk menjadi kota dengan penduduk yang kian hari membeludak jumlahnya, yang juga tingkat ekonominya meningkat. Meningkatnya kemakmuran para penduduk yang bisa membeli rumah dan kendaraan pribadi tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah ruas jalan.

Walhasil, helm pun ditenteng, bahkan juga dipeluk, untuk dibawa ke mana-mana. Andai alpa membawa topi bulat itu, tukang ojek yang menyediakan jasa layanan antar selalu menyediakan helm. Helm, seperti untuk si ibu di angkot dan pelawak almarhum Darto, benar-benar menjadi penyelamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar