Dari
Surplus Beras
sampai
Gonjang-ganjing Jelang Pilpres
Winarta Adisubrata ; Wartawan Senior
|
SINAR
HARAPAN, 24 April 2014
Fakta
Indonesia paling unggul dalam konsumsi besar “paling tinggi di Asia”, berdasarkan angka
Kementerian Pertanian baru-baru ini bahwa Indonesia surplus produksi beras
5,4 juta ton pada 2013, sempat membingungkan kita.
Dikarenakan
berita tersebut, nyaris kontan, disusul berita “masih” berdatangannya lebih
dari 40 peti kemas beras impor dari Vietnam yang masuk di Priok. Diberitakan
juga, lebih dari separuh dinyatakan sebagai “impor ilegal” oleh pihak Bea dan
Cukai. Dilengkapi berita terjadinya kenaikan harga beras hingga sekitar 20
persen disebabkan kemacetan transportasi.
Makin
membingungkan lagi, menjelang bulan puasa mendatang, persediaan beras tingkat
nasional “aman”. Kita cuma bisa meraba-raba jika rangkaian berita itu bukan
sekadar “mengada-ada”, kita sebenarnya tak usah terlalu jauh melacaknya sampai
ratusan atau puluhan tahun.
Namun,
seperti kata pameo sejarah berulang, kita patut ingat di negeri ini segalanya
bisa terjadi sehingga segalanya bisa serba membingungkan. Apalagi, jika
diingat kita sedang melakukan upaya “rekapitulasi” hasil Pemilu 9 April 2014.
(mau tak mau) Kita siap-siap nyoblos pemillihan langsung calon presiden dan
wakilnya kurang dari tiga bulan lagi.
Gonjang-ganjing
sekitar pemberitaan mengenai partai-partai unggulan, yang wajarnya masih
bakal harus bertarung dalam pilpres nanti, pun harus bikin gonjang-ganjing
memilih serta menyiapkan calon-calon presiden atau pasangannya atau calon
partai koalisi.
Betapa
mengejutkan juga, akhirnya Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Poernomo
Hadi, pada hari ulang tahunnya ke-67 mendapat hadiah yang cukup mengagetkan
karena harus dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK.
Demi
mengurangi guncangan karena gonjang-ganjing pemberitaan menjelang pemilhan
presiden bulan Juli 2014, kita kutip di sini lucon Multatuli (penulis buku
Max Havelaar yang mengguncang dunia itu). Kala itu, Douwes Dekker masih masih
menjabat Asisten Residen di Lebak, Banten.
Surplus
padi lebih dari satu setengah abad lalu digambarkan Multatuli ibarat tongkat
estafet yang dinikmati dari satu provinsi ke provinsi sebelahnya. Dari
provinsi A, surplus dilimpahkan ke provinsi B. Surplus provinsi B dilimpahkan
ke provinsi C, dan seterusnya sehingga sindiran Multatui itu menunjukkan
betapa remang-remangnya kebenaran akan ada atau tidaknya surplus pangan kala
itu.
Sejauh
yang penulis ketahui, lucon Multatuli itu masih berlanjut. Penulis mengalami
pada 1958 melalui kejadian pengiriman kembali angka statistik pertanian
provinsi Kalimantan Barat, yang sedianya harus disulap dulu berdasar
angka-angka konkret nyata, sehingga akan sesuai arahan pusat data pertanian
yang kala itu pengolahan datanya di Pasar Minggu.
Cukup
ganjil juga jika kita ingat, pada permulaan masa kemerdekaan Indonesia telah
mampu menyumbang beras ke India untuk mewujudkan semangat solider kepada sesama
bangsa Asia. Sesudah jangka waktu cukup lama, Indonesia sebagai bangsa
konsumen beras harus memenuhi kebutuhannya dan akhirnya mengimpor dari
Thailand.
Bersyukurlah
kita, berkat kerja sama dan kerja keras dengan International Rice Research
Institute (Lembaga Penelitian Padi Internasional) yang berpusat di Los Banos,
Filipina pada era Orde Baru tercipta varietas unggul padi hasil persilangan
antara dua varietas padi Indonesia dan India, yang kemudian diberi kode IR-5
dan IR-8 (di Indonesia kemudian diberi kode PB-5 dan PB-8).
Penggunaan
varietas hybrid didukung pemupukan dan pemberantasan hama serta irigasi yang
memadai, Indonesia (lama sebelum Orde Baru harus “menguap dari sejarah”)
berhasil mencapai status swasembada pangan.
Namun,
menjadi menggelikan dan ironis. Setelah cukup berhasil dalam pembangunan
ekonomi dan status swasembada pangan, dengan penghargaan tinggi dari PBB
untuk almarhum Presiden Soeharto, kesuksesan itu harus berakhir karena
diterjang krisis ekonomi global. Indonesia terjungkal akibat kejenuhan
praktik ekonomi pembangunan yang sangat pekat bergelimang korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN), yang selama lebih dari 30 tahun terbina (hampir enam
Repelita).
Kebebasan
pers dalam era Soeharto, yang rencana dan kebijakan ekonomi pembangunannya
dicetak-birukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan yang mutlak harus mengabdi
kepada gaya kapilatistis Barat, pada akhirnya harus dibuat tamat oleh krisis
ekonomi global yang juga menjamah Indonesia.
Selama
era Orde Baru, ekonomi kapitalistis Barat, yang dipraktikkan melalui
Bappenas, yang harus melengserkan Soeharto tercatat berprestasi
“menyelewengkan” sampai sekitar US$ 25 juta (seperti ditudingkan majalah
Time, yang angkanya bahkan lebih menggelembung dibandingkan penelitian George
Aditjondro).
Oleh
karena itu, terbukalah pintu sejarah untuk tampilnya era Reformasi, yang
kiranya kini terbukti tidak lebih baik (jika bahkan tidak lebih buruk) dari era
Orde Baru yang pekat kental dengan KKN.
Menteri
dalam negeri yang kini masih menjabat bersama SBY mengakui, sejak dan selama
10 tahun, tidak kurang sebanyak 17 dari 33 gubernur, bersama lebih dari 200
bupati dan wali kota di seluruh negeri belepotan dengan tuduhan terlibat
korupsi. Jauh lebih signifikan kedahsyatannya ketimbang zaman Orde Baru.
Ratusan
kasus berikut proses pengadilannya terus-menerus menggelinding. Sampai hari
ini, berbagai kasus harus ditangani KPK, termasuk harus dilakukan pemungutan
suara ulang karena cacat atau terlambat pelaksanaannya di berbagai daerah.
Itu semua telah menjadi santapan sehari-hari, baik bagi rakyat yang membaca
koran maupun yang menonton televisi.
Kurang
dari tiga bulan lagi pemilihan presiden harus terlaksana. Beberapa partai
gonjang-ganjing sekaligus kasak-kusuk serentak bersama para gembongnya demi
bersiap-siap sambil baku atur barisan. Saling pilih partai pasangan calon
koalisi dengan partai mana, serta dengan capres dan cawapres mana.
Rekapitulasi dan penghitungan final hasil Pemilu 9 April (sampai hari ini, 22
April) belum usai juga.
Ketika
para sidang pembaca catatan ini, ibarat masih menggantung di dirgantara, apa
dan bagaimana jadinya penghitungan atau rekapitulasi Pemilu 9 April yang
sudah diburu oleh sang waktu, serentak makin gonjang-ganjingnya atur barisan
antara partai-partai “papan atas” seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat,
PKB, PPP, atau PKS.
Mana-mana
yang akan tampil, berdasar angka final rekapitulasi Pemilu 9 April lalu.
Serentak dengan itu, gonjang-ganjing mereka yang mengguncang udara
pemberitaan lewat cetak maupun telivisi menyaksikan, menunggu. Siapa dan
partai mana yang bakal tampil di pemilu presiden beserta wakilnya.
Kita
cuma bisa serba terka dan berharap. Siapa tahu,
dari era Reformasi bakal menuju ke era transformasi dan benar-benar baru bagi
Indonesia yang rasanya cukup belajar untuk
siap menjadi bangsa yang tahu menghayati dan mengontrol Demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar