Urgensi
dan Dilema Pengamanan Sekolah
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik
The
University of Melbourne Anggota World Society of Victimology
|
KORAN
SINDO, 26 April 2014
Terungkapnya
nama William Vahey sebagai bekas guru di Jakarta
International School (JIS) membuka babak baru—babak sangat
mengkhawatirkan— dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak di sekolah
tersebut. Dari yang semula berupa kasus kekerasan seksual terhadap anak, kini
mencakup pula kasus pedofilia.
Bahwa
monster pedofil melanglang buana di seluruh permukaan bumi, tidak terlalu
mengejutkan. Sudah sejak beberapa waktu lalu mengemuka sinyalemen bahwa
jaringan pedofil internasional juga telah masuk ke Indonesia. Namun, pedofil
bernama William Vahey berhasil bekerja di sekolah internasional ”sekaliber”
JIS, tak pelak membuat gempar bukan alang-kepalang. Dengan menyandang sebutan
sebagai sekolah internasional sedemikian rupa, patut untuk diasumsikan bahwa
JIS menerapkan aturan ketat dalam proses perekrutan karyawannya.
Baik karyawan
tetap, kontrak, maupun alih daya (outsourcing),
semuanya dianggap harus melalui proses clearance.
Melewati prosedur tersebut, seluruh karyawan dipastikan tidak memiliki
riwayat kesehatan dan riwayat kejahatan yang tergolong serius sehingga dapat
berdampak buruk terhadap para siswa. Anggapan tersebut ternyata keliru.
Vahey, dengan riwayat abnormalitas psikologisnya yang sangat ekstrem dan
riwayat kejahatannya yang tergolong mengkhawatirkan pada level global,
ternyata berhasil menjadi guru di JIS. Keberhasilan Vahey masuk ke JIS bisa
disebabkan oleh banyak kemungkinan.
Pertama,
Vahey sangat mahir sehingga mampu mengelabui sistem clearance JIS. Kedua, JIS
tidak memiliki mekanisme penelusuran rekam jejak calon karyawannya. Ketiga,
ini yang paling mengerikan, jaringan pedofil internasional telah berhasil
menyusup dan merecoki sistem clearance
JIS. Polri mutlak perlu menelaah lebih jauh dalam rangka membuktikan
sinyalemen adanya jaringan pedofil internasional di Indonesia sekaligus
membongkar modus mereka. Tragedi JIS menjadi momentum bagi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk memperluas cakupan akreditasi
sekolah.
Selama
ini, dari sekian banyak borang atau unsur yang ditakar dalam proses
akreditasi oleh Kemendikbud, tidak terlihat ada satu borang pun yang secara
khusus membahas kemampuan sekolah menjadikan lingkungannya steril dari tindak
kejahatan dan pelanggaran hukum. Padahal, menyadari bahwa peristiwa
perundungan, perkelahian, pelecehan seksual, penganiayaan, dan aksi-aksi
kekerasan lain terjadi kian marak di banyak sekolah, maka sudah sepatutnya
Kemendikbud mendorong setiap sekolah untuk mengambil langkah lebih serius
lagi agar sekolah benarbenar mampu menjadi sentra pendidikan yang aman.
Borang
akreditasi bahkan perlu dijadikan sebagai unsur penentu. Artinya, betapa pun
sekolah terukur unggul pada borang-borang
lain, namun apabila sekolah gagal memenuhi borang kunci tersebut, maka sekolah dikenakan satu dari tiga
konsekuensi tergantung tinggi rendahnya tingkat kegagalan. Mulai dari penurunan
status akreditasi, pembekuan akreditasi, sampai pencabutan akreditasi. Borang
kunci ini akan menjadikan akreditasi bukan lagi semata-mata domain pendidikan
dan kebudayaan. Karena keamanan merupakan wilayah kerja kepolisian, maka
lembaga ini nantinya akan terlibat secara langsung dalam proses akreditasi
sekolah.
Tentu,
tidak sebatas berkedudukan sebagai penilai (assessor), institusi kepolisian pun berperan sebagai konsultan
yang dirujuk secara berkala oleh masing-masing sekolah agar poin-poin dalam
borang kunci dapat terpenuhi. Pelibatan kepolisian dalam proses akreditasi
sekolah sekaligus bermanfaat untuk memastikan bahwa tenaga alih daya di
bidang pengamanan yang dikontrak oleh sekolah benar-benar bekerja secara
lebih profesional. Sebagai ilustrasi, banyak sekolah elite di Jakarta
menempatkan tenaga sekuriti alih daya di gerbang sekolah.
Bersenjatakan
alat pendeteksi metal dan cermin untuk memeriksa bagian bawah mobil, personel
keamanan tersebut memeriksa setiap kendaraan yang memasuki pekarangan
sekolah. Kendati tampak meyakinkan, prosedur pengamanan sedemikian rupa
dikhawatirkan tidak tepat sasaran. Pertanyaannya, benarkah bahwa aksi
serangan bom merupakan potensi ancaman terbesar terhadap keamanan sekolah-sekolah
tersebut, sehingga petugas keamanan harus melakukan prosedur pemeriksaan
dengan metal detector dan cermin? Jadi, alih-alih memberikan jasa sekuriti
yang efektif,
standar
pengamanan yang dilakukan perusahaan penyedia tenaga alih daya sangat mungkin
bekerja tanpa didahului dengan pengidentifikasian terhadap ancaman bahaya
yang benarbenar potensial dihadapi masing-masing sekolah. Menganalisa potensi
bahaya jelas bukan merupakan aktivitas sepele. Hanya organisasi profesional,
dalam hal ini kepolisian, yang paling layak diasumsikan sebagai satu-satunya
pihak yang mempunyai legitimasi berupa penguasaan terbaik di bidang
pembangunan sistem keamanan. Termasuk keamanan di sekolah.
Keamanan atau Rasa Aman
Tragedi
JIS membuka katup kesadaran sekolah-sekolah akan pentingnya manajemen
keamanan di lingkungan mereka. Meski kesadaran macam itu baik, perhatian
eksesif terhadap isu keamanan malah bisa berefek kontraproduktif. Pasalnya,
merujuk sejumlah riset, sekolah yang aman—dalam pengertian bebas dari tindak
kejahatan—tidak serta-merta memunculkan perasaan aman. Langkah-langkah
pengamanan ekstra yang diambil sekolah juga berekses mendatangkan kegelisahan
di kalangan siswa dan orangtua mereka. Murid bisa mengalami peningkatan rasa
waswas, sementara pada saat yang sama tidak tersedia pihak yang sungguh-
sungguh siap meredakan ketegangan masif itu.
Suasana
sekolah yang menjadi ”serbadingin” juga merusak kenyamanan dan ketenteraman
para pemangku kepentingan lainnya. Orangtua kehilangan rasa percaya pada
sekolah, sekolah merasa terintimidasi oleh orangtua, siswa diarahkan oleh
orangtua untuk lebih berhati-hati terhadap siapa pun di sekolah, sesama guru
pun menaruh kecurigaan satu sama lain. Nickerson dan Martens (2008) serta
Mayer dan Leaone (1999) bahkan menemukan, strategi ekstra untuk mengamankan
sekolah justru berasosiasi dengan lebih seringnya insiden kejahatan dan
kejadian gangguan keamanan lainnya di sekolah.
Gambaran
tersebut menunjukkan bahwa, secara ironis, ketenteraman justru tergerus oleh
standar pengamanan yang coba diinisiatifkan oleh pihak sekolah sendiri.
Dengan kata lain, sekali lagi, keamanan tidak mutlak paralel dengan perasaan
aman. Manakala iklim sekolah sudah bercirikan ketidaktenteraman seperti itu,
niscaya sekolah tidak lagi kondusif untuk aktivitas belajarmengajar. Jika
dipaksakan untuk tetap menjalankan aktivitas pendidikan, sekolah akan
beroperasi secara disfungsional.
Dilema
antara keamanan pada satu sisi dan ketenteraman serta kelancaran belajar-mengajar
pada sisi lain menunjukkan bahwa persepsi siswa bisa berseberangan dengan
intuisi pihak sekolah. Atas dasar itu, patut diberi garis bawah bahwa apa pun
strategi pengamanan yang dibangun sekolah, semuanya tetap harus memasukkan
perspektif siswa sebagai subjek, bukan sebagai objek. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar