Geliat
Poros Keempat
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 29 April 2014
Rentang
waktu untuk membangun komunikasi politik antarkekuatan jelang pemilu presiden
(pilpres) kian terbatas.
Seluruh
kekuatan mengintensifkan penjajakan dan mengembangkan niat baik (good will) serta niat politik (political will) ke berbagai pihak.
Inilah momentum menentukan bagi ”para petarung” untuk melakukan positioning yang tepat, dan meraup
dukungan guna memuluskan langkah nyata menuju gelanggang pertarungan 9 Juli
mendatang. Selain poros PDIP (Jokowi), poros Gerindra (Prabowo) dan poros
Golkar (ARB), belakangan menggeliat poros keempat yang hingga sekarang masih
belum bertuan.
Model Komunikasi
Jika
melihat dinamikanya, ada empat model komunikasi politik elite dalam
penjajakan koalisi. Pertama, model aliran satu tahap (one step flow model) yakni komunikasi antarelite parpol yang
sedari awal sudah menanam kesepahaman untuk saling mendekat, intim dan punya
itikad baik menjadi kawan seperjuangan. Model ini nampak jelas dari
komunikasi politik yang terjalin antara PDIP dan Nasdem.
Kedua,
model melingkar (circular model)
yakni komunikasi politik yang dilakukan antarelite parpol dengan cara
menjajaki beragam peluang terbaik yang bisa mereka peroleh. Mereka membuka
seluas-luasnya pintu untuk bertemu dengan banyak kekuatan, sehingga
berkesempatan untuk membuka area yang bisa disepakati. Ada yang punya ambisi
”meraup untung besar” seperti dilakukan Gerindra ada pula yang menaikkan daya
tawar dalam negosiasi seperti PKB.
Prabowo
misalnya menginginkan Koalisi ”Tenda Besar”. Sementara Muhaimin bermanuver
menjajakan sejumlah nama tokoh untuk melengkapi paket pasangan ”berharga
pantas” dengan perolehan suara PKB yang lumayan.
Ketiga,
model komunikasi dua tahap (two-stages
models) yakni mengambil inisiatif untuk tetap memajukan ”petarung” ke
gelanggang, tetapi juga menyiapkan alternatif terbaik (best alternative to negosiated agreement) jika mereka kalah. Pola
ini dengan cekatan dilakukan oleh Golkar. Sebagai pemenang kedua di pileg
kemarin, Golkar menjadikan modal tersebut untuk berkontestasi sambil membuka
peluang komunikasi politik dengan kekuatan paling potensial menang. Tujuannya
jelas menghidupkan kemungkinan-kemungkinan Golkar tetap di dalam kekuasaan
siapa pun pemenangnya.
Dalam
sejarah kekuasaan di Indonesia, Golkar memang paling piawai menjalankan pola
dua tahap ini. Posisi pragmatisnya memungkinkan dia mengayuh di dua
kepentingan, yakni kepentingan elite utama mereka dalam hal ini ARB dan
kepentingan kue kekuasaan dengan menyiapkan sejumlah orang untuk merapat di
kekuatan lain entah sebagai cawapres maupun menteri. Keempat, model pertautan
(linkage model), yakni komunikasi
politik yang mengandalkan irisan-irisan kesamaan di antara kekuatan bukan
arus utama.
Sebagaimana
diketahui, saat ini sudah ada tiga arus utama yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra.
Bukan mustahil muncul poros keempat yang diinisiasi oleh partai-partai Islam
atas nama irisan ideologi dan kepentingan umat. Bisa jadi, karena tiadanya
sosok yang kuat di pasar pemilih, dan sulitnya memunculkan sosok capres dari
sesama partai Islam, para elite juga mengembangkan pola pertautan lain, yakni
irisan nasionalis-religius, pengalaman bersama menjadi teman seperjalanan
hingga kedekatan kekeluargaan. Pola ini sangat mungkin dilakukan oleh Partai
Demokrat, PAN, dan PKS dengan catatan mendapatkan dukungan partai Islam lain
hingga mencapai ambang batas yang ditetapkan.
Battle Ground
Jika
kita mengalkulasi kekuatan pascapileg, maka ditemukan posisi medan perang (battle ground) koalisi prapilpres ada
di partai-partai papan tengah dan kecil yang belum memutuskan sikap
politiknya, yakni Partai Demokrat, PKB, PPP, PKS, dan Hanura. Partai Nasdem
tak dimasukkan karena sejak awal sudah mendeklarasikan diri di poros PDIP.
Siapa yang akan menjadi tuan? Ada sejumlah kemungkinan yang bisa terjadi.
Kemungkinan
pertama, SBY tampil ke muka menjadi solidarity
maker di antara partaipartai tengah dan kecil. SBY meracik strategi di
tengah peluang ketiadaan partai pemenang dominan. Meskipun Demokrat hanya
mengantongi 10,55% versi quick count,
dia bisa saja menebar jejaring guna mendapat dukungan dari partai papan
tengah yang diisi partai-partai Islam. Dengan catatan partai-partai tengah
tak berhamburan masuk ke tiga poros ”setengah matang” yang sudah ada. Jika
skema ini yang berjalan, bisa saja partai-partai papan tengah mengambil
pilihan model koalisi dua tahap.
Mengajukan
paket capres/cawapres sendiri dan jika mereka kalah akan memosisikan diri
sebagai penguat sekaligus ”investor” dalam kekuasaan mendatang. Masih sulit
membayangkan partai papan tengah seperti partai-partai Islam menerapkan
perang habis-habisan (zero sum game).
Demokrat sendiri punya opsi untuk mengambil cara lebih terhormat, yakni di
luar kekuasaan jika kalah bertarung.
SBY pernah
memberi sinyal siap berada di luar kekuasaan setelah dua periode berada di
zona nyaman pemerintahan. Jika ini menjadi pilihan SBY dan Demokrat tentu
menjadi pilihan yang sehat dan menjadi preseden baik untuk perimbangan
kekuasaan meskipun tentu berisiko atas posisi-posisi politik SBY pascaturun
dari jabatannya.
Kemungkinan
kedua, poros keempat diinisiasi oleh partai-partai Islam saja yakni PKB, PAN,
PKS, dan PPP dengan dukungan partai nonparlemen seperti PBB. Bisa saja, untuk
sekedar memudahkan kita sebut poros tengah jilid II. Jika mereka menyatu
menjadi poros keempat, mereka akan mengantongi plus minus 30 % dukungan untuk
mengajukan paket capres/ cawapres sendiri. Hanya, jika membaca dinamikanya,
peluang ini nyaris tertutup. Sulit menemukan sosok pemersatu yang bisa
didorong bersama-sama oleh partai-partai Islam di tengah ego sektoral di
antara mereka.
Ada
hambatan psikopolitis di masa lalu terutama saat adanya keretakan hubungan
elite poros tengah era Amien Rais dan Gus Dur yang bisa saja menjadi
pertimbangan keengganan mengulang pola yang sama saat sekarang. Selain itu,
sebagian elite partai-partai Islam sudah tak melihat relevansi dikotomi
partai Islam dan nasionalis dalam konteks politik Indonesia kontemporer.
Geliat
poros keempat juga harus dimaknai dalam dua konteks pertarungan. Pertama,
manuver memperbanyak opsi dalam negosiasi. Dengan menunjukkan kemungkinan
adanya poros keempat, bisa jadi tiga poros yang sudah ada, tak sekedar
memosisikan partai-partai papan tengah sebagai pelengkap penderita. Kedua,
mereka berpeluang mendorong shadow
candidate guna memecah konsentrasi salah satu kekuatan lawan utama dari the real candidate yang mereka bantu
di panggung belakang.
Tujuannya,
bisa bersinergi di putaran kedua, atau saat pembentukan kekuasaan usai
pertarungan. Inilah dinamika politik yang masih sangat cair dan bisa berubah
setiap saat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar