Komit
pada Reformasi Agraria
Toto Subandriyo ; Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
|
SUARA
MERDEKA, 26 April 2014
BEBERAPA
hari terakhir banyak kalangan melontarkan rasa keprihatinan terhadap makin
tingginya angka rasio gini tanah di negeri ini. Beberapa media cetak nasional
bahkan menempatkan isu tentang mendesaknya upaya reformasi agraria sebagai
berita utama. Saat ini rasio gini tanah nasional mencapai 0,72. Artinya, terjadi
ketimpangan sangat besar dalam penguasaan lahan. Ketimpangan itu lebih buruk
dibanding ketimpangan pendapatan yang rasio gininya mencapai 0,41.
Ketimpangan
pemilikan lahan berarti ketimpangan alat dan basis produksi. Ketimpangan
pemilikan lahan itu antara lain ditunjukkan oleh beberapa data berikut.
Menurut Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan
perkebunan dikuasai tidak lebih dari 0,2 persen penduduk Indonesia.
Data
Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan, saat ini korporasi menguasai 11
juta hektare kebun sawit, sedangkan luas areal perkebunan rakyat kurang dari
20 persen. Luas areal hutan tanaman industri dan hak penguasaan hutan lebih
dari 40 juta hektare, sementara hutan rakyat kurang dari 1 juta hektare.
Sensus
Pertanian yang dilakukan BPS tahun 2013 memperlihatkan 26,14 juta rumah
tangga pertanian (RTP) menguasai tanah rata-rata hanya 0,89 hektare, jauh
dari luas ideal 2 hektare. Sensus itu juga mendapati data jumlah petani gurem
(yang menggarap lahan kurang dari 0,5 hektare) turun 25 persen dari tahun
2003.
Jika
dicermati lebih jauh, sejak bergulirnya era reformasi juga terjadi proses
deindustrialisasi. Artinya, kuat dugaan bahwa petani gurem tersebut sekarang
ini beralih menjadi pekerja informal di pedesaan atau perkotaan. Disinyalir
mereka menjual alat produksinya karena luasan lahan jauh dari memadai, tidak
mampu menunjang kebutuhan petani. Secara kasat mata involusi pertanian
sebagaimana tesis Clifford Geertz terus berlangsung di Jawa.
Sebenarnya
tidak sedikit calon presiden/wakil presiden menjadikan program reformasi
agraria sebagai janji politik saat kampanye. Dalam pidato politik pembukaan
masa kampanye putaran pertama Pilpres 2004, SBY-JK juga menjanjikan untuk
melaksanakan reformasi agraria (Janji-Janji dan Komitmen SBY-JK, Rudi S
Pontoh, 2004). Namun, dalam setelah terpilih jadi presiden/wakil presiden
mereka melupakan janji tersebut.
Belajar dari Thailand
Permasalahan tanah sangat krusial.
Masyarakat Jawa memiliki adagium sadumuk bathuk sanyari bumi. Dalam buku
Kamus Politik Lokal (Dr Purwadi dan Imam Samroni, SPd; 2003), adagium
tersebut mempunyai arti meskipun luasnya hanya sejengkal, tanah merupakan
tempat sandaran kedaulatan seseorang/bangsa. Jika kedaulatan tersebut
diganggu pihak lain, mereka tak segan mempertahankannya hingga titik darah
penghabisan.
Bangsa
Indonesia seharusnya belajar dari kondisi yang saat ini sedang berkecamuk di
Thailand. Kita tidak ingin isu ketimpangan jadi masalah politik yang
meruntuhkan bangunan berbangsa dan bernegara. Reformasi agraria harus menjadi
agenda pemerintah, tanpa memperbaiki ketimpangan penguasaan lahan,
kesenjangan kesejahteraan akan semakin memburuk. Kita dapat menghindari
keresahan sosial itu apabila ada political will dari pemerintah.
Sebagai
negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia akan selalu
dihadapkan pada tantangan bagaimana mencukupi kebutuhan pangan. Saat ini
Indonesia hanya mempunyai 7,8 juta hektare lahan basah dan 9,24 juta hektare
lahan kering. Rata-rata ketersediaan lahan per kapita hanya 820 m2.
Dibandingkan dengan negara-negara eksportir pangan dunia, angka itu sangat
kecil. Rata-rata ketersediaan lahan per kapita di Argentina 9.100 m2,
Australia 26.100 m2, Brasil 3.430 m2,
Kanada 14.870 m2, Thailand 5.230 m2, dan Tiongkok 1.120 m2.
Pemilikan
lahan yang makin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi
terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian subur ke
nonpertanian berdampak secara permanen terhadap produksi pangan.
Menurut
perhitungan matematis, untuk mencukupi kebutuhan pangan bangsa Indonesia
diperlukan luas tanah garapan pertanian minimal 22 juta hektare. Karena itu
banyak kalangan berpendapat bahwa program revitalisasi pertanian hanya akan
menjadi retorika jika tidak dibarengi dengan reformasi agraria.
Reformasi
agraria yang dijalankan setengah hati oleh pemerintah telah membuahkan
akumulasi permasalahan pertanahan. Permasalahan konflik agraria struktural
menemukan momentum seiring bergulirnya era reformasi. Gerakan reformasi
menjadi roh baru dalam membangun kesadaran hak atas tanah rakyat dalam bentuk
gerakan klaim balik.
Menurut
Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural merupakan konflik
antara kelompok masyarakat sipil dan dua kekuatan lain di masyarakat, yaitu kaum
kapitalis (pemodal) dan/atau instrumen negara. Agar permasalahan pertanahan
ini tidak menjadi bom waktu, mau tidak mau, suka tidak suka, capres/cawapres
yang akan berlaga dalam Pilpres 2014 harus memiliki komitmen kuat
melaksanakan reformasi agraria. Harus
ada perubahan secara struktural persoalan pertanahan, baik dari aspek legal
maupun kebijakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar