Membuat
Buruh Bangga
Danang Probotanoyo ; Centre for Indonesia
Reform Studies, Alumnus UGM
|
JAWA
POS, 30 April 2014
MUNGKIN
jarang ada anak di negeri ini yang bercita-cita menjadi buruh. Kalau toh
akhirnya jutaan orang "memburuh", mungkin karena nasib yang kurang
mujur. Ini bukan satir. Bukan pula pesimisme. Titik tolak asumsinya ada pada
dua hal yang melekat di diri buruh Indonesia, yakni: belum sejahteranya kehidupan
mereka serta ketidakpastian masa depan.
Lalu,
siapakah yang termasuk dalam lingkup untuk disebut buruh? Buruh adalah mereka
yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji atau mendapat upah berkat
jasa atau tenaga yang dikeluarkan (Muchtar
Pakpahan, 2010). Entah bagaimana ceritanya, makna buruh mengalami
penyusutan. Istilah buruh cenderung hanya merujuk pada pekerja di sektor
manufaktur, pabrik atau unit-unit usaha kecil lainnya. Itu pun masih
tersegmentasi: yang bertugas di belakang meja akan disebut staf atau
manajemen.
Akhirnya,
buruh diidentifikasi pada kelompok karyawan level bawah, karyawan yang diupah
karena aktivitas "fisik", strata pendidikan relatif tidak tinggi.
Karyawan swasta di belakang meja tidak pernah merasa dirinya sebagai bagian
dari buruh. Bahkan bisa jadi tidak mau disebut buruh. Mereka tidak paham atau
malah malu kalau disebut "buruh".
Secara
psikologis, kedudukan dan besaran pendapatan menuntun ego mereka untuk tidak
mau disebut "buruh". Terjadi kerancuan istilah yang bersifat psikologis:
buruh untuk menyebut pekerja level bawah, sedangkan di atasnya lebih nyaman
disebut "karyawan" atau "pegawai". Fragmentasi itu tidak
jarang menimbulkan friksi kepentingan. Buruh sebagai pekerja lapis bawah
kerap menyuarakan peningkatan kesejahteraan, sedangkan pekerja level atas
memiliki "tag name" manajemen perusahaan yang berdiri di belakang
pengusaha.
Tuntutan
buruh untuk sejahtera adalah klasik. Buruh merasa keringat mereka belum
dihargai. Dari catatan 2014, upah buruh berada di rentang UMR Rp 1,15 juta
(NTT) hingga Rp 2,4 juta (DKI). Dengan besaran tersebut, sangatlah sulit bagi
buruh untuk hidup sejahtera bersama keluarga.
Adagium
"kemiskinan akan melahirkan kemiskinan baru" pun menjadi sulit
dipecahkan. Merujuk pada studi Robert Chambers (1983), buruh mudah masuk
dalam deprivation trap atau jerat kemiskinan. Menurut Chambers, ada lima
jerat ketidakberuntungan itu. Yakni, kemiskinan, kelemahan fisik,
keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.
Dalam
konteks buruh, selain rendahnya upah (baca: kemiskinan), masalah
"kerentanan" menjadi problem krusial. Buruh rentan terperosok dalam
kubangan kemiskinan yang lebih dalam. Jelasnya, buruh rentan terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK). Penyebab PHK sangatlah kaya motif dan alasan.
Ada yang bernilai objektif maupun subjektif manajemen dan pengusaha.
Kebangkrutan, pabrik terbakar, atau relokasi usaha oleh pengusaha ke luar
negeri cukup menjadikan buruh kehilangan pekerjaan. Faktor like and dislike atasan atau sakit
berkepanjangan kerap mengintai buruh untuk "dikandangkan".
Akhirnya,
roda penggerak kemiskinan (poverty
rockets) akan bekerja mencetak kemiskinan yang baru. Pihak yang menyangkal
kondisi demikian kerap mengajukan argumen: adanya instrumen pesangon.
Ujung-ujungnya,
buruh yang kena PHK akan masuk ke usaha informal skala gurem. Menjadi
pengasong, PKL, atau dagang kecil-kecilan di teras rumah. Janganlah
membayangkan nilai pesangon buruh bak pekerja perminyakan atau manajer bank.
Pesangon golongan pekerja papan atas itu bila hanya diparkir sebagai deposito
cukup untuk hidup bulanan. Bila diputar sebagai modal usaha, bisa untuk
membuat sebuah minimarket atau kos-kosan.
"Kerentanan"
hidup buruh pun tidak ada dalam kamus hidup mereka yang bekerja sebagai PNS.
SK sebagai PNS sudah menjadi jaminan seumur hidup. Selain pendapatan per
bulan yang jauh melampaui buruh (struktur gaji, tunjangan, honor, plus
remunerasi), negara masih menjamin hidup PNS hingga meninggal. Fakta lain:
PNS nyaris mustahil dipecat! Bahkan, bila mereka terlibat korupsi, status
kepegawaiannya tidak secara otomatis hilang. Berkaca pada kasus beberapa PNS
di Riau dua tahun silam, selepas dari bui karena korupsi, mereka malah naik
jabatan.
Memang
tidak semudah membalik telapak tangan untuk memperbaiki nasib buruh. Perlu
dukungan pemerintah agar buruh hidup layak, syukur-syukur sejahtera. Caranya
tentu berpulang pada domain pemerintah terkait dengan regulasi usaha.
Reformasi birokrasi bila dijalankan dengan sebenar-benarnya bisa mengatrol
kesejahteraan buruh. Poinnya: hilangkan semua ekonomi biaya tinggi! Caranya,
membangun infrastruktur, memberikan kemudahan akses perizinan yang
serbacepat dan transparan, serta membabat habis pungutan liar terhadap
pengusaha.
Bila
semua itu bisa berjalan, niscaya pengusaha dapat mengalihkan dana yang cukup
besar bagi kesejahteraan para buruh. Dengan begitu, kelak buruh menjadi
profesi bermartabat karena ada kebanggaan (dignity), pengakuan (recognnition),
serta harga diri (self esteem). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar