Menakar
Barisan Umat
Agus Wahid ; Peneliti di The Spirit Institute
|
KORAN
JAKARTA, 26 April 2014
Mari
melihat sejenak Pemilu 1999, yang kala itu, baju Islam terlalu sempit,
sehingga tak bisa menerima tawaran duduk atau memimpin partai Islam (PPP).
Yang muncul kemudian adalah partai dengan asas jauh dari aroma Islam.
Namun,
mencermati dinamika politik dua arus besar yang cukup mencekam saat itu–Asal
Bukan Habibie (ABH) dan Asal Bukan Mega (ABM)–muncullah Poros Tengah yang
jelas-jelas berbasis massa Islam. Gerakan ini berhasil mengantarkan almarhum
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI keempat melalui Sidang Umum
MPR 1999.
Kini,
pasca pemilu legislatif (pileg) 9 April lalu, sejumlah tokoh partai
nasionalis-sekuler kian unjuk gigi. Positioning-nya,
berdasarkan banyak survei, sangat mungkin menang. Maka,
tak sedikit pimpinan partai berbasis massa Islam berusaha merapat ke mereka
untuk mengincar posisi calon wakil presiden atau minimal menjadi bagian dari
kekuasaan dengan jatah menteri. Panorama politik yang
tergelar menggambarkan sejumlah pemimpin partai berbasis massa Islam tampak
“mengemis”.
Sikap
pragmatis ini dinilai sebagian tokoh Islam cukup merendahkan martabat
masyarakat Islam. Di sanalah, di antara elitis Islam tergerak, tidak
mungkinkah membangun barisan umat untuk mengusung capres-cawapres alternatif
berbasis massa Islam.
Menyitir
kembali sikap Amien Rais, sukses Poros Tengah “Jilid I” tak lagi relevan
diterapkan pada permainan politik saat ini. Landasannya, bukan hanya kurang
kondisional (tidak terlalu mencekam situasi pertentangan kubunya), tapi juga
ketiadaan figur yang bisa diterima semua elemen umat, minimal, partai-partai
berbasis Islam.
Cara
pandang Amien Rais bisa dinilai terlalu mengecilkan potensi umat sebab secara
kuantitatif dari hasil perolehan suara partai-partai berbasis massa Islam
masih prospektif. Kumpulan partai berbasis Islam, sementara, memperoleh 30,31
persen suara.
Ini
sesungguhnya bisa menjadi alat tawar (bargaining
position) dengan partai-partai nasionalis-sekuler. Ini bukan hanya untuk
cawapres, tapi bisa mengajukan capres. Bahkan, jika barisan umat mendayagunakan
kekuatan internalnya bisa menjadi faktor pengimbang bagi kompetitor dari
unsur nasionalis-sekuler tersebut.
Prospek
kemenangannya perlu dicermati dari beberapa variabel. Jika satu putaran, maka
barisan nasionalis-sekuler terpecah bisa terdiri dari PDIP, Gerindra, Golkar,
dan Nasdem. Hal ini akan menguntungkan faksi umat yang bisa mengambil manfaat
politik jika partai-partai berbasis Islam berhasil menyatukan pendirian
politik. Soliditas barisan umat memberi harapan konstruktif.
Jika
satu putaran, peluangnya cukup berat, terkait ketentuan UU (keharusan
mencapaian 50 persen+1). Namun demikian, tetap ada peluang didasarkan pada
analisis kumpulan suara partai-partai berbasis Islam, ditambah bila ada suara
nyempal dari golongan nasionalis-sekuler.
Sukses
politik pada putaran pertama akan menjadi modalitas yang cukup menguntungkan
barisan umat. Minimal, posisi tawarnya lebih kuat, bahkan lebih tinggi
dibanding partai nasionalis-sekuler.
Kendala
Namun,
sukses politik barisan umat sangat tergantung pada kearifan para pemimpin.
Hanya, sebagaimana dikatakan Amien Rais, tidak adanya tokoh umat yang bisa
mempersatukan partai-partai berbasis Islam, akan menjadi kendala serius.
Setidaknya,
akan muncul egosentris dari tiap-tiap partai berbasis Islam, didasarkan
perolehan suara, kapasitas, kapabilitas, serta prasyarat lain. Debat “usil”
akan mewarnai dan tiap-tiap partai akan mendahulukan kepentingan sempitnya.
Inilah problem akutnya.
Pilihan
konvensi juga tidak mungkin karena sudah mepet. Yang lebih mungkin adalah
musyawarah nasional umat Islam. Tapi, itu pun perlu dipertanyakan bobot
keterikatannya dari hasil musyawarah.
Karena
itu, sikap arif yang perlu dibangun adalah mendegradasikan kepentingan sempit
kelompok. Setelah itu, menentukan pilihan dengan bijak di antara tokoh dari
partai-partai berbasis massa Islam atau di luar partai, tanpa memandang latar
belakang catatan kelompok atau partai.
Banyak
tokoh nasional bernama besar yang mumpuni dan potensial diterima berbagai
pihak. Ketika ego tiap-tiap elitis bisa dikendalikan, kendala yang sangat
mendasar ini bisa diatasi.
Kini,
masalah yang jauh lebih krusial, strategi pemenangan sering hanya untuk
perebuatan kekuasaan. Sungguh naïf jika tekadnya memang seperti itu. Di
sanalah masyarakat harus menggarisbawahi kriteria kandidat. Dia bukan hanya
tinggi tingkat elektabilitasnya, tapi juga mumpuni untuk membawa bangsa dan
negeri ini menjadi jauh lebih baik.
Bahkan,
karakter lainnya seperti integritas dan kejujuran, juga kepribadian yang
sederhana menjadi prasyarat yang tidak boleh diabaikan. Integralitas sejumlah
kepribadian konstruktif itu haruslah benar-benar menonjol. Ini semua
diperlukan untuk membenahi berbagai kondisi yang sudah sangat memprihatinkan.
Urgensinya,
agar rakyat merasa negara itu memang ada. Negara adalah tempat berpijak dan
merasakan kemerdekaan. Ada dignitas yang dirasakan sebagai bangsa. Juga akan
terhindari dari aksi “melacur” kepada bangsa lain. Ini semua berarti pemimpin
bukan hanya visioner, tapi kuat tekadnya untuk mewujudkan Indonesia yang jauh
lebih baik.
Membaca
kepentingan Indonesia ke depan, maka massa dapat memahami muncullah isu
format Poros Indonesia Raya.
Pemikiran ini lebih terbuka dan lebih luas spektrumnya. Ini bisa menjaring
seluruh elemen elitis, baik dari barisan umat maupun lainnya. Yang
terpenting, peranan tokoh (capres-cawapres) mampu menjalankan amanat rakyat
dan negara.
Inilah
pertanggungjawaban moral tokoh yang harus dipertaruhkan. Karena itu, sungguh
naif jika tekad merapatkan barisan umat hanya untuk memperebutkan kekusaan.
Jika begitu, ini justru akan menjadi noda besar dan krisis kepercayaan serius
bagi umat Islam. Pemimpin harus menjalankan amanat dengan penuh dedikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar