Memilih
yang Bermasalah
Donal Fariz ; Anggota Badan Pekerja
Indonesia Corruption Watch,
Divisi Korupsi Politik
|
KOMPAS,
30 April 2014
Sejumlah
petahana DPR ”bermasalah” diprediksi kembali berlabuh di Senayan. Kondisi ini menjadi alarm bahaya bagi upaya
pemberantasan korupsi, khususnya bagi KPK.
Meski
KPU belum secara resmi mengumumkan perolehan kursi hasil Pemilu 2014,
sejumlah caleg petahana diprediksi
kembali bertahan. Asumsi tetap bertahan diperoleh dari penghitungan
suara sementara yang bersangkutan di daerah pemilihannya yang dirasa cukup untuk memperoleh kursi
berdasarkan bilangan pembagi pemilih (BPP). Penilaian bermasalah ini muncul
dari dugaan keterlibatan sejumlah politisi yang namanya disebut dalam fakta
persidangan menerima suap dalam perkara tertentu, hingga politisi yang pernah
dijatuhi sanksi hukuman oleh Badan Kehormatan DPR karena pernah memeras
sejumlah BUMN beberapa waktu lalu.
Kembalinya
para politisi bermasalah itu menunjukkan sebuah realitas di mana pemilu
sebagai momentum sirkulasi elite belum bekerja sebagaimana mestinya. Padahal,
dalam konteks demokrasi langsung, rakyat berkuasa untuk menentukan siapa
wakil-wakil mereka. Siapa yang tetap diberikan amanah dan siapa yang harus
disingkirkan karena tidak lagi amanah.
Peta masalah
Dengan
kemungkinan terpilihnya lagi caleg bermasalah tentu menghadirkan sebuah tanda
tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pemilih (voters) tentu tidak bisa dikambinghitamkan
dan dijadikan satu-satunya tersangka dalam persoalan ini.
Dari
hasil kajian pemilu dan pemantauan praktik politik uang di 15 provinsi dalam
pemilu legislatif yang lalu, Indonesia
Corruption Watch mencoba untuk memetakan persoalan itu. Ternyata permasalahannya sangat kompleks
dari hulu hingga hilir.
Empat masalah besar
Setidaknya
ada empat permasalahan besar. Pertama, kandidasi di internal partai yang
buruk. Persoalan korupsi yang menjadi
pemberitaan setiap hari tentu membuat partai tidak bisa beralasan bahwa
kandidat yang mereka ajukan menjadi caleg adalah kandidat yang kontroversial
sejak awal. Namun, partai yang pragmatis tidak peduli permasalahan demikian.
Sebab, bagi partai, yang paling penting kandidat tersebut bisa memberikan modal
kapital yang kuat kepada partai berupa uang dan suara.
Semakin
tidak tergoyahkan posisi caleg bermasalah tersebut karena mayoritas mereka
memiliki posisi tawar strategis di internal partai masing-masing. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan
konteks terpilihnya caleg bermasalah di atas, semua ini tak terlepas dari
organisasi partai yang memberikan daftar nama (name list) bermasalah kepada masyarakat untuk dipilih.
Kedua,
caleg petahana punya modal kapital yang kuat. Bukan hanya modal uang pribadi,
caleg petahana tersebut cenderung bisa mengarahkan program-program pemerintah
ke daerah pemilihan yang bersangkutan menjelang pemilu sehingga caleg itu bak
dewa yang muncul cepat dan sesaat membantu mewujudkan keinginan warga. Dengan
akses kepada menteri atau lembaga tertentu, caleg tersebut dapat melakukan
kampanye dengan modal negara (state
resources).
Ketiga,
caleg petahana bermasalah membangun akses kepada penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu tersebut bukan hanya di tingkat pusat, melainkan juga pada
tingkat paling bawah sekalipun. Bahkan, sejumlah caleg petahana sudah
mempersiapkan orang-orangnya untuk ”ditanam” di KPU, Bawaslu/Panwaslu
jauh-jauh hari sebelum pemilu diselenggarakan.
Kolusi
dengan penyelenggara pemilu tingkat bawah amat penting mereka lakukan apabila
perolehan suara tak sesuai target. Maka, geser-menggeser perolehan suara dan
manipulasi data di kertas C1 menjadi langkah curang agar tetap duduk. Agar
lebih mudah dan lebih aman, kandidat tersebut menggunakan jasa vote broker
(Daniel Bumke).
Keempat,
menguasai dapil-dapil dengan ekonomi warga yang mayoritas menengah-ke bawah.
Jika melihat sejumlah petahana bermasalah yang mungkin kembali terpilih,
kebanyakan mereka berasal dari dapil yang mayoritas masyarakatnya berada
dalam kelompok golongan ekonomi menengah ke bawah. Pada dasarnya praktik
politik uang sangat masif dilakukan para kandidat dalam berbagai bentuk dan
pola. Namun, kelompok menengah ke bawah dengan pendidikan rendah akan semakin
rentan untuk disusupi dengan praktik jual-beli suara. Kondisi ini yang
disinyalir dimanfaatkan sejumlah petahana yang kembali lagi terpilih.
Sinyal bahaya
Kemungkinan
terpilihnya sejumlah caleg bermasalah tentu menjadi sinyal bahaya bagi
pemberantasan korupsi, khususnya bagi KPK secara kelembagaan. Geliat
pelemahan lembaga pemberantasan korupsi akan terus berlanjut. Salah satu yang
akan terus dilakukan melalui revisi KUHAP yang terus berproses walaupun sarat
dengan penolakan dari masyarakat.
Di
samping itu, akibat maraknya kecurangan dan politik uang yang terjadi dalam
pemilu kali ini membuat kandidat
menguras kas mereka habis-habisan. Ujung-ujungnya biaya politik pemilu
tahun ini amat tinggi dan sudah pasti akan dikembalikan lagi pada saat
berkuasa.
Proses
ini menunjukkan bahwa korupsi pemilu menjadi akar dari maraknya berbagi kasus
korupsi yang melibatkan politisi selama ini, baik itu dengan cara menjadi
makelar proyek maupun calo anggaran saat menjabat. Alhasil potensi terjadinya
korupsi DPR periode 2014-2019 diprediksi kian meningkat. Rumusnya sederhana,
semakin banyak yang dikeluarkan dalam pemilu maka akan semakin banyak yang
harus dikembalikan. Ujung-ujungnya akan semakin banyak pula praktik korupsi terjadi.
Sinyal
bahaya ini harus direspons cepat oleh KPK. KPK tentu sudah bisa mengidentifikasi
titik-titik kebocoran anggaran dan proyek selama ini di DPR, berkaca dari
sejumlah kasus yang mereka tangani. Maka, sektor-sektor tersebut harus
menjadi prioritas pengawalan bagi KPK setidaknya untuk lima tahun mendatang
sebagai langkah pencegahan (prevention).
Suka
tidak suka, kembalinya caleg bermasalah ke Senayan harus diterima sebagai
realitas politik. Beban KPK akan bertambah berat. Tagline ”Pilih yang Jujur” sebagai ajakan KPK
kepada masyarakat menjelang pemilu yang lalu agaknya belum berhasil.
Kenyataannya partai dan rakyat masih ”Pilih yang Bermasalah”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar