Spin
Off PLN
Marwan Batubara ; Direktur IRESS
|
REPUBLIKA,
16 April 2014
Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengusulkan agar PLN
dipisahkan (spin off) menjadi dua
perusahaan, PLN kawasan barat dan timur (4/4). Disebutkan, tujuan spin off adalah agar suplai listrik
dapat tersedia optimal sehingga kekurangan pasokan teratasi dan kesenjangan
antara wilayah barat dan timur dapat dikurangi. Namun, Menkeu Chatib Basri
mengatakan usul tersebut bukan dari Kemenkeu, tetapi dari beberapa ekonom
BKF.
Terlepas
usul berasal dari mana dan tidak pula diakui oleh Menteri Keuangan, kita wajib
waspada atas motif di balik usulan dan sekaligus mengantisipasi jika rencana tersebut
benar-benar dilaksanakan. Bisa saja motif usulan tersebut untuk menguji
reaksi masyarakat, to test the water.
Namun, salah satu yang harus diwaspadai adalah jika telah di-spin off, maka langkah berikut yang
biasa diambil adalah melakukan privatisasi atau IPO, terutama untuk
perusahaan (BUMN) yang profitable (kawasan barat).
Memperhatikan
hal di atas, kita harus menyatakan sejak dini bahwa rakyat akan menolak
rencana spin off PLN. Rak yat akan
bersatu melawan dan mengadvokasi agar rencana tersebut tidak jadi
dilaksanakan. Pemerintah harus memperhatikan bahwa spin off PLN bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi kekurangan
daya listrik dan kesenjangan pasokan antarwilayah.
Pelayanan
listrik merupakan jenis pelayanan publik (public
utilities) yang dikategorikan sebagai usaha yang harus di jalankan
perusahaan negara berdasarkan prinsip monopoli alamiah (natural monopoli).
Dengan predikat monopoli alamiah oleh PLN, diperoleh usaha pelayanan listrik
yang paling efisien dan murah bagi masyarakat. Sektor listrik sebagai
monopoli PLN membutuhkan modal yang sangat besar akibat luasnya wilayah dan
besarnya jumlah pelanggan, dan karenanya menciptakan skala ekonomi (economic of scale).
Status
perusahaan negara sebagai pemegang monopoli penyediaan listrik berlaku hampir
di semua negara di dunia. Dengan pemberian hak monopoli pada BUMN, biaya
konsumsi listrik yang harus dibayar rakyat menjadi yang termurah. Jika
pelayanan dikompetisiskan, justru rakyat membayar lebih mahal, sebagaimana
terjadi di Inggris pada era Tatcher menjadi PM.
Untuk
kasus Indonesia, diakui terjadi kesenjangan pembangunan dan penyediaan
listrik pada kawasan barat, terutama Jawa-Bali dengan kawasan timur, terutama
Kalimantan dan Papua. Pertumbuhan antarwilayah pun berbeda. Jika pertumbuhan kebutuhan
rata-rata Indonesia 10,1 persen/tahun, maka pertumbuhan di Jawa-Bali adalah
8,6 persen, sedangkan di luar Jawa-Bali men capai 13,5 persen/tahun.
Perbedaan pertumbuhan ini semakin menjustifikasi mendesaknya pembangunan
pembangkit dan sarana transmisi di luar Jawa-Bali yang jauh tertinggal. Namun,
meskipun mendesak, solusinya bukan dengan men-spin off PLN.
Dengan
status monopoli yang disandang PLN, justru secara otomatis tercipta subsidi silang
antarpelanggan dan antar-wilayah: pelanggan yang mampu dan po pulasinya besar
di Jawa-Bali telah menyubsidi pelanggan yang ada di luar Jawa-Bali. Adapun
terkait pembangunan pembangkit dan sarana transmisi/ distribusi di luar
Jawa-Bali, maka hal ini bergantung pada keinginan dan komitmen pemerintah
untuk melaksanakan. Jika pemerintah dan DPR berkehendak maka langkah
berikutnya tinggal memerintahkan (dan mengalokasikan anggaran) kapada PLN.
Mendesaknya
pemenuhan kebutuhan listrik nasional, terutama di luar Jawa-Badapat diatasi
dengan berbagai kebijakan. Pertama, sistem penarifan konsumsi listrik yang berlaku
saat ini yang didasarkan pada berbagai golongan yang berbeda membuat subsidi
listrik dapat dikatakan lebih tepat sasaran di banding subsidi (barang) BBM.
Peme rintah tinggal mengatur golongan mana saja yang memang pantas di subsidi
dan berapa besar subsidinya. Dengan menetapkan besarnya subsidi yang tepat
dan adil maka pemerintah dan PLN akan mempunyai anggaran yang cukup untuk
membangun sarana yang dibutuhkan guna mengatasi kekurangan listrik di
berbagai kawasan, sekaligus menjamin kelangsungan usaha.
Kebijakan
lain adalah menjamin penyediaan energi primer jenis yang tepat dengan harga
khusus. Jika menggunakan BBM 3-4 kali lebih mahal dibanding gas maka
pemerintah harus menjamin agar prioritas pengguna gas nasional adalah PLN.
Pemerintah dapat menghentikan ekspor gas ke Singapore untuk pembangkit
listrik di Singapore, dengan membatalkan keputusan Kepala BPK Migas pada
tahun 2005-2007 (Laporan BPK No. Nomor: 30/Auditama VII/ - PDTT/ 09/2011).
Menurut BPK, Kepala BP Migas melanggar berbagai aturan dalam kasus ekspor gas
ini, namun tidak pernah ditindaklanjuti. Selain jaminan pasokan gas, PLN pun
harus diberi harga khusus, berkontrak langsung kepada KKKS tanpa perantara,
sehingga harganya lebih murah.
Hal lain
adalah dengan menjamin alokasi dan penerapan harga khusus energi batu bara
kepada PLN, tanpa mengikuti harga pasar dunia. Pemerintah harus
menomorsatukan kepentingan rakyat guna memperoleh batu bara dengan harga
khusus, karena pada dasarnya batu bara merupakan milik rakyat. Pemerintah
dituntut untuk tidak membiarkan kontraktor PKP2B dan pemegang IUP
mengendalikan pasokan batu bara bagi PLN sesuai harga pasar. Sebaliknya,
pemerintah harus menggunakan otoritas yang dimiliki untuk memerintah dan
mengatur hal terbaik atas sumber daya batu bara bagi kepentingan rakyat.
Langkah-langkah
lain yang dapat dilakukan untuk membantu pembangunan sektor listrik nasional
adalah penerapan pembayaran royalti batu bara dalam bentuk barang (in-kind) untuk ke mudian diserahkan
kepada PLN. Lalu, pemerintah pun dapat memberi dan meningkatkan jaminan
pemerintah kepada kreditor atas pinjaman yang dibutuhkan oleh PLN untuk
membangun sarana.
Terakhir,
pemerintah diminta untuk menerbitkan per aturan khusus terkait pembangunan sarana
kelistrikan menja di objek vital nasional (obvitnas) untuk mengatasi berbagai permasalahan koordinasi,
birokrasi, perizinan, pembebasan lahan, hutan lindung, righ of way, tirani pemilik lahan, dan sebagainya secara ter integrasi
di bawah suatu komando, terlaksana dalam waktu singkat. Presiden harus
berperan aktif dan mengendalikan pelaksanaan peraturan khusus ini.
Ketidakmampuan
mengatasi masalah administratif dan koordinatif ini telah merugikan rakyat
puluhan triliun rupiah. Misalnya, karena kegagalan membangun sarana transmisi
di Langkat akibat penolakan ganti rugi lahan segelintir orang, masyarakat di
Sumut harus mengalami pemadaman listrik lebih dari satu tahun! Pembangunan
PLTU Batang telah tertunda dua tahun akibat penolakan ganti rugi lahan. Ke
depan, hal seperti ini harus dapat segera diselesaikan dan karenanya aturan
khusus di bawah kepemimpinan yang tegas sangat dibutuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar