Koalisi
Partai Islam-Nasionalis
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas
Paramadina, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 26 April 2014
Pada
Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009, telah terjadi kemerosotan kuantitas
pemilih partai-partai berbasis Islam. Kemungkinan bargaining dan strategi
politik partai Islam dengan partai berbasis nasionalis akan dilakukan pada
Pemilu 2014.
Secara
kontroversial, misalnya, bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
memperbolehkan calon anggota legislatif (caleg) nonmuslim untuk wilayah timur
Indonesia. Ini kemungkinan untuk meminimalkan kekalahan pada pileg yang
genderangnya sudah mulai ditabuh.
Dalam
beberapa kesempatan, para elite partai Islam melakukan komunikasi politik
untuk membuka berbagai kemungkinan pemenangan dan suksesi pileg.
Dengan
komunikasi itu, meski arah penguatan partai sebetulnya masih bersifat lentur,
dalam arti teori politik sebetulnya lebih mementingkan asas oportunitas.
Kemungkinan besar partai Islam akan menggunakan strategi
akomodatif-kooperatif, ketimbang eksklusivitas.
Sisi
lain, sangat sulit di antara satu partai Islam dan partai Islam lain
melakukan reunifikasi. Bukan hanya persoalan minimnya kuantitas perolehan
suara dari masing-masing, melainkan juga terdapat celah perbedaan prinsipil
yang akhirnya tak memungkinkan satu sama lain untuk berkoalisi.
Dalam
ideologi dakwah partai Islam, misalnya, juga terdapat perbedaan. Hal ini memicu
perbedaan yang tak mudah untuk disatukan. Ini menguatkan tesis Bassam Tibi
(1998), gerakan Islam politik sebenarnya tak memiliki kekuatan domestik
karena satu dengan lainnya memiliki ideologi politik yang berbeda.
Dalam
sejarah politik Indonesia kontemporer, koalisi sesama partai politik berbasis
Islam memang tak bisa bertahan lama. Pada 1999, misalnya, saat itu koalisi
partai-partai Islam yang tergabung dalam poros tengah tak bertahan lama.
Kepentingan politik di antara sekian partai yang berbasis Islam saat itu
cenderung pragmatis, tak bersifat permanen.
Perkembangan
politik partai-partai Islam sangat miris karena sebelumnya bersikap
optimistis akan memperoleh kenaikan suara. Namun, fakta politik berbeda
sehingga pada Pilpres 2009 saat itu tak ada satu pun tokoh dari partai Islam
yang dicalonkan sebagai capres.
Koalisi
yang bersifat top-down dari kekuatan berbasis struktural yang mengerucut ke
basis kultural dari partai Islam maupun nasionalis sangat menguntungkan pada
Pemilu 2014. Dalam pengertian, koalisi di tingkatan elite akhirnya akan
mengerucut hingga ke tingkatan akar rumput.
Dari
sisi itulah, blunder kekuatan massa akan tercipta menuai dukungan yang riil.
Persenyawaan partai Islam-nasionalis pada Pilpres 2014 bisa benar-benar
efektif jika elite-elite struktural partainya bisa menciptakan simbol-simbol
politik yang dapat mengnyinergikan dukungan massa.
Koalisi
itu, di satu sisi jelas menguntungkan partai secara mutual, baik untuk partai
Islam maupun nasionalis. Manuver politik yang dilakukan elite partai untuk
mendongkrak dan mendapatkan dukungan signifikan demi momen Pemilu nanti
sangat baik guna memunculkan getaran politik di tengah-tengah masyarakat.
Di sisi
lain, partai nasionalis tak boleh terlampau percaya diri atas apresiasi dari
sokongan partai Islam. Paling tidak, partai nasionalis harus berekspansi dan
bekerja lebih keras, yakni harus bisa merangkul lebih jauh untuk menjadikan
para elite politik partai Islam benar-benar menjadi loyalis partai.
Itu
karena partai nasionalis (Liddle, 1997) hendaknya melakukan politik devout
muslims. Artinya, merangkul elite-elite partai Islam sehingga kemudian
menjadi loyalis bagi partai nasionalis. Langkah politik semacam itu pernah
dilakukan Bung Karno pada 1950-an. Saat ia berupaya mengambil langkah
merangkul elite politik Islam dengan cara soft politics.
Namun,
saat itu Bung Karno tak berhasil sepenuhnya karena bagi elite politik Islam
yang sangat idealis tetap menolak bergabung dengan poros nasionalis, katakanlah
seperti M Natsir.
Pola
kooperatif partai Islam dan nasionalis harus lebih ditempatkan pada hitungan
yang lebih matematis dan rasional.
Memang,
oleh sebagian pengamat, pola kooperatif dianggap sangat strategis. Lahirnya
pola koperatif partai Islam-nasionalis memiliki dampak positif. Paling tidak,
pola itu menjadi sarana untuk membongkar kebekuan bagi pemilih Islam dan
nasionalis yang terjadi di tingkat akar rumput.
Satu
sisi memang dianggap terlalu dini membicarakan suksesi pemilu soal pola
kooperatif antara partai Islam-nasionalis. Namun, di tengah fenomena saat
ini, setiap partai melihat potensi untuk meraih angka akuntabilitas bagi
partai dengan partai mana saja karena kecilnya dukungan suara pada Pileg 2009
menjadi cambuk dan pelajaran bagi setiap partai, terutama bagi partai Islam.
Karena itu, tampaknya pola kooperatif partai Islam-nasionalis menjadi hal
yang sangat logis.
Pentingnya
strategi yang jitu harus dikeluarkan saat menjelang pemilu demi mencapai
tujuan utama bagi partai politik, yakni mendapat bargaining politik yang
memadai. Karena boleh jadi, ideologi partai bisa saja tersingkirkan, apakah
nasionalis atau Islam, ketika sudah berhadapan dengan bargaining politik
untuk menuju kursi kekuasaan.
Di
samping itu, tampaknya kini tak ada lagi dikotomi politik aliran, apakah
Islam atau nasionalis dalam kehidupan politik Indonesia. Koalisi yang
dibangun antarparpol kini buktinya terasa lebih cair.
Partai
Islam tanpa ragu merangkul partai-partai nasionalis. Di tengah kemungkinan
tak ada lagi sekat-sekat pemisah antarparpol, yang diperlukan saat ini
sebenarnya keberanian untuk memutuskan siapa teman koalisinya.
Jika ada
zaman di mana partai Islam-nasionalis sangat terlihat “mesra”, tampaknya
sekaranglah masa pematangan hubungan bagi partai Islam dan nasionalis.
Perubahan konstelasi kehidupan berpolitik ini menciptakan koalisi parpol yang
jauh lebih mudah antara nasionalis dan Islam.
Ini
memang lebih cenderung bersifat pragmatis dibanding ideologis. Namun,
hendaknya koalisi dibangun dengan mempertimbangkan agenda politik yang
memihak kepentingan umum, tak lagi kepentingan sempit pribadi dan golongan.
Pola
kooperatif lebih tepat bicara tentang kesamaan program, bukan bagi-bagi
kekuasaan semata. Bagaimana program, visi, misi dalam membangun pemerintahan
yang sama, yaitu demi kepentingan bangsa. Karena itulah, agenda pola
kooperatif antara partai Islam-nasionalis harus diperjelas dari awal. Tak
hanya soal bargaining politik, tapi agenda yang lebih penting lagi adalah
membawa bangsa ini dari segala keterpurukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar