Senin, 21 April 2014

Spin Off PLN

Spin Off PLN

Marwan Batubara  ;   Direktur IRESS
REPUBLIKA, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengusulkan agar PLN dipisahkan (spin off) menjadi dua perusahaan, PLN kawasan barat dan timur (4/4). Disebutkan, tujuan spin off adalah agar suplai listrik dapat tersedia optimal sehingga kekurangan pasokan teratasi dan kesenjangan antara wilayah barat dan timur dapat dikurangi. Namun, Menkeu Chatib Basri mengatakan usul tersebut bukan dari Kemenkeu, tetapi dari beberapa ekonom BKF.

Terlepas usul berasal dari mana dan tidak pula diakui oleh Menteri Keuangan, kita wajib waspada atas motif di balik usulan dan sekaligus mengantisipasi jika rencana tersebut benar-benar dilaksanakan. Bisa saja motif usulan tersebut untuk menguji reaksi masyarakat, to test the water. Namun, salah satu yang harus diwaspadai adalah jika telah di-spin off, maka langkah berikut yang biasa diambil adalah melakukan privatisasi atau IPO, terutama untuk perusahaan (BUMN) yang profitable (kawasan barat).

Memperhatikan hal di atas, kita harus menyatakan sejak dini bahwa rakyat akan menolak rencana spin off PLN. Rak yat akan bersatu melawan dan mengadvokasi agar rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan. Pemerintah harus memperhatikan bahwa spin off PLN bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi kekurangan daya listrik dan kesenjangan pasokan antarwilayah.
Pelayanan listrik merupakan jenis pelayanan publik (public utilities) yang dikategorikan sebagai usaha yang harus di jalankan perusahaan negara berdasarkan prinsip monopoli alamiah (natural monopoli). Dengan predikat monopoli alamiah oleh PLN, diperoleh usaha pelayanan listrik yang paling efisien dan murah bagi masyarakat. Sektor listrik sebagai monopoli PLN membutuhkan modal yang sangat besar akibat luasnya wilayah dan besarnya jumlah pelanggan, dan karenanya menciptakan skala ekonomi (economic of scale).

Status perusahaan negara sebagai pemegang monopoli penyediaan listrik berlaku hampir di semua negara di dunia. Dengan pemberian hak monopoli pada BUMN, biaya konsumsi listrik yang harus dibayar rakyat menjadi yang termurah. Jika pelayanan dikompetisiskan, justru rakyat membayar lebih mahal, sebagaimana terjadi di Inggris pada era Tatcher menjadi PM.

Untuk kasus Indonesia, diakui terjadi kesenjangan pembangunan dan penyediaan listrik pada kawasan barat, terutama Jawa-Bali dengan kawasan timur, terutama Kalimantan dan Papua. Pertumbuhan antarwilayah pun berbeda. Jika pertumbuhan kebutuhan rata-rata Indonesia 10,1 persen/tahun, maka pertumbuhan di Jawa-Bali adalah 8,6 persen, sedangkan di luar Jawa-Bali men capai 13,5 persen/tahun. Perbedaan pertumbuhan ini semakin menjustifikasi mendesaknya pembangunan pembangkit dan sarana transmisi di luar Jawa-Bali yang jauh tertinggal. Namun, meskipun mendesak, solusinya bukan dengan men-spin off PLN.

Dengan status monopoli yang disandang PLN, justru secara otomatis tercipta subsidi silang antarpelanggan dan antar-wilayah: pelanggan yang mampu dan po pulasinya besar di Jawa-Bali telah menyubsidi pelanggan yang ada di luar Jawa-Bali. Adapun terkait pembangunan pembangkit dan sarana transmisi/ distribusi di luar Jawa-Bali, maka hal ini bergantung pada keinginan dan komitmen pemerintah untuk melaksanakan. Jika pemerintah dan DPR berkehendak maka langkah berikutnya tinggal memerintahkan (dan mengalokasikan anggaran) kapada PLN.

Mendesaknya pemenuhan kebutuhan listrik nasional, terutama di luar Jawa-Badapat diatasi dengan berbagai kebijakan. Pertama, sistem penarifan konsumsi listrik yang berlaku saat ini yang didasarkan pada berbagai golongan yang berbeda membuat subsidi listrik dapat dikatakan lebih tepat sasaran di banding subsidi (barang) BBM. Peme rintah tinggal mengatur golongan mana saja yang memang pantas di subsidi dan berapa besar subsidinya. Dengan menetapkan besarnya subsidi yang tepat dan adil maka pemerintah dan PLN akan mempunyai anggaran yang cukup untuk membangun sarana yang dibutuhkan guna mengatasi kekurangan listrik di berbagai kawasan, sekaligus menjamin kelangsungan usaha.

Kebijakan lain adalah menjamin penyediaan energi primer jenis yang tepat dengan harga khusus. Jika menggunakan BBM 3-4 kali lebih mahal dibanding gas maka pemerintah harus menjamin agar prioritas pengguna gas nasional adalah PLN. Pemerintah dapat menghentikan ekspor gas ke Singapore untuk pembangkit listrik di Singapore, dengan membatalkan keputusan Kepala BPK Migas pada tahun 2005-2007 (Laporan BPK No. Nomor: 30/Auditama VII/ - PDTT/ 09/2011). Menurut BPK, Kepala BP Migas melanggar berbagai aturan dalam kasus ekspor gas ini, namun tidak pernah ditindaklanjuti. Selain jaminan pasokan gas, PLN pun harus diberi harga khusus, berkontrak langsung kepada KKKS tanpa perantara, sehingga harganya lebih murah.

Hal lain adalah dengan menjamin alokasi dan penerapan harga khusus energi batu bara kepada PLN, tanpa mengikuti harga pasar dunia. Pemerintah harus menomorsatukan kepentingan rakyat guna memperoleh batu bara dengan harga khusus, karena pada dasarnya batu bara merupakan milik rakyat. Pemerintah dituntut untuk tidak membiarkan kontraktor PKP2B dan pemegang IUP mengendalikan pasokan batu bara bagi PLN sesuai harga pasar. Sebaliknya, pemerintah harus menggunakan otoritas yang dimiliki untuk memerintah dan mengatur hal terbaik atas sumber daya batu bara bagi kepentingan rakyat.

Langkah-langkah lain yang dapat dilakukan untuk membantu pembangunan sektor listrik nasional adalah penerapan pembayaran royalti batu bara dalam bentuk barang (in-kind) untuk ke mudian diserahkan kepada PLN. Lalu, pemerintah pun dapat memberi dan meningkatkan jaminan pemerintah kepada kreditor atas pinjaman yang dibutuhkan oleh PLN untuk membangun sarana.

Terakhir, pemerintah diminta untuk menerbitkan per aturan khusus terkait pembangunan sarana kelistrikan menja di objek vital nasional (obvitnas) untuk mengatasi berbagai permasalahan koordinasi, birokrasi, perizinan, pembebasan lahan, hutan lindung, righ of way, tirani pemilik lahan, dan sebagainya secara ter integrasi di bawah suatu komando, terlaksana dalam waktu singkat. Presiden harus berperan aktif dan mengendalikan pelaksanaan peraturan khusus ini.

Ketidakmampuan mengatasi masalah administratif dan koordinatif ini telah merugikan rakyat puluhan triliun rupiah. Misalnya, karena kegagalan membangun sarana transmisi di Langkat akibat penolakan ganti rugi lahan segelintir orang, masyarakat di Sumut harus mengalami pemadaman listrik lebih dari satu tahun! Pembangunan PLTU Batang telah tertunda dua tahun akibat penolakan ganti rugi lahan. Ke depan, hal seperti ini harus dapat segera diselesaikan dan karenanya aturan khusus di bawah kepemimpinan yang tegas sangat dibutuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar