Sofistikasi
Kekerasan di Institusi Pendidikan
Bagong Suyanto ; Dosen di
Program S-2 Ilmu Kepolisian Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 29 April 2014
TRADISI
perpeloncoan dan penganiayaan siswa senior kepada siswa junior yang
menimbulkan korban tewas telah terjadi berkali-kali. Tetapi, entah mengapa
tradisi buruk itu tidak jua dapat dihilangkan. Kasus terbaru, seorang siswa
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) dilaporkan tewas setelah dianiaya
sejumlah senior. Jumlah mahasiswa junior yang dianiaya sebetulnya dilaporkan
tujuh orang. Namun, yang bernasib nahas adalah Dimas Dikita Handoko, 19.
Meski sempat dilarikan ke rumah sakit, akhirnya nyawa pemuda asal Medan itu
tetap tidak tertolong (Jawa Pos, 27
April 2014).
Seperti
kasus perpeloncoan lain yang berujung maut, dalam kasus kematian mahasiswa di
STIP tersebut, para pelaku adalah kakak-kakak senior yang melakukan pembinaan
dengan tindak kekerasan. Seolah tidak pernah
belajar dari pengalaman dan kasus kematian mahasiswa junior di berbagai
lembaga pendidikan sebelumnya, hanya karena merasa tidak dihormati atau
tersinggung karena senioritas mereka tidak diperhatikan, tanpa belas kasihan
mereka pun melakukan pemukulan hingga menewaskan korban yang sudah tidak
berdaya.
Lebih
dari sekadar tindak kejahatan atau kriminalitas, kekerasan yang berlebihan
hingga menewaskan sejumlah junior itu sesungguhnya merupakan sebuah tradisi,
semacam ritus yang telah ter-internalized
dan diwariskan turun-temurun. Memotong mata rantai tindak kekerasan dan
dendam kesumat yang diwariskan dari angkatan ke angkatan baru itu ternyata
bukanlah hal mudah. Apa sebetulnya yang membuat tindak kekerasan dan perilaku
agresi yang destruktif tersebut terus terjadi dari waktu ke waktu?
Secara
garis besar, setidaknya ada dua faktor utama yang menjadi penyebab kekerasan
masih tetap marak di lembaga pendidikan.
Pertama,
lembaga pendidikan pada dasarnya adalah habitat atau lingkungan sosial yang
justru memproduksi dan menghalalkan kekerasan. Di berbagai lembaga
pendidikan, kekerasan bahkan boleh dikatakan telah menjadi tradisi
turun-temurun yang menjadi acuan para mahasiswa dalam bertingkah laku.
Skinner
(1953), misalnya, menyatakan bahwa manusia cenderung rentan dan mudah
dipengaruhi faktor atau lingkungan sosial tempat mereka hidup. Seorang
mahasiswa yang ketika masih junior menjadi korban abuse seniornya tidak
mustahil ketika menjadi senior tanpa sadar akan cenderung balas dendam dan
melakukan berbagai kekerasan kepada junior-junior baru seperti yang sering
dia alami pada tahun pertama masuk ke lembaga pendidikan tinggi.
Kedestruktifan
kesumat (vengeful destructiveness),
bagi para mahasiswa senior, tidak hanya merupakan reaksi spontan untuk
menghukum dan mencederai juniornya, tetapi sekaligus merupakan ekspresi balas
dendam terhadap siksaan dan kekerasan yang dialami korban sebelumnya.
Artinya,
alasan seorang senior menganiaya juniornya bukan semata mereka merasa
diperlakukan tidak hormat, tetapi lebih disebabkan mereka memang membutuhkan
korban untuk mendemonstrasikan bahwa perpeloncoan dan kekerasan merupakan
tradisi yang tidak pernah mati.
Kedua,
di masyarakat ada indikasi telah terjadi semacam sofistikasi kekerasan.
Artinya, cara-cara melakukan kekerasan makin hari cenderung makin sadis,
mulai yang paling sederhana melukai, menganiaya, sampai membunuh dengan
cara-cara yang sudah di luar batas kemanusiaan. Di media massa, bisa dibaca
setiap hari bagaimana seseorang hanya karena alasan sepele bisa memukuli,
menendang, membacok, membakar, dan bahkan membunuh orang lain.
Dalam
bukunya yang terkenal, The Anatomy of
Human Destructiveness (1973), Erich Fromm membedakan apa yang disebut
agresi lunak dan agresi jahat. Agresi lunak umumnya telah terprogram secara
filogenetik layaknya pada hewan. Yakni, desakan untuk melawan atau melarikan
diri ketika kelangsungan kehidupan hayatinya terancam.
Agresi
lunak defensif itu, bagi manusia, biasanya dimaksudkan untuk mempertahankan
hidup spesies atau individu, bersifat adaptif biologis, dan hanya muncul jika
memang ada ancaman. Sementara itu, agresi jahat, yakni kekejaman dan
kedestruktifan, merupakan ciri khas spesies manusia dan cenderung makin marak
ketika manusia menjadikannya sebagai tool untuk menyubordinasi orang lain.
Agresi
jahat pada diri manusia tidak terpogram secara filogenetik dan tidak adaptif
secara biologis. Ia tidak memiliki tujuan dan muncul hanya karena dorongan nafsu
belaka. Substansi agresi jahat dapat dikurangi bila kondisi sosial ekonomi
digantikan dengan kondisi yang menguntungkan manusia. Tetapi, ketika
lingkungan sosial di sekitar manusia cenderung makin menghalalkan tindak
kekerasan, jangan kaget jika kemudian kekerasan justru menjadi instrumen
untuk menaklukkan dan menguasai orang lain.
Bagi
mahasiswa senior, ketika tanpa alasan memukul atau menendang mahasiswa
juniornya, hal itu mereka lakukan bukan karena adanya konflik yang bersifat
personal, melainkan lebih sebagai sarana bagi senior untuk memperlihatkan
superioritas mereka.
Di
lingkungan institusi pendidikan yang berbudaya dan menjunjung tinggi
moralitas, naluri biologis para mahasiswa untuk bertindak agresif seharusnya
dapat diendapkan dan diganti perkembangan nilai-nilai baru yang lebih
multipluralis, lebih toleran serta lebih menghargai hak-hak orang lain. Yang
menjadi masalah, ketika struktur sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang
di sekitar kita cenderung makin terpolarisasi, penuh intrik dan konflik,
tidaklah mudah bagi mahasiswa yang mengalami krisis keteladanan untuk bisa
mendekonstruksi dan merekonstruksi perilaku destruktifnya.
Untuk mencegah kasus perpeloncoan dan kekerasan lainnya tidak makin
marak di lembaga pendidikan, saat ini yang dibutuhkan tak pelak adalah sebuah
langkah radikal: Tetap menghukum para pelaku tindak kekerasan dengan setimpal
sembari melakukan berbagai langkah penataan agar tatanan nilai normatif dan
kehidupan berbudaya benar-benar bisa ditegakkan. Cinta
damai dan toleransi adalah nilai yang seharusnya menjadi counter culture untuk fondasi menata kembali kehidupan mahasiswa
yang lebih bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar