Menuju
Kemandirian Obat
Dian Nurmawati ; Apoteker, Praktisi di
Apotek Kimia Farma 26
|
JAWA
POS, 30 April 2014
MEMBACA
tulisan Dahlan Iskan di Manufacturing
Hope (28/4, Kemandirian Cuci Darah
dan Infus dari Madura), seolah ada embusan napas segar dari sebuah
kebuntuan yang sekian lama mendera dunia kefarmasian berupa
"ketergantungan". Harapan itu bukan sekadar harapan karena
realisasinya sudah dimulai berkat keberanian tinggi seorang menteri BUMN.
Dunia kefarmasian sebenarnya sudah sekian lama berjuang untuk mengentas
ketergantungan. Namun, hingga hari ini, hasilnya 95 persen bahan baku obat di
Indonesia masih impor.
Pharma Materials Management Club (PMMC)
memperkirakan, impor bahan baku obat hingga akhir 2014 meningkat 15,3 persen
atau menyentuh USD 1,35 miliar dari realisasi tahun lalu sebesar USD 1,17
miliar karena pertumbuhan industri farmasi di dalam negeri diestimasikan
senilai USD 6,12 miliar. Selama ini biaya bahan baku, khususnya bahan baku
impor, berkontribusi 25 persen terhadap nilai penjualan farmasi di dalam
negeri. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan
baku obat Indonesia, yaitu sekitar Rp 6,84 triliun (60 persen), India di
posisi kedua Rp 3,42 triliun (30 persen), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10
persen).
Melihat
kondisi ini, jujur kita mengakui Indonesia berada pada posisi yang rentan
karena ketergantungan impor yang sangat tinggi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana
situasinya jika terjadi embargo bahan baku obat? Tak pelak, kemandirian obat
secara strategis juga merupakan sistem keamanan dan pertahanan nasional
terhadap ancaman dari luar.
Banyak
permasalahan yang timbul karena ketergantungan pada bahan baku impor. Yang
paling sering adalah harga yang tidak stabil karena fluktuasi nilai rupiah
yang berubah-ubah. Itu belum termasuk risiko kekosongan obat karena tidak
adanya jaminan ketersediaan bahan baku. Akibatnya, kualitas bahan baku hanya
sekadar memenuhi persyaratan standar karena tuntutan pasar yang tidak
memperbolehkan obat kosong. Dengan kondisi yang rentan terhadap efek
fluktuasi pasar dan mutu, tentu saja daya saing akan menjadi rendah apalagi
untuk berbicara di pasar ekspor.
Kondisi
ini sebenarnya sudah diantisipasi pemerintah melalui UU No 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengharuskan perusahaan farmasi PMA
yang beroperasi di Indonesia lebih dari lima tahun untuk memproduksi
sekurang-kurangnya satu jenis bahan baku obat. Diharapkan, kemampuan dan
kemandirian di bidang bahan baku obat nasional akan terdorong. Bayer,
misalnya, sudah melakukannya untuk bahan baku Aspirin, yaitu asam
asetilsalisilat, dan Beecham memproduksi ampisilin. Sayang, dalam
perkembangannya, pemerintah kurang "memaksa" industri farmasi PMA
untuk melakukan transfer teknologi.
Belum
ada angka yang pasti untuk rasio ideal pemenuhan bahan baku obat dari dalam
negeri ataupun impor. Namun, sejumlah literatur menyebutkan sebaiknya 60
persen kebutuhannya diproduksi di dalam negeri. Karena itu, pemerintah
mencanangkan peningkatan pemenuhan 5 persen per tahun.
Tahap
produksi bahan baku obat dimulai dari adanya industri kimia dasar, industri
kimia menengah (intermediate), dan
industri bahan baku obat. Industri farmasi berbeda dengan finishing good (industri jadi) yang
lebih memerlukan apoteker. Di industri farmasi sangat diperlukan ahli kimia,
peneliti-peneliti andal dari lembaga riset seperti BPPTdan perguruan tinggi.
Penting sekali sinergi academic-bussiness-government (ABG) untuk penguatan
riset pada ketiga tahap di atas, termasuk penanganan limbahnya. Tahap awal
bisa dilakukan dengan peningkatan produksi bahan baku kimia sederhana lewat
pemanfaatan sumber daya alam, seperti halnya memanfaatkan kekayaan garam kita
menjadi garam farmasi.
Untuk
mengurangi besarnya volume impor bahan baku obat, kemandirian pengadaan bahan
baku obat perlu didorong melalui peningkatan alih teknologi. Di negara maju
proses sintesis kimia sudah beralih ke arah proses bioteknologi yang lebih menjanjikan.
Pemerintah
sebaiknya mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku
obat dalam negeri. Bisa berbentuk tax holiday, tax allowance, jaminan bea
masuk (BM), fasilitas kawasan ekonomi, hingga jaminan investasi yang mampu
menarik perhatian calon investor. Regulasi yang sangat ketat untuk industri
farmasi misalnya dengan current good manufacturing product (GMP) tanpa
dibarengi pemberian fasilitas atau insentif akan menjadi kontraproduktif.
Kebijakan pemerintah untuk mengupayakan insentif pengurangan pajak bagi
industri bahan baku obat Indonesia terkendala aturan yang menyebutkan
pengurangan pajak hanya diperbolehkan untuk obat HIV/AIDS dan vaksin.
Dukungan
pemerintah ini sangat penting. Di Malaysia tax holiday berlangsung hingga 10 tahun ditambah dengan subsidi
penelitian dan subsidi pembangunan manufaktur. Tiongkok menjadi kuat karena
mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. Salah satu bentuk dukungan
itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. Subsidi ini akan pelan-pelan
dicabut oleh pemerintah jika sudah kompetitif.
Pemberian
insentif hanya bersifat sementara. Sebab, dalam persaingan global, efisiensi
dan perluasan pasar merupakan kunci keberhasilan industri bahan baku obat.
Jadi, pasar ekspor harus diperhitungkan untuk pembangunan pabrik bahan baku
obat di Indonesia mengingat kontribusi pasar farmasi nasional terhadap total
farmasi dunia masih sangat kecil, 0,3-0,4 persen.
Terlepas
dari tingginya kesulitan untuk merentas ketergantungan akan bahan baku obat,
niat baik untuk kemandirian patut kita apresiasi, terlebih jika itu sudah
menjadi langkah nyata yang akan segera kita nikmati realisasinya. Apa pun
itu, dunia industri farmasi harus terlepas dari angka ketergantungan ini,
walau pelan tapi harus pasti demi kesejahteraan di negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar