HKI
dan Cermin Budaya Progresif
Mohammad Afifuddin ; Peneliti
Institute of Governance and Public Affairs
(IGPA) MAP
Fisipol UGM
|
JAWA
POS, 28 April 2014
Setiap
26 April selalu diperingati sebagai Hari Kekayaan Intelektual Sedunia. Di
Indonesia isu mengenai hak kekayaan intelektual (HKI) masih menjadi isu yang
kurang begitu populis. Dalam berbagai bidang, sering kita temukan
praktik-praktik yang kontradiktif dengan semangat penghargaan terhadap HKI.
Modus plagiasi dan pencurian hak cipta masih terjadi dengan berbagai
variannya. Karena itu, dalam momentum refleksi Hari Kekayaan Intelektual
Sedunia, apa yang dapat kita maknai dari peristiwa tersebut?
Dalam
buku yang berjudul Cultural Matters:
How Values Shape Human Progress (2000) hasil suntingan Samuel P.
Huntington dan Lawrence Harrison, terdapat salah satu makalah yang berisi
temuan menarik berupa komparasi antara kemajuan ekonomi, corak budaya, dan
penghargaan terhadap hasil riset maupun capaian sains lainnya. Dalam makalah
tersebut, disebutkan data konkret dari dua negara, yakni Korea Selatan (Asia)
dan Ghana (Afrika).
Ghana
dan Korsel pada 1960-an menduduki tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Namun, 30 tahun kemudian Korsel berkembang sepuluh kali lipat dan tumbuh
menjadi negara industri raksasa. Tapi, sesuatu yang berbeda 180 derajat
terjadi di Ghana. Pemicunya adalah Korsel berjalan dengan kultur progresif (progressive culture). Sebaliknya,
Ghana berkembang dalam kultur statis (static
culture). Kultur progresif yang hidup di Korsel, antara lain, memiliki
unsur orientasi ke masa depan, hemat, kerja tuntas, memajukan pendidikan,
penghargaan prestasi, penegakan supremasi hukum, serta apresiasi terhadap
temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Unsur-unsur sebaliknya berlaku dalam
kultur statis Ghana. Hal itulah yang menjadi variabel utama perbedaan wajah
dua negeri itu dalam rentang tiga dekade kemudian.
Artinya,
secara mendasar, aspek yang berpengaruh secara signifikan adalah budaya (culture matters) -meminjam istilah
Lawrence Harrison dalam buku itu. Relevansinya dengan Indonesia, kultur
statis yang menjadi patron bagi Ghana, tampaknya, juga bersemi di negeri ini.
Salah satunya dalam hal penghargaan terhadap hasil riset dan capaian di
bidang sains yang distandardisasi melalui HKI.
Cermin Budaya Statis
Hak
paten sebagai bagian dari HKI memang relatif masih baru dikenal masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat penelitian dan industri. Masih banyak
kalangan yang belum memahami hubungan antara paten dan/atau HKI maupun
sebaliknya. Bahkan, ada kalangan yang masih memaksakan pada pemahaman bahwa
HKI adalah paten dan paten adalah teknologi. Padahal, HKI meliputi juga hak
cipta, merek, desain industri, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman,
dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Kebingungan
itu bukan kesalahan kalangan yang hanya memahaminya secara demikian. Sebab,
umumnya pemahaman seperti itu lebih dilatarbelakangi kepentingan terhadap HKI
sebagai alat dan belum menjadi tujuan sehingga memengaruhi cara pemahaman.
Menjadi ironis, mengingat negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
Inggris, Jerman, dan sebagainya sudah mengenal HKI hampir 200 tahun.
Di
Indonesia, seperti yang diungkapkan guru besar Unair Prof Suhariningsih, para
penelitinya kurang memperhatikan HKI karya ilmiahnya. Mereka hanya
mementingkan publikasi yang bisa memberikan poin (kredit) untuk kenaikan
pangkat. Walau dengan konsekuensi, bila hasil penelitian mereka ditiru dan
diperdagangkan pihak lain, si peneliti tidak dapat menuntut. Padahal, dengan
mendapat HKI, selain memperoleh royalti, para peneliti tersebut bisa memiliki
keleluasaan untuk mengembangkan fungsi hasil penelitiannya (Fokus,
9/11/2006). Kasus pengabaian HKI tidak hanya terjadi di sektor penelitian
ilmiah. Minimnya apresiasi terhadap HKI juga berlangsung dalam hal hak cipta
merek, desain industri, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman, serta
desain tata letak sirkuit terpadu
Paparan
di atas membuktikan bahwa kultur progresif sudah menghinggapi Jepang.
Sementara itu, kita masih berkubang dalam kutub yang sebaliknya. Padahal,
peran penting dari kelembagaan penelitian dalam pembangunan ilmu pengetahuan
dan teknologi semakin dituntut masyarakat luas guna membantu kemajuan bangsa.
Hal
tersebut menjadi penting karena saat ini HKI telah dimasukkan sebagai
instrumen perdagangan dunia melalui trade
related aspect of intellectual property rights (TRIPs). Indonesia sebagai
negara yang ikut meratifikasi persetujuan tersebut mau tidak mau akan
terlibat langsung dalam perdagangan HKI dunia. Jika tidak segera bersiap,
setelah aneka produk pribumi dipatenkan luar negeri, kini justru bangsa ini
sekaligus dipetenkan para peneliti-peneliti asing sebagai objek kajian dan
segala penemuannya dengan keragaman dimensinya.
Akhirnya
di sinilah political will
pemerintah dipertaruhkan. Jika pemerintah masih mengabaikan culture matters, dengan tetap nyaman
berlabuh dalam jebakan kultur statis, serta disorientasi dalam menggapai
kultur progresif, jangankan mengakomodasi HKI, kemajuan di negeri ini pun
tidak akan terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar