Kalah
M Alfan Alfian ; Dosen Universitas Nasional
|
TEMPO.CO,
25 April 2014
Seseorang
berkata kepada Sang Guru, "Jabarkan
tentang mereka yang kalah." Kemudian Sang Guru menjawab bahwa yang
kalah adalah mereka yang tidak pernah gagal. Kalah berarti kita bertekuk
lutut dalam peperangan atau pertempuran. Gagal berarti kita tidak meneruskan
pertempuran. Kekalahan terjadi ketika kita tidak berhasil mendapatkan sesuatu
yang sangat kita inginkan. Kegagalan tidak mengizinkan kita bermimpi.
Penggalan
kalimat di atas terdapat dalam novel Paulo Coelho, Manuskrip yang Ditemukan
di Accra. Coelho menguraikan kalimat-kalimat bijak Sang Guru kepada penduduk
Yerusalem yang plural, ketika kota itu dikepung.
Dalam
politik, petuah Sang Guru itu lazim dipakai sebagai pembenaran bagi hadirnya
politikus tipe petarung. Misalnya, ketika petinggi partai politik tetap nekat
maju sebagai calon presiden, atau setidaknya calon kepala daerah, padahal di
atas kertas peluangnya tipis, tim suksesnya membanggakan bahwa dia tipe
petarung. Politikus petarung tidak mengenal kekonyolan, walaupun
keberaniannya untuk maju ke arena pertandingan politik elektoral hanya untuk
"kalah".
Aliran
pilihan rasional segera mengecap itu semua kekonyolan. Kalau untuk kalah,
mengapa memaksa maju? Tapi pastilah tokoh oligarki yang mampu memaksakan diri
untuk tetap maju ke arena politik elektoral adalah sosok perekayasa politik
hebat, kalau bukan licin. Kelak, dia akan puas dengan mengatakan dirinya
tidak gagal, cuma kalah. Kalah itu pilihan terhormat, ketimbang gagal.
Dalihnya memang klop dengan Sang Guru.
Tapi
sosok politik beda dengan sosok non atau nirpolitik. Dalam politik, kegagalan
atau kekalahan sang sosok berkonsekuensi bagi nasib dan masa depan
gerbongnya. Sering kita dengar keluhan beranekaragam, ketika sosok kalah
dalam kontes elektoral. Faksi loyalis yang tetap ikut yang kalah punya dalih
berbeda, tapi mungkin hakikatnya sama, dengan yang pindah ke "tempat
lain". Yang satu berjuang mencari celah untuk tetap eksis, satunya lagi
juga beralasan mencari tempat untuk melanjutkan eksistensinya.
Yang
membedakan, kesetiaan, kendati dalam politik berarti kefatalan. Yang eksis di
tempat lain, yang dipandang tidak loyal, biasanya berujar, bagaimana mungkin
engkau tetap setia kepada yang kalah, kalau hanya membuat hidupnya
terseok-seok?
Sang
Guru memang tidak menjelaskan apakah kesetiaan itu penting atau tidak dalam
politik. Tapi, merujuk nasihatnya di atas, dapat dikatakan yang tidak setia
adalah yang gagal, bukan yang kalah. Mereka yang masih setia ikut Pangeran
Diponegoro sampai detik-detik terakhir bukanlah orang-orang yang gagal.
Mereka sekadar orang-orang yang kalah. Dan, kalah yang dimaksud nilainya lebih
tinggi dari yang gagal.
Para
caleg yang jumlah dukungan suaranya tidak mencukupi untuk sebuah kursi,
bagaimana menjelaskannya? Dari perspektif Sang Guru, mereka kalah, tapi tidak
gagal. Tapi, yang kalah masih bisa dipilah. Kalah
tanpa "politik uang" nilainya lebih tinggi, ketimbang yang menang
atau kalah tapi tetap dengan menebar uang dan "segala cara". Yang
terakhir inilah orang-orang yang gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar