Tiga
Tantangan Pendidikan Nasional
Rakhmat Hidayat ; Dosen
Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
|
KORAN
SINDO, 28 April 2014
Pendidikan nasional pascapemilu presiden dihadapkan pada tiga
tantangan sekaligus. Pertama, tantangan dalam
menghadapi bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2035 diproyeksikan mencapai 305,6 juta jiwa. Meningkatnya jumlah
penduduk Indonesia tentu saja akan disertai dengan meningkatnya penduduk
berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Inilah yang akan kita
hadapi dalam periode bonus demografi, yaitu rasio ketergantungan terhadap
penduduk tak produktif.
Alhasil, penduduk Indonesia yang produktif diperkirakan akan
lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Fenomena ini harus
didukung kebijakan ekonomi, pendidikan, sosial, dan kesehatan dalam merespons
bonus demografis tersebut. Kebijakan pendidikan adalah kunci utama dalam pembangunan
nasional yang memiliki efek jangka panjang berkelanjutan.
Kedua, tantangan merespons perubahan di tingkat regional atas
rencana pemberlakuan Masyarakat ASEAN 2015.
Sebagai kebijakan politik internasional, Komunitas ASEAN 2015 menjadi isu
penting dalam menghadapi persaingan di tingkat regional. Kita akan menghadapi
kompetisi era regional yang menunjukkan performa kompetisi, kualifikasi, dan
keterampilan. Inilah pembuktian bahwa Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara
serumpun dari Asia Tenggara.
Masyarakat ASEAN 2015 juga memberikan gambaran bagaimana
persaingan pendidikan berlangsung secara dinamis. Mulai dari pendidikan usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Menjadi
keniscayaan ketika kualitas pendidikan Indonesia akan dihadapkan dengan
kompetisi regional yang sangat ketat.
Tantangan ketiga adalah kualitas guru yang menjadi kunci
sekaligus elan vital pendidikan nasional. Pendidikan
di mana pun berada kuncinya terletak pada kualitas guru. Kurikulum canggih
tanpa didukung guruguru yang canggih sama dengan mimpi di siang bolong. Masa
depan pendidikan Indonesia berada pada kualitas guru yang mumpuni. Guru
adalah penerang masa depan pendidikan. Presiden dan kabinetnya yang
dihasilkan dari pesta demokrasi 2014 akan menghadapi tiga tantangan besar
tersebut.
Dua periode kepemimpinan Presiden SBY memang sudah melakukan
berbagai kebijakan dalam pendidikan seperti penyediaan beasiswa Bidik Misi,
beasiswa dalam negeri, beasiswa luar negeri, sertifikasi guru, sertifikasi
dosen, ujian kompetensi guru (UKG), Kurikulum 2013 maupun kebijakan-kebijakan
lain.
Memang mesti juga diakui bahwa urusan pendidikan tak selamanya
maksimal di tangan pemerintah. Pemerintah memang memiliki tangan dan kaki
yang terbatas dalam memperkuat kualitas maupun kuantitas pendidikan nasional.
Misalnya, kitamasihmelihat persebaran kualitas yang masih sangat timpang
antara daerah-daerah di Jawa dengan luar Jawa. Ketimpangan kualitas berupa
sarana prasarana maupun outputpendidikan yang masih terlokalisir di Pulau
Jawa.
Kualitas Guru
Berdasarkan data statistik, pada saat ini jumlah guru di
Indonesia sekitar 2.600.000 orang. Sebanyak 78% di antara mereka belum lulus
sertifikasi. Sertifikasi Guru dilaksanakan Kemendikbud untuk mengakselerasi
kompetensi guru. Data tersebut juga menunjukkan 1,5 juta guru belum
berkualifikasi sarjana/diploma 4. Adanya program sertifikasi guru ini dengan
berbagai kekurangan mesti dihargai sebagai iktikad baik pemerintah dalam
mendongkrak kualitas guru yang tujuan akhirnya dapat meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Apalagi program sertifikasi ini mengeluarkan dana yang
sangat besar. Dari APBN Rp1.842 triliun, anggaran pendidikan mencapai Rp371
triliun. Sekitar Rp 110 triliunnya untuk program sertifikasi guru.
Ekspektasi rakyat Indonesia tentu saja beralasan karena dana
tersebut adalah uang rakyat. Sejatinya, hasil sertifikasi guru tersebut juga
dapat dikembalikan untuk rakyat dengan meningkatnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Ironisnya, kita memang masih tersandera dengan berbagai problem
yang berada dalam dunia pendidikan kita. Di satu sisi, anggaran maupun
program peningkatan kualitas guru terus dilakukan, tetapi kita juga belum
melihat perubahan signifikan.
Sebagian mengatakan bahwa perubahan tersebut tidak seperti
membalikkan telapak tangan. Tapi kita juga membutuhkan berbagai terobosan
yang seharusnya dilakukan para guru setelah mereka mendapatkan sertifikat
mengajar. Terobosan itu antara lain dengan lahirnya berbagai terobosan berupa
metode, teknologi, media pembelajaran yang kreatif dan inovatif di kalangan
guru. Memang kita juga tak bisa menampik bahwa banyak guru di beberapa daerah
kreatif dan inovatif dalam pembelajarannya. Tapi, secara umum kita belum melihat
perubahan secara masif di seluruh Tanah Air.
Kualitas guru mengacu pada dua kemampuan, yaitu kemampuan
akademik dan kemampuan nonakademik. Kita harus mendorong agar guru-guru
memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi. Kemampuan tersebut dalam hal
metodologi pembelajaran, penggunaan teknologi/media pembelajaran, serta
pengayaan berbagai sumber pembelajaran yang menarik dan inspiratif.
Termasuk juga di dalamnya penggunaan teknologi informasi yang
mendukung pembelajaran.
Tak kalah penting adalah tantangan nonakademik. Guru
pascasertifikasi tidak hanya dituntut cakap dan mahir dalam pembelajaran di
kelas, tetapi juga harus cakap dan mahir dalam pergaulan dengan lingkungan
profesinya.
Arah Politik Pendidikan
Presiden dan kabinet baru memiliki tugas sangat berat dalam
mengantarkan Indonesia menghadapi tiga tantangan tersebut. Sejatinya memang
berbagai warisan dan masalah pendidikan akan diterima oleh otoritas
pendidikan terbaru. Beberapa warisan dan masalah tersebut sudah dijelaskan di
bagian sebelumnya. Kabinet baru rasanya akan lebih berat menghadapi berbagai
tantangan tersebut karena perubahan di tingkat global dan regional
berlangsung sangat cepat.
Secara politik juga, fase pasca-Pemilu 2014 adalah fondasi
penting bagi peta jalan politik Indonesia 10 tahun ke depan. Artinya, siapa
pun presiden terpilih nanti memiliki peluang dan kesempatan untuk meneruskan
kekuasaan periode keduanya pasca-Pemilu 2019. Tidak berlebihan jika kita
menantikan cetak biru politik pendidikan nasional dari para capres yang akan
berlaga dalam pilpres nanti. Publik perlu membaca, memahami dan
memperdebatkannya dalam ruang-ruang publik cetak biru politik pendidikan
tersebut untuk membawa pendidikan Indonesia bersaing di dunia internasional.
Memang harus diakui bahwa perdebatan cetak biru pendidikan ini
kalah ingar-bingar dari perdebatan koalisi dan bagi-bagi kekuasaan. Membincangkan visi pendidikan nasional adalah bagian dari
keterlibatan publik dalam pembangunan pendidikan. Di tengah tahun politik,
pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus fokus pada visi besar bangsa
Indonesia dalam membangun kualitas manusia Indonesia yang dicitacitakan
secara kolektif.
Kita akan menghadapi transisi kepemimpinan yang akan membawa
sejauh mana pendidikan Indonesia dikelola untuk kepentingan mencerdaskan
kehidupan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar