Pergerakan
Buruh Indonesia
Rekson Silaban ; ILO Governing Body
|
KOMPAS,
30 April 2014
Perayaan
Hari Buruh 1 Mei ini akan menjadi demo buruh terakhir bagi pemerintahan Presiden
Yudhoyono.
Tanggal
1 Mei ini sekaligus juga menjadi perayaan pertama Hari Buruh dengan status
libur resmi, setelah tahun lalu 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur resmi
nasional sebagaimana pada era Orde Lama.
Pada
perayaan Hari Buruh di masa lalu, Bung Karno, yang selalu hadir dalam
perayaan Hari Buruh, menyatakan, perjuangan politik paling minimum gerakan
buruh adalah mempertahankan politieke
toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh
bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke toestand ini memberikan
ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat.
Selanjutnya
Bung Karno mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni
proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan
melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat
buruh, menggelar kursuskursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan,
mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya.
Gerakan
buruh Indonesia telah sampai pada tahap politieke
toestand, tetapi Soekarno pasti akan kecewa karena kebebasan berserikat
yang dimiliki buruh, bukannya dimanfaatkan untuk memasuki fase lanjutan machtsvorming, tetapi dilakoni dengan
mendirikan banyak organisasi buruh, berlomba-lomba menjadi pemimpin buruh.
Kekalahan dalam kongres direspons dengan membentuk serikat baru dengan
membawa pendukungnya keluar dari organisasi yang telah lama membesarkannya.
Pemimpin baru yang belum matang ini selanjutnya menghadapi masalah
pengerdilan diri sendiri (self-destruction).
Perpecahan
organisasi buruh menjadi titik lemah perjuangan buruh Indonesia. Agenda besar
untuk menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan penyeimbang atas kapitalisme
bisa tersingkir akibat menurunnya kekuatan anggota, pengaruh politik, dan
kemampuan finansial.
Secara
keseluruhan gerakan buruh Indonesia lima tahun terakhir memang bertumbuh
pesat. Bahkan, di Asia, Indonesia mendapat pengakuan sebagai yang berkembang
pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan
upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian
bagus. Sayangnya keberhasilan ini belakangan mulai memudar akibat
berlanjutnya fragmentasi organisasi buruh.
Hampir
semua serikat buruh mengalami perpecahan akibat kegagalan mengelola konflik
internal organisasi, mengedepankan egoisme, dan menjauh dari pusaran
penyatuan gerakan (sentrifugal). Tentu saja bukan ini yang dicita-citakan
Soekarno, almarhum Marsinah, dan kaum buruh yang menanti perubahan nasib.
Gelombang ketiga gerakan buruh
Dalam
sejarah gerakan buruh internasional, gerakan buruh di Eropa dan Amerika akhir
1800-an dinobatkan sebagai generasi awal pengakuan gerakan buruh sebagai
kekuatan penyimbang keserakahan kaum kapitalis. Dari era inilah lahir sistem
jaminan sosial, upah minimum, Hari Buruh (May
Day), pembatasan jam kerja, jaminan keselamatan kerja, serta perundingan
bipartit dan tripartit.
Melalui
perundingan dan tekanan politik, serikat buruh menjadi lembaga yang berperan
dalam distribusi ekonomi di luar mekanisme pajak. Sejarah telah mengajarkan,
perbaikan nasib buruh tidak pernah datang dari niat baik pemilik modal atau
pemerintah yang baik. Seperti keyakinan Bung Karno bahwa perbaikan nasib bagi
kaum buruh, termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, hanya mungkin
terjadi jika gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa
pengusaha. Tanpa melakukan desakan yang kuat pengusaha akan bergeming.
Generasi
kedua gelombang gerakan buruh dunia terjadi di Brasil, Korea Selatan, Jepang,
Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan yang dimulai pada era 1970-1980-an.
Sebagai generasi kedua yang mengikuti jejak generasi awal, mereka berhasil
melembagakan apa yang telah terjadi di Eropa. Secara kebetulan momentum
ekonomi-politik di negara ini tersedia dengan tingginya pertumbuhan ekonomi,
meluasnya industrialisasi, dan demokrasi yang melembaga. Akhirnya jadilah
mereka pewaris keberhasilan gerakan buruh di Eropa. Dunia terus berubah
dengan lahirnya negara-negara dengan kekuatan ekonomi baru.
Jauh dari harapan
Satu hal
yang dinantikan gerakan buruh internasional adalah lahirnya gelombang ketiga
gerakan buruh di negara berkembang ini. Tidak hanya dalam bentuk sebuah
institusi, tetapi juga gerakan buruh sebagai garda utama pembela kepentingan
buruh, mitra pengusaha dan pemerintah, memiliki kompetensi berimbang, punya
kapasitas menawarkan alternatif kebijakan ekonomi, memiliki pengaruh dan lobi
politik, profesional, dan tidak memintaminta jabatan dan uang. Mengingat Indonesia
anggota kelompok G-20, serikat buruh dunia menolehkan pandangannya ke
Indonesia. Menanti dimulainya sejarah baru yang diharapkan menggelinding
seperti bola salju ke negara lain.
Harapan
itu sebenarnya tidak berlebihan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang
terus membaik, urutan ke-13 dunia dalam besaran PDB, negara demokrasi keempat
terbesar, dan telah meratifikasi konvensi penting ILO 87 tentang jaminan
kebebasan berserikat. Kondisi yang tidak tersedia di negara tetangga. Bahkan,
Tiongkok, India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam belum mau meratifikasi
konvensi ILO 87 karena khawatir kehadiran serikat buruh yang kuat akan
mengurangi kemampuan kompetitif ekonomi dan mendestabilitasi politik
domestik.
Padahal,
pengalaman internasional dan laporan OECD dari tahun ke tahun menunjukkan,
serikat buruh yang kuat berkontribusi terhadap menurunnya ketimpangan ekonomi
dan pendapatan, memperkuat hubungan industrial yang damai, mengurangi jumlah
demo, dan memperkuat demokrasi. Lihatlah negara yang memiliki tradisi serikat
buruh kuat seperti Jerman, Inggris, negara Skandinavia, Jepang, Brasil, dan
Australia, pasti memiliki rasio gini untuk ketimpangan yang kecil, demokrasi
stabil, demo buruh pun nyaris tidak pernah terjadi. Apalagi demo yang
berkaitan dengan upah minimum.
Sayangnya
harapan dunia atas hal itu masih jauh harapan. Gerakan buruh Indonesia saat
ini masih berkutat di atas tuntutan-tuntutan mikroekonomik, seperti upah
minimum, kasus advokasi, tuntutan normatif, dan perebutan jabatan. Ini
mungkin akibat minimnya kapasitas mereka memasuki wilayah isu makro,
mengajukan alternatif sesuai pengalaman internasional, atau menjadikan
pelanggaran kebebasan berserikat sebagai ”kambing hitam”. Mereka akan kaget
dengan fakta kebebasan berserikat di Indonesia salah satu yang paling liberal
di dunia karena setiap saat bisa mendirikan serikat tanpa pernah diverifikasi
atas kebenaran jumlah anggota, cakupannya, dan aktivitasnya, dan setiap waktu
bebas menggelar demo.
Yang
paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya
mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh
memperbaiki nasib buruh Indonesia termasuk buruh migran. Mumpung momentum
sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada
masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah
internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh
internasional. Serikat buruh Sarbumusi dan Gasbindo ikut mendirikan
Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), sementara SOBSI ikut mendirikan
wadah serikat buruh sosialis (WFTU).
Salah
satu yang penting dibenahi untuk pemimpin nasional adalah agenda penyatuan
gerakan buruh (baca: bukan penyatuan struktur) karena itu adalah prakondisi
yang diperlukan untuk efektif menjadi kekuatan penekan. Tanpa ini kekuatan
buruh hanya cenderung jadi pemintaminta. Selanjutnya, penguatan kapasitas
pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh dunia lain. Pemimpin buruh
tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasionalis,
mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang
merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. Jadi, jangan berhenti
hanya sebagai jago kandang. Saatnya memilih, senantiasa sebagai pesorak (spectators) atau menjadi pemain (players)? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar