Pola
Korupsi Pajak
Nugroho SBM ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 25 April 2014
KOMISI
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan ketua BPK Hadi Poernomo sebagai
tersangka kasus korupsi pajak yang diduga merugikan negara sampai Rp 375
miliar. Sangkaan itu dikenakan terhadapnya semasa menjabat direktur jenderal Ditjen Pajak Kemenkeu.
Modusnya,
ia menyetujui pembebasan pajak bagi PT BCA yang mengajukan keberatan atas
penetapan PPh Badan dengan dalih merugi. Tak hanya di Indonesia, perpajakan
memang sektor ”basah” pada banyak negara, yang menjadi lahan subur korupsi.
Korupsi sektor pajak sangat merugikan karena penerimaan pajak yang sampai
saat ini menjadi andalan APBN kita (sekitar 70% penerimaan APBN berasal dari
pajak) berkurang dari seharusnya.
Akibatnya,
kemampuan negara membiayai berbagai program, antara lain pembangunan infrastruktur,
menjadi berkurang. Kondisi itu pasti merugikan masyarakat. Antisipasi
pencegahan korupsi pada sektor pajak, perlu tahu lebih dulu pola korupsi pada
sektor itu. Ada tiga pola korupsi perpajakan (Korupsi: Sebab, Sifat dan
Fungsi, SH Alatas, 1987), pertama; pola transaktif-nepotis.
Pola
ini terjadi pada perekrutan atau penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi
transaktif karena ada transaksi dalam korupsi. Bagian personalia mendapat
uang suap terkeiat penempatan pegawai, sedangkan pegawai itu mengincar Kantor
Pajak yang ’’basah’’ atau menghindari penempatan di daerah terpencil.
Bersifat nepotis karena biasanya dilakukan oleh mereka yang masih ada
hubungan saudara atau sudah mengenal baik satu sama lain.
Pola
ini juga menjadi mekanisme mempertahankan budaya korupsi pada sektor
perpajakan. Pegawai baru di Ditjen Pajak selalu berhadapan dengan tradisi
seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktik
korupsi atau tetap lurus/jujur. Memilih jujur tak menjadi masalah, sepanjang
tidak bicara. Kalau sampai membongkar praktik korupsi, pegawai yang jujur
tersebut berisiko dimutasi ke daerah terpencil.
Kedua;
pola autogenik-ekstortif. Pola ini biasanya terjadi dalam administrasi pajak.
Disebut bersifat autogenik karena korupsi yang dilakukan petugas pajak
mengikuti kewenangan yang melekat padanya. Adapun bersifat ekstortif karena
dengan kewenangan itu terjadi pula praktik pemerasan.
Pola
ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbal jasa untuk pengurusan
administrasi. Proses administrasi perpajakan seperti pembebasan pajak,
keringanan pajak, restitusi pajak, dan lain-lain selalu melalui proses rumit
dan panjang . Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses itu
bisa dipersingkat. Ketiga; pola transaktif-autogenik. Pola ini biasa terjadi
dalam negosiasi pajak.
Pola
ini menunjukkan bagaimana praktik korupsi pada sektor pajak berjalan dengan
asas saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib
pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban seharusnya, sedangkan petugas
pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.
Dalam
beberapa kasus, kadang negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal
ini, wajib pajak diperas oleh petugas pajak dengan mengenakan tagihan teramat
besar. Tapi besar tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan
imbalan uang kepada oknum pegawai pajak.
Pembuktian Terbalik
Pola-pola
korupsi transaktif yang saling menguntungkan pada sektor pajak sulit
dibongkar, kecuali dengan sepenuhnya menerapkan sistem pembuktian terbalik.
Sayang, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tipikor hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas.
Pembuktian
terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya
tidak bersalah, dan beban pembuktian masih ada pada kejaksaan sebagai
penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit
dilakukan karena harus mengubah UU Antikorupsi terlebih dulu. Terobosan yang
bisa digunakan adalah memberikan perlindungan terhadap saksi dengan
menggunakan UU tentang Perlindungan Saksi. Dirjen Pajak bisa memberikan
perlindungan kepada pelapor yang menginformasikan petugas pajak yang nakal. Atas
informasinya, wajib pajak tak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda.
Secara
pendekatan ekonomi keuangan sebenarnya banyak yang sudah dilakukan pemerintah
untuk mencegah korupsi pada sektor perpajakan. Ada dua contoh, pertama;
dengan mengurangi kontak langsung antara petugas pajak dan wajib pajak supaya
tak terjadi negosiasi.
Upaya
ini dilakukan misal melalui pelaporan dan pembayaran pajak secara online.
Memang belum semua transaksi bisa dilakukan secara online serta tidak semua
wajib pajak melek teknologi dan memiliki sarana dan prasana elektronik untuk
melakukannya. Ke depan, Ditjen pajak perlu didorong untuk terus
menyempurnakan sistem perpajakan online agar semua transaksi perpajakan bisa
dilakukan secara online. Kedua; menaikkan gaji pegawai pajak atau dikenal
dengan program renumerasi. Namun tampaknya seberapa pun tinggi gaji yang
diterima, pegawai negeri tetap ’’tidak
puas’’. Kuncinya bukan pada gaji melainkan sistem perekrutan.
Selama ini aspek moralitas memiliki bobot kecil dalam perekrutan
pegawai negeri, lebih menonjolkan aspek keterampilan dan pendidikan. Ke
depan, aspek moral hendaknya menduduki syarat paling utama dalam perekrutan
pegawai negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar