Sang
Pemula
Parni Hadi ; Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 29 April 2014
Para
pejuang kemerdekaan Indonesia adalah orang-orang yang tercerahkan dan terpanggil untuk melakukan
tugas yang lebih besar melampaui tujuan hidup pribadinya. Mereka tercerahkan
berkat pendidikan dan terpanggil berkat kepekaan perasaan melihat kondisi
masyarakat.
Mengawali
abad ke-20, para pejuang kemerdekaan kita menempuh cara yang berbeda dalam
melawan penjajah Belanda: tidak lagi mengangkat senjata, melainkan mengangkat
pena. Ya, mereka berjuang melalui tulisan yang disebarluaskan melalui pers
untuk menghimpun kekuatan dari orang-orang yang sepikiran.
Sejarah
pergerakan kebangkitan nasional memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah
kebangkitan cendekiawan dan pers
nasional.
Dr Wahidin Soedirohusodo dan Dr Soetomo
adalah lulusan sekolah kedokteran STOVIA yang terpanggil mendirikan
organisasi Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908, yang kemudian kita peringati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Di samping dokter dan
organisator, keduanya juga menulis, bahkan mendirikan dan memimpin surat
kabar.
Pendidikan
kedokteran melatih orang untuk peka kepada penderitaan sesama. Bukan hanya karena
penderitaan akibat penyakit, tapi juga karena kondisi sosial, politik, dan
ekonomi akibat penjajahan.
Karena itu, tidak mengherankan jika banyak
pemimpin Indonesia sejak awal Republik
bergelar dokter. Jangan heran pula, jika gerakan perubahan politik
pascakemerdekaan melibatkan dan dimotori mahasiswa kedokteran, termasuk
gerakan mahasiswa awal 1974, yang ingin mengoreksi kepemimpinan Presiden Soeharto.
Gerakan
mahasiswa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari (lima belas
Januari), karena terjadi pada 15 Januari 1974 itu dipimpin Hariman Siregar,
aktivis mahasiswa FKUI. Peristiwa 40 tahun lalu itu ditandai dengan
terbakarnya Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang terjadi bersamaan demonstrasi
mahasiswa besar-besaran.
“Sang Pemula”
Sebelum
Boedi Oetomo (BO) berdiri, ada tokoh mahasiswa kedokteran yang wartawan
sekaligus aktivis pergerakan, tapi namanya tidak dikenal banyak orang karena
tidak ditulis secara menonjol dalam buku sejarah Indonesia. Ia adalah Raden
Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918).
Menurut
data yang diungkapkan sastrawan besar Indonesia, Pramudya Ananta Toer, dalam
bukunya yang berjudul Sang Pemula, cetakan pertama tahun 1985 dan cetakan
kedua (dengan revisi) tahun 2003, dialah sebenarnya perintis pers sekaligus
gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Tanpa maksud untuk mengurangi
penghormatan kepada kedua pendiri BO itu, tulisan ini disajikan untuk
melengkapi dokumen sejarah dan memperluas pemahaman kita.
Raden
Mas Tirto Adhi Suryo, kita singkat Tirto, lahir di Blora, Jawa Tengah, yang
juga tempat kelahiran Pram(udya). Tirto adalah anak seorang priayi terkemuka,
cucu Bupati Bojonegoro. Terlahir dengan nama Djokomono, ia lulusan sekolah
Belanda, HBS, dan jebolan (tidak tamat) dari sekolah kedokteran STOVIA.
Djokomono
suka menulis dalam bahasa Belanda dan Jawa sejak menjadi murid sekolah dasar.
Ia mulai mengirimkan tulisannya kepada berbagai penerbitan yang terbit di
Batavia (Jakarta), sejak usia 14-15 tahun. Tercatat ia mengirim tulisan ke
koran Chabar Hindia Olanda (terbit 1888-1897), Pembrita Betawi (terbit
1884-1916), dan Pewarta Priangan, terbitan Bandung.
Keluar
dari STOVIA, setelah belajar enam tahun, Tirto diangkat menjadi redaktur
Pembrita Betawi dan pada 1901 naik menjadi redaktur-kepala koran itu,
menggantikan orang Belanda, F Wiggers.
Setahun
kemudian, ia menjadi penanggung jawab penerbitan itu. Pada 1903, ia
mendirikan koran Soenda Berita, di Cianjur, Jawa Barat, dengan bantuan dana dari Bupati Cianjur.
Ini adalah penerbitan pertama dalam sejarah pers nasional yang redaksi dan
percetakannya bertempat di desa.
Ia
sempat mengembara ke Maluku, tinggal dan menikah dengan Prinses Fatimah,
putri Raja Bacan. Selama di Bacan ia menyiapkan penerbitan surat kabar dengan
delapan tujuan: untuk memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberi
bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan haknya, memberi pekerjaan
pada orang yang membutuhkannya di Betawi, menggerakkan bangsanya untuk
berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangun dan memajukan bangsanya
dan memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.
Sungguh
Tirto seorang visioner. Kedelapan tujuan itu ia wujudkan dalam pendirian
koran Medan Prijaji (baca priayi), yang mulai beredar dalam bulan Januari
1907. Dia meminta pelanggannya membayar lebih dulu sebelum terbit.
Ia
adalah perintis usaha perniagaan dengan menggunakan dana masyarakat. Pada
1907, ia juga menerbitkan Soeloeh Keadilan. Bersama HM Arsad, Tirto adalah
pribumi pertama yang mendirikan perusahaan berbadan hukum NV, yang bergerak
di perdagangan buku dan percetakan, yakni NV Medan Prijaji.
Pada 1
Juli 1908 ia menerbitkan surat kabar untuk perempuan dengan nama Poetri
Hindia di Betawi. Tirto menjadi pemimpin redaksi penerbitan pertama untuk
gerakan perempuan pribumi ini. Ia memberi kesempatan kepada perempuan untuk
menulis.
Sebagai
orang pergerakan, Tirto melahirkan Serikat Priyaji pada 1904. Inilah
organisasi pergerakan pertama pribumi yang bercorak modern, menggunakan
“lingua-franca” bahasa Melayu sebagai “bahasa bangsa-bangsa yang
terperintah”. Ini berbeda dengan Boedi Oetomo yang lahir 1908 dan menggunakan
bahasa Jawa. Pada 1909, Tirto mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah, yang
kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam.
Sebagai
wartawan tulisannya dikenal sangat tajam, sehingga salah seorang muridnya, Mas
Marco Kartodikromo, menyebutnya sebagai wartawan-pengarang yang sanggup
menulis dengan pisau-belati yang membuat banyak orang “moentah darah”.
Seperti
kebanyakan pejuang perintis kemerdekaan, Tirto mengakhiri hidupnya jauh dari
kemewahan dan hiruk-pikuk pemberitaan. Pada 7 Desember 1918, sebuah iringan
kecil mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir di pemakaman Mangga
Dua, Jakarta.
Tidak
ada pidato sambutan. Pada 1973, makamnya dipindah di Bogor. Di batu nisannya
tertulis Perintis Pers, sesuai Keputusan Menteri Penerangan/Ketua Dewan Pers,
1973. Konon itu pun tanpa pengakuan resmi yang dikeluarkan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar