Menyelesaikan
Korupsi Pajak
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
28 April 2014
Senin,
21 April 2014, barangkali adalah hari ”istimewa” bagi Hadi Poernomo. Ada tiga
peristiwa penting yang terjadi pada hari itu, yaitu perayaan hari ulang tahun
ke-67, perpisahan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan penetapan
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu saja penetapan sebagai
tersangka perkara korupsi bukanlah kado ulang tahun yang diharapkan oleh
siapa pun, termasuk Hadi Poernomo.
KPK
menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dugaan korupsi terkait dengan
keberatan pajak yang diajukan oleh Bank Central Asia (BCA) pada 2004. Hadi
diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang
dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode
2002-2004. Akibat besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA, negara
menderita kerugian senilai Rp 375 miliar.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Hadi Poernomo
pada 2010 juga pernah membuat heboh karena memiliki kekayaan yang luar biasa
dan tidak wajar. Berdasarkan data KPK, dari total kekayaan senilai Rp 38
miliar, sekitar 97,6 persen kekayaannya tercatat berasal dari pemberian atau
hibah.
Lepas
dari segala tudingan atau spekulasi yang muncul, langkah berani KPK
menetapkan Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK dan Dirjen Pajak, sebagai
tersangka layak diberikan apresiasi. Di tengah upaya pelemahan terhadap KPK,
lembaga antikorupsi ini mampu menjerat aktor kakap dengan kerugian negara
yang luar biasa.
Pada
sisi lain, penetapan Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak 2002-2004 sebagai
tersangka pada akhirnya menambah panjang daftar hitam dan mencoreng institusi
perpajakan yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2004-2014 tercatat
sedikitnya 12 petugas atau pejabat di lingkungan institusi pajak yang
tersangkut dalam perkara korupsi. Sebagian di antaranya sudah dinyatakan
terbukti bersalah dan dipenjara serta sejumlah hartanya disita untuk negara.
Sebut saja beberapa nama yang sempat mencuat ke publik, seperti Gayus
Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika.
Korupsi di sektor perpajakan identik dengan
praktik suap-menyuap, perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan wewenang.
Mereka yang berperan sebagai aktor korupsi di sektor perpajakan adalah
pegawai atau pejabat direktorat perpajakan, konsultan pajak, hakim dan
pegawai pengadilan pajak, advokat, konsultan pajak, perantara, serta wajib
pajak.
Pola korupsi
Praktik
korupsi di sektor perpajakan terjadi di dua wilayah, yaitu internal dan
eksternal. Korupsi yang terjadi di internal terkait dengan praktik suap,
kolusi, atau nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa ataupun penempatan
pegawai dan pejabat di lingkungan pajak.
Sementara
korupsi eksternal terkait dengan praktik korupsi dalam pembayaran pajak
kepada negara. Dalam wilayah ini
muncul banyak pola atau modus korupsi yang muncul di sektor perpajakan,
tetapi setidaknya terdapat tiga pola yang biasanya sering ditemukan.
Pola
pertama adalah negosiasi pembayaran pajak. Jika terjadi proses negosiasi,
wajib pajak yang umumnya pengusaha atau perusahaan besar hanya perlu membayar
pajak kurang dari setengah atau lebih kecil dari yang semestinya dibayar
kepada negara. Adapun oknum pegawai pajak selaku pemeriksa pajak mendapatkan
imbalan yang besar dari wajib pajak yang dibantunya.
Pola
kedua, petugas pajak menjadi ”konsultan pajak” bayangan atau bekerja sama
dengan konsultan pajak. Dengan model ini, oknum petugas pajak akan menerima
imbalan atau bahkan gaji bulanan dari wajib pajak atau konsultan pajak yang
merasa dibantu pekerjaannya. Pegawai pajak akan memanipulasi laporan keuangan
perusahaan atau wajib pajak sehingga beban kewajiban pajak yang dibayarkan
dapat ditekan seminimal mungkin.
Pola
ketiga adalah kolusi dengan hakim pengadilan pajak atau pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak agar perkara keberatan pajaknya dimenangkan.
Praktik ini memperbesar peluang bagi wajib pajak untuk memenangi sengketa
pajak.
Belum steril
Pejabat
di lingkungan pajak sangat mungkin untuk mengabulkan keberatan pajak atau
mengurangi beban wajib pajak dengan atau tanpa pertimbangan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pola inilah yang diduga dilakukan oleh Hadi Poernomo
selaku Dirjen Pajak untuk mengabulkan keberatan pajak yang dilakukan oleh
BCA.
Pada
sisi lain, Pengadilan Pajak juga belum steril dari praktik korupsi. Data ICW
menunjukkan, selama 2002 hingga 2009, dari 16.953 perkara keberatan pajak
yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Pajak, sebanyak 13.672 berkas
perkara atau sekitar 81 persen dimenangi oleh wajib pajak. Kekalahan negara
di Pengadilan Pajak memberikan konsekuensi pada hilangnya potensi penerimaan
pajak yang harus diterima oleh negara.
Sesungguhnya
sejak mencuatnya skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, Kementerian
Keuangan sudah berupaya melakukan sejumlah pembenahan dan percepatan
reformasi birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Gaji atau
remunerasi untuk pegawai pajak bahkan sudah dinaikkan untuk mendorong
perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Meski
demikian, setelah pembenahan dilakukan, toh masih saja ditemukan pegawai
pajak yang nekat melakukan penyimpangan.
Pada
akhirnya, selain berharap perkara korupsi sektor perpajakan—termasuk yang
menimpa Hadi Poernomo—dapat dituntaskan oleh penegak hukum dan KPK, ada
baiknya pemerintah menjadikan peristiwa ini sebagai momentum melakukan
evaluasi secara menyeluruh program antikorupsi dan reformasi birokrasi di
Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini penting agar institusi pajak tidak lagi
terjebak dalam lingkaran korupsi dan sekaligus mengembalikan citranya di mata
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar