Memaknai
Koalisi
Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 26 April 2014
PESTA demokrasi untuk memilih
anggota parlementelah usai. Hasil quick
count mengundang banyak tafsir, dari Jokowi effect sampai menguatnya
suara dari partai menengah. Hasil pemilu juga dianggap sangat berpengaruh
bagi konstelasi isu berikutnya, yakni koalisi.
Pertanyaan mengarah kepada
berapa kemungkinan poros koalisi yang akan muncul. PDIP, Golkar, dan Gerindra
disebut-sebut akan menjadi poros pusat mengingat mereka sudah memiliki nama
capres dan posisi yang cukup kuat di pemilu legislatif. Menguatnya suara
partai menengah juga menimbulkan spekulasi akan dimunculkannya poros keempat
yang akan mengusung nama capres sendiri.
Berapa pun poros koalisi yang
akan muncul, semuanya berorientasi pada satu hal; keinginan untuk ikut
menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif. Semua partai berupaya mendekati atau
didekati oleh calon presiden. Bisa dipastikan, silaturahim partai dengan
capres akan jadi bahan konsumsi yang paling sering terlihat di media dalam
sebulan mendatang.
Di sisi lain, semua capres
berbicara mengenai pentingnya stabilitas pemerintahan. Sistem presidensial
dikaitkan dengan kebutuhan adanya dukungan parlemen yang kuat. Sebuah kalimat
yang selalu digunakan oleh calon-calon presiden di pemilu-pemilu sebelumnya.
Yang sayangnya tidak pernah berujung pada stabilitas pemerintahan yang mereka
rencanakan.
Lihat bagaimana seorang SBY dan
Partai Demokrat harus berkali-kali menghadapi kekalahan dalam paripurna hak
angket Century dan penaikan harga BBM. Kekuatan 75,34% koalisi terbukti hanya
menjadi beban yang melahirkan kabinet politik tanpa sanggup membayar harga
yang disebut dengan stabilitas pemerintahan. Bahkan untuk melakukan sebuah
proses reshuffle, kabinet yang merupakan hak prerogatifnya pun, seorang
presiden harus melakukan konferensi pers bersama dengan enam ketua parpol
koalisinya.
Perlu dilakukan rekonstruksi
dari apa yang dinamakan `koalisi'. Perlu dipertanyakan, apakah koalisi yang
dibangun di dalam sistem politik kita sudah berfungsi sebagai penopang (support system), atau jangan-jangan
malah berpotensi menghancurkan sistem itu sendiri.
Koalisi salah arah
Koalisi sendiri sebenarnya
adalah sebuah konsep yang lebih melekat dengan sistem pemerintahan
parlementer. Koalisi dibutuhkan demi kepentingan stabilitas pemerintahan yang
memang bergantung pada suara parlemen. Hal itu terjadi mengingat kepala
pemerintahan dalam sistem parlementer diangkat dan bisa diberhentikan (mosi
tidak percaya) oleh parlemen (Ranadireksa, 2007).
Sementara itu, di dalam sistem
presidensial, koalisi sebenarnya adalah sebuah `keterpaksaan' yang disebabkan
adanya ambiguitas sistem. Ambiguitas itu bisa disebabkan adanya sistem pemilu
dan kepartaian yang tidak berjalan dalam logika presidensial. Sistem pemilu
presiden yang dilakukan pascapemilu legislatif secara tidak langsung memaksa
calon presiden untuk membangun koalisi dengan partai-partai yang ada. Selain
itu, keberadaan sistem multipartai yang men-'diversifikasi' kekuatan di
parlemen juga mendorong dibentuknya koalisi demi terbentuknya kekuasaan
mayoritas.
Kondisi yang mirip juga terjadi
beberapa negara Amerika Latin pada masa 1970 s/d 1990-an. Banyaknya jumlah
partai memaksa dibentuknya koalisi yang biasanya dibangun berdasarkan
kesamaan platform. Hal itu merupakan turunan dari apa yang disebut Arend
Liptjhard sebagai sebuah demokrasi konsensus (Liptjhart, 1977).
Rumus itu sayangnya digunakan dengan
metode yang kurang tepat oleh pemerintah terpilih Indonesia pascareformasi.
Dengan mengatasnamakan sistem presidensial, presiden terpilih malah
menenggelamkan dirinya dalam sistem pemerintahan dengan cita rasa parlementer
yang memberikan ruang terlalu besar buat partai politik. Koalisi yang
dibangun yaitu `koalisi timpang' yang berpotensi merusak proses check and balances dalam sebuah sistem
politik.
Koalisi timpang itu menempatkan
perikatan antardua subjek yang memiliki otoritas berbeda. Kontrak koalisi
dilakukan antara presiden sebagai pemegang otoritas lembaga eksekutif dan
partai sebagai pemegang otoritas lembaga legislatif. Hal itu tentu saja
melanggar prinsip adanya kekuasaan yang terpisah yang menjadi salah satu ciri
dari sistem presidensial (Linz, 1992). Koalisi hanya boleh dilakukan
antarpartai demi mewujudkan kekuatan mayoritas di parlemen.
Konsep koalisi timpang itu
secara tidak langsung akan menempatkan otoritas presiden sebagai turunan dari
kesepakatan politik partai. Tidak sepatutnyalah seorang kepala negara dan
pemerintahan menempatkan dirinya sebagai `makhluk politik' dalam posisi
sejajar dengan ketua parpol dalam suatu wadah, padahal otoritasnya sendiri
didapatkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Secara praktis, koalisi timpang
juga akan menyulitkan partai pemimpin koalisi dalam menjaga wibawa
politiknya. Partai pemimpin koalisi tidak memiliki otoritas untuk bisa
menempatkan dirinya sebagai `pemimpin' dalam melakukan manajemen koalisi. Hal
itu jelas terlihat dalam pernyataan Partai Golkar dan PKS di koalisi pemerintahan
SBY Boediono yang menyatakan bahwa mereka hanya melakukan koalisi dengan
presiden, bukan dengan Demokrat.
Check and balances
Kontrak politik bisa dilakukan
antaraktor dalam satu wilayah otorititas tanpa bersinggungan (overlapping) dengan lembaga lainnya. Kekuasaan
lembaga legislatif dan eksekutif harus tetap berdiri independen mengingat
keduanya dipilih langsung oleh masyarakat.
Secara sistemis, kontrak politik
presiden dengan menterinya (termasuk menteri parpol) hanya boleh terjadi di
level eksekutif. Kontrak politik yang dimaksud di sini ialah pakta integritas
dan kontrak kerja dengan para menteri dari parpol. Kontrak itulah yang
kemudian jadi dasar penilaian seorang presiden terhadap menterinya tanpa bergantung
pada koalisi yang terjadi di legislatif.
Di sisi lain, koalisi
antarparpol di legislatif bisa lebih fokus menjalankan fungsinya tanpa juga
harus terikat pada keberadaan kaderkadernya di kabinet. Kesepakatan dalam
kontrak politik koalisi bisa diturunkan secara detail sesuai dengan ketiga
fungsi yang dimiliki parlemen.
Sebagai contoh dalam fungsi
legislasi, detail kesepakatan dapat diturunkan dari apa yang menjadi
prolegnas selama setahun. Dari situ akan terlihat RUU mana yang bersifat
strategis dan berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat di antara mereka.
Hal-hal tersebutlah yang akan menjadi skala prioritas pembahasan rapat-rapat
rutin yang ada di koalisi.
Selain itu, bisa juga diatur bagaimana
mekanisme pengambilan keputusan yang harus ditaati anggota koalisi, termasuk
apabila ada perbedaan di antara mereka. Hal itu bisa menjadi kode etik yang
akan menghindarkan terjadinya konflik terbuka di hadapan publik.
Melalui pemisahan yang jelas
seperti itulah, dialektika pengambilan kebijakan di eksekutif dan legislatif
dapat berjalan dengan baik. Sebuah dialektika yang didasarkan pada
ikatan-ikatan yang tidak mengganggu proses check and balances antarlembaga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar