Sisipan
Nama Jokowi pada UN
Maswan ; Dosen Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara,
Mahasiswa
S-3 Manajemen Pendidikan Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 25 April 2014
PENYISIPAN
nama Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam materi ujian nasional (UN)
mapel Bahasa Indonesia jenjang SMA dan sederajat mengundang pro dan kontra.
Wakil
Mendikbud Musliar Kasim berargumentasi keputusan menyisipkan nama itu dalam
soal ujian nasional sudah sesuai prosedur. Ia menunjuk penyisipan nama tokoh
lain dalam materi ujian yang sama, yakni Iwan Fals dan WS Rendra. Dalam
konferensi pers di kantor kementerian ia menjamin tak ada muatan politis.
Secara
terpisah, Jokowi merasa dijebak, bahkan ia menengarai ada pihak yang
menggiring opini publik seakan-akan dialah yang mendesain, dan bermuara pada
penjatuhan citranya sebagai capres (SM, 16/4/14). Wakil Mendikbud menjelaskan
pembuatan soal UN dilakukan sejak Juli hingga Oktober 2013. Dengan demikian,
keputusan menyisipkan nama Jokowi, sebagai salah satu tokoh nasional pada
materi itu, tak ada kaitannya dengan politik. Sebagai praktisi pendidikan dan
dosen mata kuliah Bahasa Indonesia, saya sependapat.
Hanya
secara kebetulan, Jokowi kini jadi capres dan saat ini masyarakat lagi
’’demam’’ pemilu. Penyusunan soal ujian nasional pasti dipersiapkan jauh hari
sebelumnya, sebagaimana dikatakan Wakil Mendikbud, dan waktu itu belum ada
tanda-tanda Jokowi akan dicapreskan partainya. Dalam proses penyusunan soal
UN, kapasitas Jokowi adalah gubernur DKI yang ketokohannya patut diteladani,
dan tentu itu tak bisa dikaitkan dengan perjalanannya yang kemudian menjadi
capres.
Penyusunan
draf soal ujian nasional biasanya dilakukan oleh tim dan setting akhirnya
dikoreksi sejumlah guru besar yang berkompeten dalam bidangnya. Draf yang
dikoreksi dan kemudian ditetapkan menjadi soal UN pun sudah disesuaikan
dengan materi pembelajaran, mendasarkan standar kompetensi lulusan (SKL).
Karena
itu, sebenarnya tidak ada persoalan dan tidak perlu mempersoalkan. Terlalu
banyak menghamburkan energi untuk membahas kasus itu, dan seyogianya serahkan
saja kepada guru Bahasa Indonesia untuk menganalisis-nya. Menanggapi soal
ujian nasional (UN) mapel Bahasa Indonesia yang memuat tokoh, sebenarnya
bukanlah suatu yang mengotori dunia pendidikan. Pendapat bahwa itu
pelanggaran, bahkan mengotori dunia pendidikan, mungkin karena belum memahami
esensi pendidikan, terutama mengenai pelajaran Bahasa Indonesia di
SMA/SMK/MA.
Dalam
mapel itu, memang ada materi yang membahas ketokohan, baik itu tokoh lokal,
nasional, maupun internasional. Pertanyaan atau pernyataan soal dalam UN dari
tahun ke tahun pasti ada penyebutan tokoh mengingat pengenalan tokoh menjadi
bagian dari standar kompetensi lulusan (SKL) dan itu sesuai dengan kurikulum.
Nilai Positif
Dalam
sejarah ujian nasional di Indonesia juga belum pernah ada protes kepada
pembuat soal ujian mengenai pembahasan soal tokoh yang dimunculkan.
Pertanyaannya adalah kenapa sekarang ada pihak yang ’’sangat memperhatikan,
peduli, sekaligus gerah’’berkait penyisipan nama Jokowi sebagai bagian dari
master soal UN SMA2014 ini? Rasanya terlalu naif mempersoalkan ketokohan
Jokowi.
Menjadikan
keteladanannya sebagai gubernur yang jujur dan selalu bekerja keras melalui
gaya blusukan sebagai teks wacana dalam soal ujian, adalah hal wajar.
Terlepas ada pihak yang mengaitkan dengan politik, ketokohan Jokowi yang
disisipkan dalam soal ujian nasional Bahasa Indonesia justru memberi nilai
positif. Pada mata anak Indonesia, terutama siswa SMA, tokoh itu layak
menjadi teladan.
Dengan
memahami sebagai tokoh jujur, selalu bekerja keras, dan peduli terhadap warga
maka bila siswa itu kelak menjadi pimpinan pasti akan meneladani tokoh
tersebut. Kemunculan nama Jokowi dalam soal UN SMA, mendapat protes oleh
komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh.
Sebenarnya, dia tidak mempunyai otoritas untuk mengkaji dan menilai tentang
keilmuan kebahasaan. Saya menilai ia terlalu berlebihan menyeret persoalan itu
ke ranah politik.
Seyogianya
ia menanggapi secara bijak, bahkan bangga ada tokoh yang dapat dijadikan
teladan bagi anak bangsa. Terlepas dari pro dan kontra yang melingkupi,
kemunculan ketokohan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta atau capres dari
PDIP, tentu mempunyai nilai plus dan minus.
Saya
tak akan memasuki ranah politik, hanya ingin memperjelas dunia pendidikan
kita terus mengumandangkan sikap keterbukaan, kejujuran, dan keteladanan.
Jokowi hanya nama salah satu tokoh dalam teks atau wacana, yang perlu dijawab
oleh peserta ujian nasional melalui beberapa opsi jawaban, dan tidak perlu
dipolitisasi oleh pihak lain.
Semoga
masyarakat bisa memahami bahwa dalam soal ujian nasional mapel Bahasa
Indonesia memang ada teks wacana tokoh. Nama Jokowi (dan beberapa tokoh lain)
hanya disebutkan sebagai tokoh teladan, tidak lebih dari itu, dan juga tidak
dikampanyekan sebagai capres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar