Obama
dan Suksesi di Saudi
Tjipto Subadi ; Dosen Prodi
Pendidikan Geografi FKIP dan Pascasarjana
Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS)
|
SUARA
MERDEKA, 29 April 2014
’’Selama anak-anak saya masih hidup, kekuasaan
tidak akan berpindah ke cucu-cucu saya.’’ (wasiat
Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman al Saud)
"Siapa pun yang kelak memimpin Saudi setelah
Raja Abdullah, negara itu tetap menjadi sahabat AS"
HANYA
sehari sebelum kedatangan Presiden Obama ke Riyadh (27/3), setelah menghadiri
KTT Nuklir di Den Haag, kabar mengejutkan datang dari Arab Saudi. Baru kali
ini terjadi dalam sejarah kerajaan itu sejak didirikan Raja Abdul Aziz bin
Abdurrahma al Saud tahun 1932, negara kaya minyak tersebut menunjuk wakil
putra mahkota. Dia Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz (69), putra bungsu yang
masih hidup dari Raja Abdul Aziz, dan kini tokoh ketiga dalam hierarki
kekuasaan.
Sebelumnya,
tidak pernah ada wakil putra mahkota. Dengan demikian Pangeran Muqrin menjadi
tokoh terpenting ketiga dalam hierarki kekuasaan, setelah Raja Abdullah bin
Abdul Aziz (90) dan putra mahkota Pangeran Salman bin Abdul Aziz (79). Sehari
kemudian (28/3) Obama ke Saudi bertemu Raja Abdullah bin Abdul Aziz dan putra
mahkota Pangeran Salman bin Abdul Aziz, didampingi wakil putra mahkota
Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz.
Kunjungan
Obama ke Riyadh itu memang cukup mengejutkan, pasalnya saat ini hubungan
bilateral Saudi dan AS paling buruk sejak keduanya bersahabat semasa era
Presiden Rossevelt dan Raja Abdul Aziz al Saud tahun 1940-an. Kondisi itu
disebabkan oleh kebijakan AS terhadap program nuklir Iran dan krisis Suriah
serta dukungannya terhadap Arab Spring yang ditentang oleh rezim di Riyadh.
Selama
ini AS selalu jadi payung keamanan bagi Saudi, yang menjadikannya bisa
bertahan lebih dari 8 dasa warsa. Pemerintahan monarki otoriter jelas
khawatir andai AS mencabut payung keamanan itu mengingat cepat atau lambat
umur rezim al Saud bisa berakhir diterjang badai Arab Spring. Itulah sebabnya
Saudi mendukung Jenderal Jenderal Abdel Fatah al-Sisi ketika mengudeta
Presiden Mohammed Mursi dan sekarang menetapkan Ikhwanul Muslimin (IM)
sebagai organisasi teroris, di samping Al Qaeda.
Kunjungan
Obama kali ini tambah bermakna mengingat makin dekatnya suksesi di Saudi
setelah penunjukan Pangeran Muqrin. Wafatnya putra mahkota Pangeran
Nayef bin Abdul Aziz di Jenewa Swiss
(2012) dan keterpilihan Menhan Pangeran Salman bin Abdul Aziz sebagai putra
mahkota, makin membuka pintu bagi suksesi di negara monarki Islam kaya minyak
tersebut.
Pasalnya,
Raja Abdullah bin Abdul Aziz (90) sakit-sakitan, bahkan tahun 2011 menjalani
operasi punggung di New York. Musyawarah Dewan Kesetiaan yang merupakan
majelis keluarga kerajaan terdiri atas para putra dan cucu senior Raja Abdul
Aziz, juga memilih Salman menjadi wakil perdana menteri, jabatan yang
ditinggalkan Pangeran Nayef.
Sementara
adiknya, Pangeran Ahmad bin Abdul Aziz yang semula wakil mendagri terpilih
menjadi mendagri, menggantikan Nayef dan posisi yang ditinggalkan digantikan
putra Pangeran Nayef, Muhammad bin Nayef. Dengan demikian, Salman menduduki
tiga jabatan penting di negara yang memiliki 25% cadangan minyak dunia, yakni
putra mahkota, menhan, dan wakil perdana menteri.
Janji Setia
Sejak
Raja Fahd bin Abdul Aziz terserang stroke
berat (1995) praktis secara de facto
putra mahkota Abdullah bin Abdul Aziz memerintah. Setelah Raja Fahd wafat
(2005) maka Raja Abdullah menggantikannya dan menunjuk Pangeran Sultan bin
Abdul Aziz menjadi putra mahkota meski sebenarnya menhan itu pesaing
politiknya.
Sesungguhnya
persaingan politik pewaris tahta Kerajaan Saudi dimulai pada 1 Agustus 2005,
ketika seluruh pangeran dari keluarga kerajaan yang berjumlah 23.000 orang
berjanji setia kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz. Raja Abdullah dikenal
taat pada Islam dan nilai-nilai tradisional Arab, sedangkan adik tirinya
Pangeran Sultan dikenal pro-Barat dan sekuler. Apalagi mereka juga berbeda
ibu dan kabilah, di mana Abdullah dari Kabilah al Jilwa dan Sultan dari
Kabilah al Sudairi yang dikenal dengan sebutan Sudairi Seven.
Siapa
yang memenangi suksesi menuju puncak kekuasaan andai sewaktu-waktu Raja
Abdullah wafat? Kabilah mana dari Dinasti al Saud yang bakal memimpin? Yang
jelas, setelah era Raja Abdullah, tampuk kekuasaan belum akan jatuh pada
generasi ketiga para cucu Raja Abdul Aziz, selama ada generasi kedua putra
Abdul Aziz yang masih hidup, sebagaimana wasiat pendiri Saudi tersebut.
Selain
itu, AS yang merupakan mitra strategis Saudi, ditambah Israel dan Iran yang
menjadi tetangga, sangat berkepentingan terhadap jalannya suksesi, yang
apakah berjalan secara damai? Ataukah menimbulkan gejolak politik sehingga
menggoyang sendi-sendi dinasti al Saud yang hampir 8 dasa warsa menguasai
wilayah Hejaz dan Nejed, yang kini menjadi Saudi.
Siapa
pun yang memimpin Saudi setelah Raja Abdullah, negara itu tetap menjadi
sahabat AS, dan terus menjalankan kebijakan stabilitas yang merupakan prinsip
fundamentalnya. Kebijakan energinya terhadap AS pun tak akan berubah, dan
sebagai imbalannya negara adikuasa tersebut tetap menjamin keamanan Saudi serta
keberlangsungan rezim al Saud hingga memasuki usia seabad tahun 2032. Itulah
makna kunjungan Obama ke Saudi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar